Terlahir menjadi perempuan atau laki-laki bukanlah sebuah pilihan yang bisa di-request atau dipilih. Terlahir sebagai manusia berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki sudah menjadi ketetapan dari Allah. Berbicara tentang manusia memang tidak bisa lepas dari sifat-sifat alamiah yang sudah menjadi identitas penyandangnya. Baik itu perempuan maupun laki-laki, manusia tetap makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.
Sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Hujarat ayat 13: “Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah maha mengetahui, Maha teliti.”
Dalam ayat di atas terlihat bahwa Allah menciptakan manusia dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan untuk saling mengenal. Mengutip dari Hanna Jumhana Bastaman dalam bukunya yang berjudul Integrasi Psikologi dengan Islam (1995) ia mengatakan, dari sekian banyak ciptaan Tuhan, manusia tidak sendirian dalam menjalani hidupnya. Demikian pula halnya dalam korelasi dengan sesama manusia, diciptakan lah laki-laki dan perempuan, justru untuk saling melengkapi dalam suatu kebersamaan (being in communion).
Perdebatan perbedaan jenis kelamin dan gender manusia tidak perlu lagi menjadi pembahasan yang dipertentangkan. Baik laki-laki maupun perempuan sudah Allah bekali dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga tak perlu lagi memetakan antara superior atau inferior dalam perbedaan tersebut. Terlepas dari pembahasan perbedaan jenis kelamin, ada hal lebih esensial yang perlu dibahas yaitu pemberian kontribusi pemberdayaan serta mempertahankan perempuan sebagai pemangku peradaban.
Upaya Pemberdayaan Diri Perempuan
Pemberdayaan (empowerment) merupakan sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan. Dalam konteks ini, bukan berarti perempuan akan mendominasi orang lain untuk mengambil alih posisi laki-laki, sehingga peran laki-laki berkurang. Hal yang lebih krusial adalah melakukan pemberdayaan perempuan dalam makna meningkatkan kapasitas dan ketangguhan perempuan (self resiliance), kemandirian dan internal strength mereka.
Upaya pemberdayaan diri merupakan langkah awal yang harus dilakukan perempuan untuk memenuhi kebutuhan dirinya terutama kebutuhan pokok. Misalnya, mampu menyelesaikan dan mencari jalan keluar terhadap persoalan yang menyelimutinya. Perempuan harus berani untuk memberdayakan dirinya dengan melakukan tindakan konkret yang revolusioner seperti menambah wawasan informasi, pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban.
Sebagaimana Onny S. Prijono dan Pranarka dalam bukunya berjudul Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi (1996), membagi pemberdayaan perempuan dalam empat hal, yaitu: [1] pemberdayaan psikologi, [2] sosial budaya, [3] ekonomi dan [4] politik. Dengan metode pendekatan dua arah, perempuan dan laki-laki akan lebih saling menghormati (respect) sebagai manusia (human being). Dengan begitu, terbentuk lah individu yang berpotensi mandiri dan tetap memiliki kepribadian yang kuat.
Seseorang dikatakan sudah berdaya ketika sudah mampu mengontrol emosi dan memimpin dirinya untuk menempati posisi terhormat dan mulia. Sebagaimana Risalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad mengangkat derajat dan menyetarakan hak-hak atas perempuan agar mereka mendapat kemulian. Tinggal bagaimana perempuan mejaga dirinya agar tidak tereksploitasi, atau bahkan meng-eksploitasi dirinya–baik di ranah industri hiburan, iklan kosmetik, maupun di sampul-sampul majalah dan papan reklame.
Salah satu dari wujud pemberdayan diri adalah terciptanya konsep manajemen diri, sebagai penunjang perkembangan dan kesuksesan. Konsep manajemen diri adalah adanya perencanaan, pengaturan, aktualisasi dan pengawasan diri. Dan menjalani hidup dengan arah yang benar sesuai dengan tujuan hidup yang positif adalah tujuan dari konsep manajemen diri tersebut (Dudun Hamdun, 2006).
Perempuan Pemangku Peradaban
Berbicara tentang perempuan, teringat ungkapan dari seorang penyair ternama Hafiz Ibrahim yaitu: “Al-Ummu madrasatul ula, idza a’dadtaha sya’ban thayyibal a’raq.” Artinya: Ibu merupakan madrasah (sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik. Berkaca dari ungkapan itu, setidaknya kita bisa memetik ini: seberapa baik-buruknya karakter seorang anak itu bergantung bagaimana karakter ibunya.
Perempuan menjadi pemangku utama dalam peradaban, karena dari rahimnya terlahir generasi penerus bangsa, agama, dan kehidupan. Perempuan juga mempunyai peran strategis dalam keluarga, selain mengurus suami ia juga sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya. Hal ini yang menjadi landasan betapa pentingnya pendidikan yang memadai bagi perempuan.
Peningkatan kedudukan dan pendidikan sudah menjadi keniscayaan yang harus dijadikan prioritas dan musti diperjuangkan bagi perempuan. Sebagai madrasatul ula juga sebagai perancang peradaban bangsa dengan melahirkan generasi emas, tentunya peningkatan intelektual, keterampilan, dan kompetensi lainnya harus terpenuhi sebagai bekal perempuan dalam menjalani kehidupan di zaman ini.
Sebagai seorang visioner, perempuan harus dibekali dengan pendidikan yang berkualitas. Selain kecerdasan, ia juga harus memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan sekitarnya. Ia juga harus menjadi penggagas ide-ide kreatif dan inovatif dalam upaya memecahkan problem yang ada di sekitar masyarakat. Namun, kecerdasan tersebut harus pula diimbangi dengan akhlak yang mulia dan mampu menjadi figur yang dapat menjadi teladan.
Harapan-harapan tinggi sebuah peradaban sering kali bersandar pada kaum perempuan. Setidaknya, perempuan harus diberikan ruang kebebasan untuk mengakses segala hal yang posistif demi kemajuan dirinya–yang otomatis juga demi kemajuan generasi mendatang. Salah satu perwujudan dari perempuan yang berdaya yaitu memberikan layanan pendidikan yang setara. Bukan hanya memberi kesempatan memperoleh pendidikan, tapi juga pendidikan yang responsif dan tidak bias gender, serta kesempatan untuk mengaktualisasikan diri sebagai buah dari pendidikan tersebut.[]
___________
Sumber Bacaan:
Lailatuzz Zuhriyah, 2018, Perempuan, Pendidikan Dan Arsitek Peradban Bangsa, Martabat: Jurnal Perempuan dan Anak, vol 2, No. 2.
Hasanatul Jannah, 2011, Pemberdayaan Perempuan Dalam Spiritualitas Islam, KARSA, vol. 19 No 2.
Akhmad Nurhuda, Ibu, Madrasah Pertama Bagi Anaknya, (radarbanyuwangi.id)