Menulis adalah salah satu kemampuan yang penting untuk menunjang peningkatan karir dalam semua lini kehidupan terutama dalam bidang Akademis. Namun pernahkan kemampuan ini diasah dalam jenjang pendidikan kita, misalnya pada jenjang sekolah dasar, menengah atau bahkan Perguruan Tinggi? Atau dengan pertanyaan yang lebih spesifik, pernahkah menulis menjadi sebuah mata pelajaran? Materi menulis mungkin masuk dalam serpihan materi pelajaran Bahasa Indonesia, namun sebagai pelajaran yang perlu dipraktikkan dan diujikan, penulis pribadi belum pernah mendapatkannya.
Oh iya, penulis pernah ingat belajar menulis huruf tapi itu waktu Taman Kanak-kanak (TK), sedangkan di jenjang selanjutnya tidak pernah diasah lagi. Keberhasilan menulis bukan hanya sekedar kepandaian kita mengulang huruf sesuai dengan kaidah, namun menulis yang dimaksud adalah kemampuan menyusun argumentasi, ide, dan kebaruan (novelty) yang kita pikirkan sendiri.
Dampak yang dihasilkan dari kurang seriusnya mengasah kemampuan menulis adalah plagiasi. Jangan heran jika sampai tahap menjadi Mahasiswa, masih kerap ditemui plagiasi dipraktikkan.
Sebenarnya, secara pribadi penulis menentang pelarangan plagiasi di perguruan tinggi. Karena di jenjang pendidikan sebelumnya, siswa tidak pernah dibiasakan menulis. Guru di sekolah lebih suka memberikan ujian dengan tuntutan jawaban harus sesuai dengan isi buku. Seharusnya pembuatan kebijakan harus dilandasi penelitian, sehingga pelatihan menulis dapat terlatih sejak dini. Penulis meyakini, tanpa keterampilan menulis plagiasi akan terus terjadi. Meski telah dilarang.
Mulai Menulis
Jika ditanya, kapan pertama kali penulis memulai menulis dengan serius, maka penulis katakan adalah pada tahun 2015. Terlambat? Tentu saja. Karena penulis sudah masuk semester 4 perkuliahan. Dan penulis harus jujur semua makalah, paper dan semua tugas-tugas penulis sebelum semester 4 perkuliahan adalah hasil plagiasi alias copy paste. Salahkah yang penulis lakukan? Tentu saja salah. Namun penulis perlu realistis. Penulis perlu mendapatkan nilai dari dosen dengan menggugurkan kewajiban menyetor tugas walaupun hasil copy paste dari buku atau internet. Kira-kira berapa banyak yang persis melakukan seperti yang penulis lakukan? Bagaimana dengan Anda?
Menyadari keadaan, tentu satu langkah lebih maju dibandingkan hanya ikut-ikutan tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Sejak saat itu penulis belajar untuk fokus, berusaha mengetik di laptop satu halaman penuh tanpa melihat buku Semuanya berasal dari apa yang penulis pikirkan dan rasakan kemudian menyertakan perbandingan. Ketika menulis, sering sekali penulis membuka kamus atau search di google mengenai arti atau pengertian kata tertentu. Intinya penulis berusaha yakin dengan diri penulis sendiri tanpa terlalu bergantung dengan isi buku untuk di copy paste.
Apakah penulis langsung bisa menulis? tentu tidak. Walau sejak sekolah menengah, penulis sudah rajin membaca, namun mental block yang terbentuk bertahun-tahun menjadikan penulis mengalami toxic perfectionist. Sedikit demi sedikit penulis menghancurkan mental block itu dengan cara terus menulis. Seperti kata bijak, seorang profesional berawal dari amatiran. Terus mencoba. Tulis dan tulis.
Resensi Buku
Kegiatan menulis tanpa membaca tentunya membuat penulis menjadi kekurangan bahan dan perspektif sehingga menjadi penulis wajib banyak membaca. Walaupun sejak berada di sekolah menengah penulis sudah rajin membaca buku, namun baru praktik menulis 5 tahun yang lalu. Membaca membantu penulis menuangkan ide dan gagasan dalam menulis. Ternyata skill menulis adalah hal lain yang perlu diasah. Dari tahun 2015 sampai tahun 2018 penulis sudah rajin menulis di blog pribadi bahkan sudah mengirim beberapa tulisan ke platform literasi atau website yang menerima tulisan esai atau artikel.
Akhir tahun 2018 penulis ikut berdiskusi dengan teman-teman di Resensi Institute. Mereka punya sistem dan kebiasaan sendiri dalam berdiskusi. Diskusi yang dilakukan berdasar buku. Terkadang buku digunakan untuk membantah buku lainnya.
Untuk memaparkan isi buku, perlu meresensi buku terlebih dahulu. Resensi maksudnya re (mengambil ulang) dan esensi (hakikat, inti, hal yang pokok) jadi artinya mengambil ulang hakikat dari buku yang telah dibaca.
Di Resensi Institute, mereka yang telah meresensi buku dibawah 10 buku disebut kontributor, diatas 10-99 buku disebut resentor, diatas 100-999 disebut editor, diatas 1000-9999 disebut ekspektor dan diatas 10.000 disebut profesor.
Resensi buku adalah jembatan mempertemukan bacaan dan ingatan kita. Menyelesaikan bacaan tanpa menuliskannya dan menanggapinya akan hilang begitu saja. Bacaan perlu diikat dengan meresensinya. Kegiatan menuliskan resensi membantu membentuk skill berpikir sistematis dan kritis. Hal ini akan membantu skill menulis kita.
Menulis Holistik
Manurut Iqbal Aji Daryono, alat dan bahan tulisan adalah objek. Kita memerlukan objek untuk dimaknai atau dinilai. Untuk menilai objek tersebut kita memerlukan rasa ingin tahu serta sikap ragu-ragu. Perlu juga melakukan kritik objek dan membumbuinya dengan imajinasi. Sehingga terciptalah output berupa bahasa yang kita sebut sebagai sebuah tulisan.
Tulisan yang tersusun dari bahasa tersebut mencerminkan isi otak kita. Semakin semrawut maka itulah isi otak kita. Maka perlu logika yang baik dalam berbahasa atau perlu memiliki nalar yang baik dalam berbahasa. Kalau bahasa kita tidak nyambung berarti logika kita cacat. Selain nalar berbahasa yang baik, perlu juga cita rasa berbahasa yang baik. Bahasa dalam sebuah tulisan tidak boleh kaku, harus estetik dan enak dibaca misalnya penuh rima. Dan yang terakhir perlu kekayaan kosakata untuk meracik tulisan yang baik.
Dalam buku Membangun Generasi Literasi karya Hartono Tasir Irwanto, dijelaskan bahwa menulis holistik adalah mencoba menuliskan kembali renungan dan perbandingan dari buku yang sudah kita baca dengan buku lainnya yang pernah kita baca, bisa pula dengan realitas yang terjadi, peristiwa yang aktual yang terjadi disekeliling kita dan perenungan berdasarkan perspektif kita. Dan ini sama halnya memproduksi gagasan baru. Baru dalam versi kita tentunya, karena didunia ini tidak ada yang betul-betul baru. Baru dalam arti menyempurnakan yang sudah ada.
Masih dalam buku yang sama, disebutkan bahwa alasan atau paradigma kita dalam menulis dibagi menjadi 5 yaitu spiritual, kesehatan, kecerdasan, sosial dan finansial. Apapun alasan kita mulai menulis, tidak menjadi masalah. Tetaplah menulis sesuai minat dan genre yang disukai.
Jika kita sudah sedikit naik level dalam menulis dalam artian kita sudah tidak kesulitan lagi untuk menulis 2 halaman sekali duduk maka kita perlu mengetahui kategori dari isi tulisan kita yang penulis sebut neuro-holistic writing yaitu menulis holistik berbasis fungsi luhur otak manusia. Fungsi luhur otak manusia ada 3 yaitu berpikir, merasa (emotion) dan bergerak (menggerakkan).
Ada jenis tulisan yang hanya berisi argumen dan pengetahuan baru, mengajak kita untuk memikirkan ulang sesuatu yang mapan maka itu kategori tulisan yang berpikir. Ada jenis tulisan yang penuh dengan cerita emosional, romantis dan penuh dengan inspirasi serta motivasi maka itu kategori tulisan merasa. Dan tulisan yang membuat kita langsung bergerak mempraktikan isi buku maka itu tulisan tipe menggerakkan. Neuro-holistic writing (menulis holistik) adalah tulisan yang memuat ketiganya sekaligus. []
Penulis adalah Fiqram Iqra Pradana.
Comments 1