Suhrawardi al-Maqtul, terkenal dengan sebutan syaikh al-isyraq atau master of Illuminationist guru filsafat cahaya, sedangkan al-Maqtul artinya “ia yang terbunuh”. Lahir di Suhrawad, Negeri Iran barat laut pada tahun 548 H/1153 M. Pemahaman secara metafisis eksistensi (wujud) serupa dengan apa yang dimengerti berkenaan dengan akar pengalaman sebagai cahaya (nur). Dalam konteks ini eksistensi adalah cahaya.
Hampir lima puluh buku di antara tulisan-tulisan Suhrawardi pendasarannya menyinggung ajaran filsafat cahaya. Terlihat dari empat karya besarnya yang berpuncak pada Hikmat al-Ishraq ‘Filsafat Iluminasi’ yang bersifat didaktis (mendidik) dan doktrinal (ajaran), ada salah satu dari empat karya Suhrawardi yang sangat masyhur ditulis dengan bahasa Arab dan Persia dengan penjelasan pendek yang lebih muda dipahami yaitu Hayakil an-Nur ‘Altar-altar Cahaya’.
Secara garis besar teori-teori Suhrawardi tertuang singkat dalam nukilan berikut:
Hakikat dari Cahaya Mutlak Pertama, Tuhan, memberi terang terus-menerus, yang merupakan pengejawantahan dan menyebabkan segala sesuatu ada, memberikan kehidupan kepada segala sesuatu dengan sinarnya. Segalanya di dunia berasal dari Cahaya hakikatNya dan segala keindahan dan kesempurnaan adalah karunia dari kemurahan-Nya, dan mencapai terang ini sepenuhnya berarti keselamatan.
Cahaya menjadi simbol utama dari filsafat ishraqi. Simbol cahaya menjadi karakter dari bangunan filsafat isyraqiyah dalam menetapkan faktor yang menentukan wujud, bentuk, materi, akal primer dan sekunder, intelek, zat individual sampai ke tingkat pengalaman mistik (tasawuf).
Hakikat cahaya dalam iluminasi Suhrawardi, bahwa, cahaya merupakan realitas yang nyata yang tidak dapat didefinisikan, ia juga merupakan realitas yang “menapakkan” (to manifest) segala sesuatu. Cahaya juga merupakan sebuah substansi yang masuk ke semua komposisi substansi in-materil maupun immateril.
Cahaya merupakan sumber dari segala pengetahuan, mendapatkan pengetahuan bagaikan menerima penerangan. Sebagaimana ungkapan dari Imam Syafi’i “Al-Ilmu nurun wa nurullahi la yuhda lil ‘ashy” (ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat). Hal ini merupakan refleksi dari firman Allah dalam surah an-Nur ayat 35 yang artinya:
Artinya: Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca, dan tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia. dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.
Intisari dari ajaran filsafat iluminasi adalah cahaya, dari sifat dan penyebaran cahaya. Tuhan adalah Cahaya yang ia sebut sebagai Nur al-Anwar. Cahaya sebagai penggerak utama alam semesta, sedangkan alam semesta merupakan sebuah proses penyinaran raksasa, dimana semua wujud bermula dan berasal dari prinsip Utama Yang Esa (Tunggal).
Cahaya merupakan sumber segala sumber, esensi yang paling nyata lagi terang, mustahil jika ada yang lebih nyata dan lebih terang darinya. Pendapat ini sebagaimana pemikiran Ibnu Sina tentang konsep Wajib al-Wujud. Suhrawardi juga mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat diliputi aksiden (‘ardh) ataupun substansi (jauhar) karena dapat mengurangi keEsaan Tuhan. Oleh karena itu, cahaya pertama mesti Satu (Esa, Tunggal), baik zat maupun sifatNya.
Uraian tentang pemikiran Suhrawardi di atas, membuat kita semakin mengetahui bahwa filsuf muslim membangun aliran iluminasi sebagai perspektif lain dari aliran peripatetik yang mendahuluinya. Hal ini dapat kita lihat bagaimana konsep perpaduan antara filsafat dan tasawuf (tasawuf falsafi), yang menekankan bahwa pengetahuan tidak semata diperoleh dari akal, akan tetapi dari rasa (dzauq) yang awalnya ditempuh dengan jalan mujahadah.
Dzauq berfungsi sebagai penyerap mistisme atas segala esensi dan membuang skeptisme. Pengetahuan spiritual perlu di rumuskan dan di sistematisasikan oleh pikiran yang logis. Dan dari itu, pengetahuan dalam ishraqi tidak hanya dari kekuatan intuitif melainkan juga dari rasio. Perpaduan dari intuitif untuk meraih segala sesuatu yang dapat dipercaya oleh rasio akan menghasilkan pengetahuan yang tinggi dan terpercaya.
Posting yang bagus, saya telah membagikannya dengan teman-teman saya.