Di samping jendela itu ia letakkan kanvas beserta alat-alat melukisnya. Setiap hari, ia mencuri waktu untuk sekadar duduk terpaku di depan kain putih kasar tersebut seraya termenung menekuri pemandangan yang muncul dari mulut jendela. Jauh di bawah sana ada jalanan yang tak pernah lengang. Bola matanya tertuju ke sana. Tapi pikirannya menerawang jauh ke sebuah tempat yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Ia tercenung memperhatikan mobil-mobil merayap lamban. Belasan sepeda motor mengerubungi dari kiri dan kanan, melesak maju mencari-cari celah yang tersisa. Tak ketinggalan segelintir penjual koran dan penjaja minuman berkeliaran, lebih gesit dari pengendara motor yang ngotot ingin berada di barisan paling depan sebelum lampu hijau perempatan menyala.
Ia tahu, jalan itu jalan protokol kota kosmopolitan yang selama ini telah menjadi arena pertaruhan kehidupan orang-orang –termasuk dirinya- yang selalu dihantui perasaan tergesa-gesa. Maklum saja bila jalan itu tak pernah sunyi dari raungan kentut-kentut mesin yang polusinya “cukup” mengkhawatirkan pernafasan. Setiap hari orang-orang selalu ingin bergegas cepat, memacu motor dan mobil kesayangannya menerabas aspalan dan tak jarang melanggar aturan lalu lintas. Mereka ingin semua serba lekas; lekas masuk kerja, lekas selesai, lekas pulang, dan tentunya…lekas kaya.
Kaya. Mengingat kata itu, ia menghela nafas panjang. Seakan banyak beban yang berusaha ia lepaskan, tetapi tak pernah bisa.
Ia bersedekap. Ya, ka-ya. Gabungan dua suku kata itu mampu menyihir pikiran manusia. Meski bukan mantra gubahan Mpu Tantular atau Mpu Prapanca, banyak orang terlena dan gila saat kata tersebut diucapkan. Setelah mengetuk gendang telinga, masuk ke otak, kata itu lalu tertanam di sana menjadi pikiran yang merajalela. Berkat kata itu pula kini ia tinggal di sini, di kota antah berantah yang penuh dengan asa namun tak pernah mengenal rasa. Sampai-sampai ia hampir lupa siapa dirinya dan darimana asalnya.
Belasan tahun lalu ia angkat kaki dari rumah. Bualan bahwa orang kampung bisa menjadi kaya di kota menipudayainya. Parahnya, ia hijrah bermodal nekat. Alasan pertama: karena tak betah di rumah. Alasan kedua: ia putus cinta. Hanya bakat melukis yang ia bawa lari ke kota.
Akibatnya, bertahun-tahun ia luntang-lantung mengadu nasib tanpa kepastian. Kerja serabutan. Membawa hati yang telah hampir mati. Dulu, ia sempat menjelma menjadi zombi, berkumpul bersama para zombi lainnya menggelandang di pinggiran kali. Pernah juga ia menjadi kelelawar, siang istirahat, petang keluar, lembur hingga larut malam.
Kini, ia sudah nyaman, mendapat pekerjaan yang mapan, menjadi salah seorang atasan sebuah perusahaan tekstil ternama. Sayangnya, ia merasai dirinya lebih mirip robot tak berjiwa. Maka demi memanusiakan diri, ia mencuri waktu senggang untuk melukis di sela-sela jadwalnya yang padat, sebagaimana yang ia lakukan sekarang.
Para stafnya tidak tahu apa yang selama ini dilakukannya dan tak pernah ada yang berani menanyakannya. Ia pribadi tak mau mereka tahu. Setidaknya ia benar-benar ingin menikmati waktu senggangnya.
Di waktu ini, kerapkali ia teringat ibunya. Perempuan itulah yang mengajarinya melukis semenjak ia masih kanak. Kata ibunya, tanganmu adalah anugerah Tuhan, tangan yang akan mengabadikan keindahan alam ke dalam lukisan. Sawah, hutan, gunung, lautan, semuanya indah bila dijadikan gambar, bukan?
Ia selalu ingin tersenyum setiap kali mengingat perkataan tersebut. Namun di saat yang bersamaan ia selalu teringat juga pada perkataan lelaki yang dulu pernah dipanggilnya bapak. Perkataan yang menikam dan merajah bagian hatinya yang paling dalam.
“Apa yang bisa kauhasilkan dari tanganmu itu? Apa gunanya melukis?” Cecarnya. “Kau ini anak laki-lakiku satu-satunya. Apa kata orang bila kau tak bisa bekerja? Hanya bisa melukis sawah dan lembah! Seharusnya kau turun ke sawah, ambil cangkul itu, pakai capingmu, bantu Bapak di ladang!”
Sekali itu ayahnya marah besar. Sedangkan ibunya belum datang dari membatik di rumah pamannya.
“Kau sudah beranjak dewasa. Sejatinya kau sudah bekerja,” keluh ayahnya, kecewa.
“Aku bisa membatik, Pak. Tapi, Bapak sendiri tidak mengijinkan.”
“Kau tidak membatik. Kau bukan seperti ibu dan adik perempuanmu.”
“Kalau begitu, aku masih bisa melukis, Pak.”
“Tutup mulutmu!” Ayahnya membentak. “Apa yang bisa kauhasilkan dari lukisanmu? Kita ini orang melarat. Kau harus mengerti itu.”
Ia diam. Giginya bergemeletukan.
“Apalagi kudengar kau menaksir anak Pak Lurah. Benarkah itu?”
Sekali lagi ia hanya diam tak menjawab.
“Kautahu, lurah kita itu mata duitan. Apa-apa serba uang. Jangankan kau mau melamar anaknya, minta tanda tangannya saja untuk surat keterangan tidak mampu kita harus menyisipkan amplop. Coba pikir, mana mau dia menerima pemuda pengangguran, tak berpenghasilan, tak beruang sepertimu?”
Ia terperanjat.
“Tinggalkan lukisanmu itu. Atau kaulupakan saja Malena.”
Kringgg. Kringgg. Dering telepon duduk membuyarkan lamunannya. Dengan sigap ia beranjak ke meja kerja dan mengangkat telepon itu.
“Halo? Hm. Oke. Baik. Sebentar. Aku keluar sepuluh menit lagi.”
Seusai telepon ditutup, ia segera kembali ke sisi jendela dan duduk di sana. Ia lirik cat air yang mulai mengering. Tangannya meraih kuas kecil dan menyelupkan ujung bulunya ke sana.
“Baiklah Malena, kita mulai dari mana?” Ia berbisik lirih seakan ada seseorang di sampingnya. Ia lantas memicingkan mata melihat kanvas putih yang sudah separuh terisi; ada sawah, pematang, sungai, dan lembah nun jauh di belakang. Ia goyangkan tangannya dan kuas di jemarinya ikut bergoyang.
Namun, tak sampai dua kejapan mata, ia berhenti dan menarik nafas panjang. Ia lalu melirik ke arah jendela. Melihat jam dinding besar di gedung seberang jalan. Waktu senggangnya sudah habis.
Ia mengeluh. Waktu baginya terasa begitu cepat.
“Kita lanjutkan lukisan ini esok hari, Malena,” ujarnya sambil mengambil jas dan merapikan dasinya. Sebelum menutup pintu, ia sempatkan sekali menatap lukisannya yang belum diselesaikan.
***
Keesokan harinya ia melakukan hal yang sama: duduk di samping jendela sambil menekuri pemandangan di luar sana. Mobil-mobil masih merayap dan motor-motor berhasil menyelinap. Di sela lamunannya, tiba-tiba ia teringat lembu. Bukan hanya lembu, tapi juga ada sapi, kerbau, dan kambing.
Segera ia mencomot kuas dan menodainya dengan cat air berwarna. Tangannya lihai membuat garis-garis melengkung patah-patah, garis lurus, dan lingkaran kecil di sebelah gambar sungai. Tak lama kemudian, goresan itu menjadi seekor lembu yang sedang dituntun oleh pemiliknya.
Ia mengambil warna lain. Menggoreskan garis-garis. Jadilah sapi di bawah kendali petani yang sedang membajak sawah. Ia mengambil warna lain lagi. Menggores garis-garis patah-patah. Jadilah beberapa ekor kambing digembala oleh seorang bocah bercaping dan bertongkat. Ia mengambil warna lain lagi. Mencipratkan cat air sesukanya lalu jadilah sepasang kerbau di bawah bukit sedang makan rumput gajah.
Kriingg. Kriingg. Telepon duduk di meja kerjanya berdering. Ia mendekat.
“Halo? Baik. Siap. Ini saya sudah mau keluar. Apa? Oke.”
Ia meraih jas dan merapikan dasinya sembari melihat jam dinding besar di gedung seberang. Sebelum menutup pintu, ia sempatkan sekali menatap lukisannya tadi. Ia tatap lembu, sapi, kerbau, dan kambing itu.
“Kita lanjutkan lagi lukisan itu esok hari, Malena,” ujarnya tersenyum puas.
***
Berselang satu hari kemudian, ia tidak meneruskan lukisannya. Ia hanya duduk hikmat memperhatikan gambar yang dibuatnya. Rasanya ada sesuatu yang kurang. Sepertinya ada sesuatu yang hilang.
Ia mencoba berpikir keras mengingat-ingat apa yang mungkin dilewatkannya. Sawah, pematang, sungai, lembah, sapi, lembu, kerbau, kambing, lalu? Apa?
Kringg. Kringg. Telepon duduk di meja itu berdering.
Ia tak menggubris.
Kringg. Kringg. Kringg. Kringg. Telepon itu semakin nyaring.
Ia tetap tak mengindahkan. Matanya sibuk memelototi lukisan di kanvas.
Kringg. Kringg. Kringg. Kringg.
Ia mendengus kesal. Segera mendekati meja dan mengangkat teleponnya.
“Halo? Iya? Tidak. Rapat?” Suaranya meninggi. “Tidak ada rapat. Tidak ada meeting apapun. Aku sedang sibuk. Mengerti?”
Telepon ditutup.
Ia berjalan ke sisi jendela. Di luar sana mobil-mobil, motor-motor, dan kendaraan lainnya masih melata. Bunyi klakson sahut-sahutan. Kentut-kentut mesin berjumpalitan.
Ia geleng-geleng kepala lantas menutup jendela. Setelah itu, ia tatap lukisannya. Ia pegang kedua sisi kanvas sejenak lalu melepasnya.
“Bodoh! Bodoh!”
Ia berteriak kalap seperti orang gila.
“Bodohhhhhhhh!”
Ia baru sadar ada sesuatu yang kurang pada lukisannya. Bukan soal gambar dan bukan pula warna. Sesuatu tentang rasa yang telah lama hilang dari kehidupannya. Lelaki itu tidak menemukan ketenangan di sana. Sawah, pematang, sungai, lembah, sapi, lembu, kerbau, dan kambing yang dilihatnya hanyalah sekadar padanan garis-garis patah dan melengkung dengan warna-warna.
“Bodoh! Bodoh! Bagaimana cara melukis ketenangan?”
Lelaki itu berteriak histeris. Ia masih mengumpati dirinya sendiri. Ia lupa seperti apa kampungnya. Nyatanya, lukisan itu tak mampu memupus gejolak kerinduan terhadap tanah kelahirannya. Ia ingin mendapatkan ketenangan yang selama ini didambakan dalam waktu senggangnya.
Tak lama kemudian, sementara jam dinding besar di gedung seberang berdentang, lelaki itu telah mengemasi barang-barang di ruangannya. Sebelum keluar, ia sempat mengangkat gagang telepon dan memencet beberapa nomor.
“Malena. Cepat berkemas. Jemput anak-anak. Ayo kita pulang. Sekarang.”
Ciputat, 2016-2020