“Dua atau tiga tahun lalu dengan tahun yang sekarang tidak ada bedanya bukan?”
Sambil menghela napas berat, aku menatap gedung di seberang danau kecil yang sedari tadi terlihat tenang. Berbeda sekali dengan isi kepalaku. Semakin hari rasanya semakin penuh dengan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan.
“Aku hanya lelah. Aku ingin tidur tanpa mimpi-mimpi buruk itu lagi.”
“Dee, aku mungkin bukan teman yang akan selalu ada di sampingmu atau selalu menemanimu di Surabaya. Tapi kamu tau, akan selalu punya waktu buatmu jika kamu ingin bercerita.”
“Terima kasih. Reksa seharusnya menyesal meninggalkanmu.”
Luu hanya tersenyum dan menunduk, memandangi jemarinya yang sedikit gugup.
“Kalau mau jadi bintang, aku mau jadi bintang yang redup saja.” Katanya tiba-tiba.
Aku sedikit tertawa, “Kamu kenapa? Bahkan bintang belum muncul. Ini masih terlalu sore untuk membicarakan mereka.”
Dia pun tertawa. Sebuah tawa khas darinya yang malu-malu sambil menutup mata.
“Aku rasa kamu benar,” ujarku.
“Tentang apa?”
“Tentang bintang yang redup itu. Seperti matahari terbit, seperti kura-kura. Mereka sama bukan? Mereka sejatinya bergerak, mereka sebenarnya sedang mengerjakan sesuatu, tapi mereka tidak terburu-buru.”
“Ya, dan bintang yang redup pun tetaplah bintang. Yang walaupun tidak semua bisa melihatnya, dia akan tetap jadi bintang. Tanpa harus terburu-buru dan berlomba-lomba untuk kelihatan lebih terang daripada yang lain.”
“Aku pernah dengar cerita kalau bintang-bintang yang terang itu, ternyata ada dalam akhir masanya. Mereka akan terlihat sangat terang kemudian meledak dan hilang.“
“Yah, setidaknya mereka pernah ambil bagian.”
“Kapan semua ini akan berlalu?”
“Kenapa? Tidak sabar ya?”
“Iya. Terlalu berat. Bayangkan saja, dia ada di mana-mana. Hal-hal yang sebetulnya tidak penting buat dipikirkan, malah memenuhi isi kepala. Ini menyebalkan.”
“Rasanya tidak adil bukan?”
“Sangat tidak adil!”
“Apa yang bikin kamu marah?”
“Semuanya, Luu. Semua ini, kenapa terjadi padaku lagi? Kenapa aku mudah percaya? Kenapa orang-orang harus pergi? Aku kan belum siap.”
“Karena memang begitu. Lihat! Matahari sudah mulai terbenam. Apa dia akan menunggumu bersiap lalu terbenam? Tidak ‘kan? Dee, kamu sedang berada di gelap malam kali ini, dan itu benar-benar tidak apa-apa.”
“Malam yang benar-benar gelap…”
“Malam yang mendung.”
“Yang penuh guntur.”
“Kilat yang menakutkan.”
“Ya….”
“Dan coba tebak, apa yang datang setelah hujan badai?”
“Memangnya apa? Jalan-jalan jelas dipenuhi genangan air.”
“Kebiasaan buruk! Cobalah melihat sesuatu yang positif.”
Aku hanya diam mengaduk minuman di gelas yang menurutku super besar itu. Alih-alih menjawab pertanyaan Luu, aku malah berpikir ke hal lain, apakah latte ini benar-benar manis?
“Ada banyak sekali hal yang digagalkan dengan alasan itulah sebenarnya jalan terbaik untuk ditempuh.” Katanya mendadak.
“Terbaik untuk siapa?”
“Tentu saja untukmu, Dee”.
Aku menghela napas, kali ini sambil tengadah, sambil bergumam, “Surabaya, oh Surabaya.”
Sambil menghembuskan asap rokok, aku amati beberapa orang lalu lalang dengan pikiran dan luka masing-masing. Kenangan-kenangan itu, mau aku kemanakan? Kotak apa yang sanggup menampung semuanya? Hendak dibuang ke laut? Laut mana yang mau terima? Ahhhh laut, kalau saja hatiku bisa setabah dan seluas kau. Ahhh bulan, kemana perginya semua yang tadinya serasa seperti rumah?
Luu berpamitan pulang dengan latte yang tinggal setengah gelas dan sebuah pesan, bahwa, ini semua hanyalah sebuah fase. Bahwa aku hanya sedang berada di lampu merah, bahwa hidup kadang memang perlu berjalan lebih lambat untuk seimbang.
Dan kematian itu sendiri datang lebih cepat dari yang aku tau. Membanting tubuhku ke arah kiri jalan dengan kuat dan… ah, rasa sakit ini, akhirnya sungguh berlalu. Dalam malam yang baru saja datang, untuk pertama kalinya dalam bulan-bulan ini, aku tidur lebih awal. Untuk pertama kalinya setelah bulan-bulan yang melelahkan, aku merasa damai.
Luu, kamu benar, bahwa dalam tangan-tangan yang sakit, Tuhan tidak pernah melepas genggamanNya. Bahwa Tuhan tau, apa yang terbaik untuk kita.[]