Sudah cukup lama Dul Slamet hidup dengan penuh ketabahan. Hanya tinggal berdua dengan putra semata wayangnya yang dipenuhi kekurangan. Ia tak memiliki kaki dan hanya memiliki satu tangan. Ia juga tak dapat bicara meski sudah menginjak usia belasan tahun. Kesehariannya hanya bisa melamun, menatap orang-orang dari balik kaca rumah. Atau kalau ikut ke warung, ia seringnya hanya duduk di belakang sembari memegangi foto ibunya yang sejak lima tahun silam meninggal karena sakit keras. Kalau lelah, ia menonton televisi sampai ketiduran.
***
Dul Slamet berjualan sejak muda. Dari kebanyakan penjual cilok yang lebih memilih mangkal di depan sekolah dan madrasah, Dul Slamet termasuk yang tidak suka mangkal. Ia lebih suka keliling pertokoan dan sekitaran pasar sambil mencari jodoh katanya. Hingga pada suatu ketika ia bertemu dengan seorang gadis yang pada akhirnya saling memadu kasih. Gadis itu bernama Sumi, lengkapnya Sumiati. Selain manis, gadis itu juga pandai membantu ibunya, Ni Irah, di Pasar Moge. Pertemuan mereka diawali ketika pertama kalinya Sumi membeli cilok Dul Slamet pada waktu sore hari menjelang pulang dari pasar. Awalnya, Sumi tak tertarik, tetapi ia ingin sekali-kali mencicipi cilok ala Kang Dul yang kata orang-orang rasanya nikmat bukan kepalang. Kalau biasanya cilok hanya sebatas aci dan bumbu instan, cilok berkah Kang Dul tidaklah begitu kata mereka. Ada daging sapi aduhai yang nylempit di tengah.
Sekali mencicipi, ternyata gadis itu jadi ketagihan. Malah berbuah kerinduan. Hampir saban hari ia menunggu Dul Slamet datang. Sembari menunggu selesai dibungkus, Sumi suka ngajak ngobrol. Ngobrol ini itu. Kadang-kadang sampai disuit-suiti penjual-penjual sekitar. Katanya, mereka serasi jika menikah. Kalau punya anak laki-laki bakal tampan, kalau anak perempuan bakal cantik. Saking seringnya senyum-senyum sendiri, akhirnya mereka benar-benar saling jatuh cinta. Rindu pada ciloknya telah berubah pada penjualnya. Sementara, Ni Irah tak tahan lagi dengan gosip-gosip kedekatan anaknya dengan Dul Slamet.
“Ni Irah, apa ndak dinikahkan saja mereka? Dul Slamet cukup mapan loh. Gerobak ciloknya ada empat. Disewa orang-orang. Mereka juga mengambil mentahan ciloknya dari Dul. Penghasilannya jelas lumayan,” ujar penjual cabai tiba-tiba.
“Bener, Ni Irah. Ndak cuma mapan. Sumi ayu, Slamet ganteng. Pas banget, Ni,” tambah Ni Sari penjual sayuran.
Hampir saban hari, Ni Irah seperti dapat wejangan dari orang-orang pasar. Apalagi, sejak Sumi beberapa kali ketahuan boncengan naik sepeda jengki dengan Dul Slamet. Omongan-omongan tak hanya datang dari para penjual, tapi juga dari tetangga-tetangganya. Bahkan, ada yang bilang bahwa Sumi pernah hampir kepergok ciuman dengan kekasihnya itu di gubukan tepi sawah oleh Kang Sarto ketika pulang nyangkul. Semenjak itu, Kedua telinga Ni Irah tak henti-hentinya ditubruk omongan-omongan yang tak jarang bikin risih. Hingga akhirnya, Ni Irah menyuruh mereka kawin saja. Perempuan paruh baya itu juga mengatakan bahwa ketika anaknya kawin, mungkin beban hidupnya juga akan berkurang. Apalagi, Dul Slamet pemuda pekerja keras yang dapat dibilang cukup sukses.
Selama ini, Ni Irah memang hanya hidup berdua dengan Sumi. Sudah sekitar sepuluh tahun silam, suaminya kepincut janda kaya. Tanpa basa-basi, ia hilang begitu saja tanpa sepeser pun memberikan uang. Kata orang-orang, janda kaya itu menjual seluruh tanahnya, lalu pindah bersama lelaki itu ke Sumatera. Sejak itulah Ni Irah harus membanting tulang dengan berjualan di Pasar Moge supaya dapat menyekolahkan anaknya hingga sekolah menengah pertama.
Setelah lulus sekolah, Sumi pernah bekerja sebagai kasir di sebuah toko di daerah Barangaji. Namun, tak bertahan lama karena bosnya suka menggoda. Bahkan ia pernah mengatakan bahwa bosnya tua bangka yang tak tahu diri. Suka ngerayu, suka ngajak makan berdua, terus berlanjut diiming-imingi perabotan rumah kalau-kalau mau tidur di kamar sewaan dengan bosnya itu. Sumi yang tak pernah diajarkan nakal oleh sang Ibu, akhirnya memutuskan untuk kabur mendadak dan tak pernah kembali lagi ke toko. Semenjak itulah, gadis itu memilih membantu ibunya di pasar. Selain ikut menjual kerajinan; keranjang bandeng, keranjang gethuk, pithi, dan cepon; ia juga inisiatif menjual gorengan dan ketupat.
Kembali lagi pada rencana kawinan mereka. Sumi dan Dul Slamet cuma manthuk-manthuk ketika tanggal itu telah diputuskan oleh Ni Irah secara weton Jawa. Untuk mempersiapkan kawinan, Dul minta bantuan kepada paman dan bibinya, sebab tiga tahun silam, nyawa kedua orang tuanya terenggut oleh sebuah kecelakaan bus di daerah Krumput. Semenjak itu ia hidup sebatang kara. Kalau ada apa-apa sering lari ke tempat paman bibinya, Kang Karmun dan Bi Husni. Mereka jugalah yang dulu memberi modal pada Dul untuk usaha jualan cilok.
***
Delapan tahun menikah, Sumi dan Dul Slamet belum juga dikaruniai anak. Rasa-rasanya hidup tidaklah lengkap tanpa kehadiran dan kelucuan anak-anak. Sekiranya begitu apa yang selalu melekat di benak mereka. Hari-hari tak pernah luput dari renungan dan rintihan perempuan itu. Pun, sesekali dua kali bagi Dul. Namun, mereka tetap coba bersabar dan tak ada henti-hentinya memohon pada Gusti Pangeran. Selain itu, berbagai ikhtiar juga telah dilakukan, seperti mengonsumsi ramuan-ramuan alami untuk kesuburan. Ni Irah juga pernah menyarankan supaya mereka sesekali mendatangi dokter kandungan. Mereka pun mengikuti sarannya, tapi lagi-lagi ikhtiarnya belum juga berkehendak.
“Dul, weton kawinanmu sudah bener?” tanya Kardi tetangga dekat yang cukup paham dengan perwetonan.
“Aku ndak ngerti masalah itu, Kang. Diurusi Ni Irah.”
“Ni Irah, thok?”
“Kalau ndak salah sama Ki Rohim, Kang.”
“Kalau Ki Rohim saya percaya. Saya sarankan, temui Kyai Arbi, Dul. Besok bareng saya kalau sampeyan mau.”
Saran dari Kang Kardi diterima baik oleh Dul dan istri. Pagi-pagi sekali di pertengahan tahun, mereka bersama Kang Kardi menuju kediaman Kyai Arbi dengan mobil butut milik Kang Kardi. Perjalanan cukup memakan waktu ke arah timur. Sekiranya tiga sampai empat jam mereka sampai di muka gang kediaman Sang Kyai. Kang Kardi sudah beberapa kali mengunjunginya karena alasan-alasan tertentu, seperti meminta restu, didoakan, atau pernah juga mengantar mertuanya yang kena guna-guna. Jadi, sesampainya, mereka disambut dengan baik.
“Apakah Mas Dul pernah sangat menyakiti seseorang?” tanya Kyai Arbi serius setelah sebelumnya menerawang mereka berdua.
“Sepertinya ndak, Kyai. Saya malah merasa ndak punya musuh.”
“Bagaimana dengan Mbak Sumi?”
“Kalau saya….Saya pernah kabur dari toko baju tempat saya kerja, Kyai. Waktu itu, bos saya suka ngerayu. Suka mau macem-macem. Jadi, saya kabur dari toko.”
“Apakah sekiranya begitu menyakitkan bagi pemilik toko itu, Mbak?”
“Menurut saya Ndak, Kyai. Karena saya rasa ndak cuma saya yang kabur. Memang sudah watak bos saya suka ngerayu karyawan.”
“Baiklah,” sejenak Kyai Arbi terdiam.
“Begini, Mas, Mbak. Saya bukan orang pintar. Saya hanya memiliki prasangka yang saya yakini. Kemungkinan besar, ada seseorang yang pernah mengirimkan jin pada istrimu, Mas Dul. Atau setidaknya ia telah menyumpahi dan mengutuk kehidupan istrimu agar hidup dalam ketidakbahagiaan. Yang saya kira itulah yang membuatnya susah memiliki keturunan. Dan, siapa yang berbuat itu, saya kurang tahu. Saya hanya mengira-ngira bahwa kiriman itu berasal dari seseorang yang sangat sakit hati.”
Begitulah apa yang dikatakan Kyai Arbi. Usai bercakap-cakap dan diberi air ramuan, mereka berpamitan. Tak lupa pula memberikan sedikit upeti kepada Kyai Arbi.
Dalam perjalanan, Kang Kardi terus menyarankan mereka untuk mengingat-ingat kejadian masa lampau.
“Kalau tidak dengan kalian berdua, maka bisa saja dari orang tua kalian. Siapa tahu mereka pernah menyakiti seseorang. Atau bahkan mereka pernah menolak mentah-mentah lamaran.”
“Maksudnya, Kang?” Sekejap Sumi tersadar dari lamunan.
“Apakah sampeyan pernah dilamar seseorang sebelum kawin dengan Dul, Sum?”
Sumi terdiam. Dari sorot matanya tampak ia sedang mengingat-ingat sesuatu. Tentunya terhadap para lelaki yang pernah mencoba mendekatinya.
“Kalau lamaran saya kurang tahu. Tapi, dulu ada tiga laki-laki yang pernah mendekati saya. Dia Penjol, supir angkot Pasar Moge. Terus Kang Dimun, duda anak satu yang tiap harinya keliling menawarkan kredit televisi. Terakhir, Supri, laki-laki yang kesehariannya jadi tukang parkir di parkiran Gedung Bioskop Garuda.”
“Seperti apa sampeyan dengan mereka?” Kang Kardi bertanya kembali.
“Di antara ketiganya, Suprilah yang paling lama mendekati saya. Bahkan, saya mulai membuka hati pada lelaki itu, karena dari sikapnya ia seperti sangat jatuh cinta pada saya. Ia sering mengirimi saya makanan. Pernah juga membelikan saya baju lumayan mahal. Tapi, tiba-tiba saja tak pernah kelihatan sejak bertemu dengan ibu saya. Dan saya tak pernah tahu apa yang dikatakan Ni Irah pada Supri.
“Begini saja, Sum. Nanti, bicaralah baik-baik dengan Ni Irah. Siapa tahu, asal muasal sebabnya dari situ.”
***
Apa yang pernah dikatakan Kang Kardi ternyata benar. Ni Irah dengan cukup jelas mengakui bahwa Supri pernah diam-diam melamar anak semata wayangnya, Sumi. Ni Irah juga tak menyembunyikan apa yang selanjutnya terjadi. Ia menolaknya, bahkan dengan dilengkapi makian yang sungguh menyakitkan.
“Aku ndak sudi punya menantu kaya sampeyan. Tukang parkir. Keturunan wong gemblung. Sampeyan ngerti? Pamanmu, bekas bapaknya Sumi, akhlaknya kaya asu. Nglonteni janda. Aku ya ngerti, bapakmu terkenal supir tukang nglonte. Terus, sampeyan mau kawin dengan Sumi? Ndak sudi!”
Itu pun hanya sebagian yang Ni Irah katakan. Sumi sempat tak menyangka bahwa ibunya pernah memperlakukan Supri semengerikan itu. Padahal, tak pernah sedikit pun Supri berlaku tidak sopan terhadap Sumi. Cintanya terhadap Sumi bukan sesuatu yang dibuat-buat, bukan sebab nafsu belaka. Tapi, nasi telah jadi bubur. Dul yang mendengar itu sempat kaget, tapi akhirnya terus berusaha untuk menenangkan istrinya. Ni Irah yang sudah sepuh dan sakit-sakitan tak bisa berbuat banyak. Ia hanya beberapa kali meminta maaf pada Sumi, seraya menyuruhnya mencari Supri untuk meminta maaf.
Semenjak itu, Dul terus berusaha mencari Supri dengan modal foto hitam putih yang masih cukup jelas yang diberikan oleh Sumi. Ternyata, selama ini ia masih menyimpan foto itu meski ia sebenarnya telah lupa. Untuk sementara, Dul tak membuka warung ciloknya. Berhari-hari ia mencarinya. Mengelilingi kabupaten, bahkan kabupaten sebelah, puluhan orang telah ditanyai, tetapi tak ada satu pun yang mengetahui keberadaannya. Hingga pada suatu ketika, ia melihat seorang laki-laki dengan tingkah seperti orang gila sedang duduk di depan toko di daerah Barangaji. Dan ternyata itu adalah Supri, laki-laki yang pernah begitu mencintai istrinya. Dul Slamet yang membawa sepeda motor, terus berusaha membujuk Supri untuk ikut bersamanya. Pada akhirnya Dul berhasil membawanya setelah memberikannya sebungkus rames dan dua bungkus rokok kretek.
***
Pada tahun kesembilan, ada kabar baik yang menerpa kedua telinga Dul. Sumi hamil. Ni Irah yang makin sakit-sakitan hanya bisa menangis terharu. Ia menganggap kutukan itu telah benar-benar hilang semenjak ia meminta maaf kepada Supri secara langsung, diikuti Sumi dan mantunya. Meski hanya dibalas dengan tawa, tapi Ni Irah percaya bahwa setidakwaras apa pun manusia, di dalam hatinya masih dapat merasakan sebuah ketulusan. Tapi, di sisi lain, kekhawatiran Sumi tetap ada. Mengalir menjadi ancaman yang tak pernah usai.