Criticism is important part of creating anything. Once you put yourself out there, it should be embraced—not feared. It’s how we improve, how we learn. You can’t impress anyone all the time. You learn more from those who don’t like you, than those who do.
Begitulah kira-kira kutipan dari kanal YouTube I Hate Everything dalam videonya yang berjudul How To Take Criticism. Penutup dari rangkaian video drama lima tahun lalu antara sang kritikus film amatir melawan seorang sutradara film indie. Drama yang mempersatukan nyaris seluruh channel kritikus film dalam semesta YouTube demi mengingatkan kembali bahwa dalam seni, kritik bukanlah sesuatu yang harus dibenci.
Sebagai catatan, agar pemahaman kita sama, kritik yang saya maksud di sini adalah segala timbal balik yang ditujukan kepada suatu karya dalam bentuk koreksi yang membangun maupun tidak. Ya, komentar sekadar “gambarmu jelek” atau “tulisanmu tidak enak dibaca” tanpa adanya tambahan yang menegaskan mengapa karya tersebut dikatakan demikian, juga termasuk. Kalian boleh membenci yang satu ini kalau mau, jangan malu.
Karya adalah sesuatu yang sakral bagi seorang seniman, karena selama proses penciptaan secercah jiwa mereka tercurahkan ke dalamnya. Mendapati opini pedas dilontarkan pada karya kita memanglah menyakitkan. Namun kritik terhadap karya adalah sebuah keniscayaan. Mereka eksis dalam satu semesta yang sama. Jika kamu berani melempar batu ke danau, maka beranilah basah terhempas cipratannya.
Tanggapanmu terhadap kritik pun melambangkan statusmu sebagai seniman. Ambil contoh kasus yang lahir pada November 2015 silam, ketika Alex—pemilik channel I Hate Everything—membuat video mengkritik film Cool Cat Save The Kids yang disutradai oleh Derek Savage.
Cool Cat Save The Kids adalah film ‘edukasi’ (dalam tanda kutip) antibullying yang bercerita tentang seorang (seekor?) manusia-kucing berbulu jingga bernama Cool Cat mengajarkan anak-anak sekolah dasar menghadapi bullying. Dan seperti yang sudah bisa diduga, target penonton utamanya adalah anak-anak. Namun, hanya karena mayoritas penikmatnya tak dapat membedakan mana film berkualitas dan mana yang tidak, bukan berarti produksi film yang buruk dapat dimaafkan—yang rupanya adalah fokus utama dari kritik yang disampaikan oleh Alex.
Dengan mengesampingkan masalah teknis dan proses produksi yang memang terkenal apa adanya, seperti kostum terbatas, audio yang tidak pas, pemilihan font yang tak sedap dipandang mata (serius Comic Sans?) dan special effect yang membuat naga Indosiar bagai editan sekelas Marvel Cinematic Universe; penulisan skenario film ini dianggap sangatlah buruk hingga sebagian besar penonton malah bersimpati pada Butch—sang bully, sang antagonis—alih-alih Cool Cat sang protagonis.
Ya. Film ini pantas untuk dikritik.
Namun, beberapa hari kemudian, Derek Savage men-takedown serta membuat klaim hak cipta pada video tesebut. Alex tentu saja kebingungan, karena video buatannya dilindungi hukum Fair Use, di mana klaim hak cipta tak dapat ditimpakan. Tak hanya itu, Alex rupanya bukanlah satu-satunya korban. Derek Savage juga membuat klaim hak cipta pada banyak YouTuber berbeda yang mengkritik filmnya, seperti YourMovieSuck, menciptakan terjadinya takedown besar-besaran.
Seolah belum cukup, menggunakan akun Twitter Cool Cat, Derek Savage juga membuat cuitan menanggapi kritikan-kritikan tersebut dengan sangat tidak profesional dan bahkan memaksa para kreator menghapus video mereka sebelum Derek mengambil jalur hukum. Alex sendiri merespon reaksi Derek dengan rangkaian video yang rupanya cukup beradab bagi seseorang dengan julukan “I Hate Everything”.
Tanpa maksud berpihak, karena saya mengerti bagaimana rasanya jika hasil karya kita dikritik besar-besaran dan beberapa komentar Alex memang terlampau pedas, sikap Derek Savage yang demikian bukanlah hal yang bijaksana. Bahkan penonton Cool Cat pun merasa sang sutradara sudah kelewatan. Mereka yang awalnya berniat membeli film Cool Cat Save The Kids (karena beranggapan film tersebut masuk dalam kategori “sangat menghibur saking jeleknya”) kini pun membatalkan rencana mereka melihat kelakuan sang sutradara.
Bukankah sebuah ironi jika sutradara film antibullying malah membully kritikus karyanya sendiri dengan ancaman meja hijau semena-mena? Derek Savage membela diri dengan beranggapan bahwa ia hanya berusaha melindungi karyanya, tetapi sikapnya menanggapi kritik telah menetapkan seperti apa statusnya sebagai seniman.
Lalu bagaimanakah harusnya kita menghadapi kritik—yang laksana peranakan sambal matah dan cabai Dragon’s Breath karena saking pedasnya—secara profesional?
Mari berkenalan dengan Lewis Schoenbrun.
Hal yang sama pun terjadi pada Lewis terhadap filmnya yang berjudul The Amazing Bulk (yang merupakan parodi dari The Incredible Hulk). Bercerita tentang pria yang dapat berubah menjadi makhluk ungu raksasa ketika marah, dengan special effect yang membuat Cool Cat Save The Kids tampak setara dengan editan Marvel Cinematic Universe. Serius. Kalian harus lihat sendiri.
Dengan segala kekurangannya, setidaknya Cool Cat Save The Kids memiliki plot yang dapat dimengerti (meski tak rasional) dan latar tempat yang nyata. The Amazing Bulk tak memiliki keduanya dan dibumbui efek greenscreen yang sangat, sangat burik seolah divisi visual dan editing diisi oleh anak-anak sekolah menengah.
Dan tentu saja, Alex menjungkirbalikan film ini tanpa ampun. Video kritik buatannya bahkan ia sebut sebagai salah satu yang paling brutal, berkata di dalamnya bahwa dirinyalah yang “harus dibayar karena telah menyia-nyiakan waktu menonton film yang setara sampah ini”.
Namun, alih-alih klaim hak cipta, cuitan yang pedas atau email ancaman meja hijau; Lewis Schoenbrun malah mengirim email yang sangat manis:

Hi Alex,
This is Lewis Schoenbrun the director/producer of The Amazing Bulk. I just want to thank you for your insightful and entertaining review of my film. Apparently you had some difficulty in the past with filmmakers taking your criticism a bit too seriously. I welcome all comments good & bad! I can see that you have a loyal following and want to encourage you to keep up the good work. You provide a valuable service by giving independent film exposure which they so desperately need.
Respon Lewis yang sangat ramah dan profesional ini tak hanya menaikkan reputasinya sebagai produser film, tetapi juga menarik banyak penonton baru yang menghargai adanya coexist antara kritik dan karya.
Kritik, baik maupun buruk, adalah proses dalam berkarya. Tinggal bagaimana kita menanggapinya. Apakah setelah basah terciprat air kalian akan pulang dan mengganti baju? Atau diam di tempat memaki danau agar membelikan pakaian baru?[]