• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Rabu, 15 Oktober 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom Esai

Homo Digitalis dan Kebutuhan Kita pada Filsafat

Tulisan ini adalah bahan diskusi NLS #4 pada Sabtu, 15 Januari 2022

Moh. Ainu Rizqi by Moh. Ainu Rizqi
17 Januari 2022
in Esai
0
Homo Digitalis dan Kebutuhan Kita pada Filsafat

https://www.behance.net/gallery/113721879/NeoBodies-Series

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Plato pernah mengatakan bahwa jiwa kita ini sesungguhnya “terpenjara” dalam tubuh, raga, yang sifatnya fana ini. Hal tersebut yang menjadikan Plato memiliki argumen yaitu realitas ini terdiri dari dualisme. Realitas sejati, kata Plato, terletak di alam idea. Alam nir-ragawi, sedangkan yang ada dan dapat dilihat dengan panca-indera ini merupakan realitas yang semu. Seperti alegori “goa”-nya Plato yang masyhur.

Saat ini, ketika Covid-19 membabak-belurkan semua aspek kehidupan, work from home menjadi andalan yang utama bagi seluruh manusia. Adanya demikian menimbulkan konsekuensi bahwa semua kegiatan, baik kerja, pembelajaran, perkuliahan, dll. “dipaksa” menggunakan media digital yang bisa membuat manusia berjejaring lintas daerah, lintas bahasa, lintas waktu, lintas keadaan, hingga lintas kesadaran(?) Lagi-lagi mengingatkan kita pada Plato, bahwa tubuh kita “terpenjara” di rumah, namun jejaring dan pikiran kita bisa mengembara ke mana-mana melalui dunia lain, yaitu dunia digital.

Manusia dalam Ruang Digital

Sebelum berkembangnya era digital, Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon logon echon, yakni makhluk pemakai bahasa. Saat itu penutur bahasa (seseorang) hadir dalam langsung secara ragawi. Sedangkan di era revolusi digital saat ini, manusia bisa berkomunikasi tanpa kehadiran ragawi secara dekat. Keduanya dapat berkomunikasi dalam lintas jarak dan waktu yang berbeda, namun dalam dunia yang sama: dunia digital.

Perlu kita ketahui, bahwa manusia menurut Christian Montag (2018) hanyalah sebuah komponen sistem media komunikasi. Karena dalam sebuah jejaring, komunikasi digital manusia hanya penyalur pesan dari internet of things. Ya, meskipun pada awalnya jejaring digital digunakan sebagai alat untuk menyalurkan pesan antar-manusia, namun tak dapat dipungkiri bahwa manusia kini diperalat oleh media digital.

Manusia yang pada awalnya merupakan homo sapiens (manusia bijak, manusia cerdas, manusia modern) kini beralih menjadi homo digitalis. F. Budi Hardiman (dalam buku Aku Klik, Maka Aku Ada, 2021) mengatakan bahwa homo digitalis merupakan makhluk yang dikendalikan media, berfungsi sebagai media, dan mengadaptasi iklim teknologi digital.

Homo digitalis ini tak cukup hanya menggunakan media, lebih jauh lagi, manusia kini bereksistensi menggunakan media. Kita saat ini bereksitensi dengan chatting, upload foto, upload status, dan beropini dengan gagahnya, melalui media—yang keseluruhannya telah berwajah digital dan klik-able bagi jari-jari semua manusia.

Dengan mengguritanya media digital, ditambah pula wabah Covid-19 yang masih saja gaib, baik berakhirnya maupun kebijakan-kebijakan terkaitnya, manusia kini semakin bersetubuh dengan media digital. Dengan begitu tentu menimbulkan konsekuensi bahwa segalanya dapat diakses melalui media digital. Dimanjakannya manusia dengan kemudahan mengakses segala hal, menjadikan sebuah fakta kian buram. Kebenaran terjerembab dalam keburaman yang paripurna.

Persoalan fakta dan kebenaran yang kian kabur tersebut membuat kehidupan manusia di dalam dunia digital serasa kacau, parahnya, kekacauan virtual tersebut merembet pada kekacauan korporeal. Kekacauan tersebut dapat berakar dari hoax, bocornya privasi personal di publik digital, hingga aib yang seakan-akan tak punya tempat berpijak lagi.

Kendati demikian, di era digital ini ragam literasi juga beralih rupa menjadi literasi digital—informasi, pengetahuan, dan wawasan baru—yang kini dengan mudahnya kita akses melalui media yang tersedia. Untuk memilih dan memilah mana yang sepatut-layaknya kita konsumsi di media digital, tentunya diperlukan kebijaksanaan dalam memanfaatkannya. Di sinilah filsafat akan relevan.

Filsafat dalam Pusaran Literasi Digital

Literasi digital dalam buku Peran Literasi Digital di Masa Pandemik (Suherdi, 2021) merupakan pengetahuan serta kecakapan manusia sebagai pengguna dalam memanfaatkan media digital, seperti alat komunikasi, jaringan internet, dan lain-lain. Kecakapan manusia dalam memanfaatkan media digital ini tak terlepas dari kemampuannya dalam mengerjakan, menemukan, mengevaluasi, menggunakan serta memanfaatkannya secara bijak dan cermat sesuai kegunaannya agar tidak zalim.

Untuk menjadi bijak tersebut, kiranya filsafat hadir sebagai titik tolak dalam mengupayakan sikap bijaksana dan tepat dalam memilah-memilih sesuatu sesuai dengan kebutuhan. Di era saat ini, mendengar kata “filsafat” acapkali membuat dahi kita berkerut. Banyak orang yang berpendapat bahwa filsafat adalah sesuatu yang berada di menara gading. Rumit, abstrak, tinggi, mengawang-awang, terlalu banyak hal yang abstrak sehingga sulit untuk dipahami.

Padahal filsafat sebenarnya sangat menggoda dan seksi untuk kita pelajari. Franz Magnis Suseno (1992) menyatakan bahwa filsafat pada hakekatnya adalah ilmu kritis. Filsafat membawa manusia menjadi kritis akan semua hal, bahkan dirinya sendiri. Sikap kritis inilah yang menjadikan manusia bisa mempertanyakan, meragukan, dan menganggap sesuatu itu benar atau salah. Berangkat dari sikap kritis tersebut, filsafat pada akhirnya sangat dibutuhkan sebagai pakaian untuk mengunjungi rimba digital ini.

Berfilsafat berarti berpikir, namun tidak semua berpikir dapat dikatakan berfilsafat. Berfilsafat memiliki ciri khas dalam berpikir, yaitu:

  • Radikal: mencari sesuatu hingga ke akar-akarnya yang terdalam, sehingga tidak tergesa-gesa dalam menyimpulkan segala sesuatu.
  • Sistematik: runtut, mengerucut, dan bagian perbagian. Dari yang pokok lalu diuraikan menjadi detail-detail yang lebih rinci
  • Rasional: masuk akal, logis dalam menyusun kerangka berpikir.
  • Universal: berarti berpikir secara menyeluruh, tidak terpaku pada aspek tertentu saja.
  • Bebas dan tanggung jawab: berfilsafat berarti bisa berpikir apapun dan bebas dari pengaruh-pengaruh sosial, sejarah, budaya maupun agama. Namun tetap dalam disiplin yang sangat ketat—salah satu cabang filsafat yang membuat kebebasan berpikir ini agar tetap dalam koridor adalah pembahasan logika. Karena dengan logika yang beres, maka kebenaran dapat diketahui secara sukses (meskipun setiap kebenaran masih bisa diperdebatkan). Oleh karena itu, kebebasan berpikir tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan pada diri sendiri maupun pada orang lain dengan kedisiplinan yang ketat.

Kelima ciri berpikir filsafat yang dirangkum dari berbagai sumber tersebut sangat kita butuhkan dalam menjelajahi rimba digital. Pasalnya literasi digital tidak melulu memberikan dampak yang baik terhadap manusia. Dengan benar-benar mudahnya kini mengunggah sesuatu hingga opini, apalagi jika telah dibumbui dalil yang ditafsir sesuai kepentingannya sendiri dan golongan, maka kita dituntut benar-benar selektif agar tak terjatuh pada jurang kekacauan.

Implementasi filsafat dalam rimba digital maupun ketika aktif dalam literasi digital sebenarnya sangat mudah dan tidak muluk-muluk. Seperti ujar Friedrich Nietszche: Menunggu, bersabar, itulah berpikir. Pada dasarnya kita hanya perlu menunggu dan bersabar. Tidak tergesa-gesa menentukan bahwa informasi yang didapat di media itu pasti benar; tidak tergesa-gesa menjustifikasi seseorang bahwa apa yang diunggahnya adalah fakta yang benar-benar terjadi.

Dua Dunia dalam Satu Jari

Berfilsafat dalam dunia digital kiranya dapat menjadi sebuah katarsis bagi kabur dan keruhnya informasi yang banjir bandang. Dengan menerapkan pola berpikir filsafat, kita tak akan mudah berprasangka dan—meminjam konsep dekonstruksi Derrida—menunda setiap klaim kebenaran dari otoritas. Sebab tanpa kita sadari, dunia digital sendiri pun memiliki otoritas yang berwujud influencer, yang validitas serta kapabilitasnya belum tentu, dan para buzzer yang menjadi representasi mental kerumunan.

Hingga hari ini, masih banyak ditemui orang yang tampil gagah penuh performa di dunia digital, namun senyap dan pecundang di dunia korporeal. Padahal dua dunia tersebut saling berkesinambungan satu sama lain. Sebuah pesan yang disampaikan di dunia digital akan berdampak pada dunia korporeal. Satu contoh adalah ketika seseorang menjalin hubungan asmara virtual.

Bagi sebagian sejoli yang terhalang oleh jarak, sarana digital menjadi senjata ampuh bagi mereka untuk menjalin kasih. Namun sering terjadi kerunyaman ketika pesan yang disampaikan tanpa kehadiran tersebut gagal dipahami oleh salah satu pihak, sehingga menjadikan pertengkaran dan menyebabkan kegalauan dalam waktu yang tak dapat ditentukan.

Itulah pentingnya filsafat, setidaknya memberi jeda waktu untuk mengklasifikasi dan menjaga rasionalitas agar tak kalah oleh ego serta emosi kita yang cenderung irasionalitas. Keseimbangan antara ego dan rasio-lah yang sebenarnya kita butuhkan dalam menghadapi dua dunia tersebut: dunia digital dan dunia korporeal.

Oleh karena itu, etika-etika yang biasanya kita terapkan di dunia korporeal—dunia nyata—perlu kita terapkan pula di dunia digital. Jika di dunia nyata kita ingin diperlakukan sesuai apa yang kita inginkan, maka kita harus memperlakukan orang lain serupa. Begitu pun di dunia digital, jika ingin diperlakukan dengan baik, maka perlakukanlah orang lain dengan baik, cukup mudah untuk menerapkannya: hanya menggerakkan jari dengan memantabkan pikiran.

Beda lagi jika kita telah memperlakukan orang dengan baik namun ada segelintir orang yang memperlakukan kita dengan tidak baik. Lagi-lagi filsafat relevan di sini, yaitu kita bisa menerapkan ajaran-ajaran dari filsafat Stoisisme tentang dikotomi kendali. Dalam hidup ini ada sesuatu yang dapat kita kendalikan dan sesuatu yang tak dapat kita kendalikan, seperti omongan orang lain, penyakit, iklim, dan rezeki.

Namun tak semuanya bisa menerapkan hal tersebut. Setidaknya dalam revolusi digital yang mengalihkan homo sapiens menjadi homo digitalis ini, kita sebagai manusia tetap bisa otentik dengan kemanusiaan kita. Tidak mudah hanyut terbawa arus banjir bandang informasi serta dapat menjadi pembendung hoax yang kerap datang secara brutal.

Dengan cara berpikir filsafat, kita bisa berlaku lebih bijaksana. Sesuai dengan makna filsafat secara harfiahnya, yaitu philo sophia, cinta kebijaksanaan. Pada akhirnya, filsafat yang, katanya ruwet, abstrak, njlimet, abstrak dan mengawang-awang, akan selalu kita butuhkan untuk hari ini, esok, dan lusa nanti. Filsafat juga akan selalu relevan di dunia korporeal maupun dunia digital, agar kita tak menjadi homo “brutal”.[]

NB: Video diskusi topik ini selengkapnya bisa disimak di sini.

Tags: filsafathomo digitalisHomo Digitalis dan Kebutuhan Kita pada Filsafathomo sapiensliterasi digitalmedia sosialmoh. ainu rizqi
ShareTweetSendShare
Previous Post

Transformasi Standar Berkat Gendurenan di Era Revolusi Industri 4.0

Next Post

Cengkraman Lelaki Idaman

Moh. Ainu Rizqi

Moh. Ainu Rizqi

Alumni Aqidah Filsafat Islam UINSUKA dan Guru Honorer yang gemar ngopi sambil menulis

Artikel Terkait

Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
Esai

Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna

5 Agustus 2025

Malam itu, saya belum ingin tidur cepat. Hingga lewat tengah malam dan hari berganti (Rabu, 23 Juli 2025) saya duduk...

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
Esai

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

28 Juli 2025

Jika bulan Juni sudah kepunyaan Sapardi, Juli adalah milik Hemingway. Pasalnya, suara tangis bayi-Hemingway pecah di bulan yang sama (21...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)

2 April 2024

Sepuluh menit setelah tanggal berganti menjadi 29 Maret 2024, teks cerpen Agus Noor dihidupkan di ampiteater Ladaya. Sejumlah kursi kayu...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1

1 April 2024

28 Maret 2024 Masehi. Malam 18 Ramadhan 1445 Hijriah. Saya tiba di Ladaya, Tenggarong, setelah menempuh lebih dari satu setengah...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan

Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan

26 April 2025
Surat dari Eretria

Surat dari Eretria

7 Februari 2021
Ode untuk Martir Pengetahuan: Puisi-puisi Moch Aldy MA

Ode untuk Martir Pengetahuan: Puisi-puisi Moch Aldy MA

11 Januari 2023
Makassar dalam Arus Niaga Internasional

Makassar dalam Arus Niaga Internasional

13 Maret 2022
Mendikte dan Menyombongi Tuhan

Mendikte dan Menyombongi Tuhan

12 Februari 2021
Gambar Artikel Sali dan Suli.

Sali dan Suli

6 November 2020
Warna

Warna

11 Mei 2023
Tamu

Tamu

10 Juli 2022
Gambar Artikel Puisi Tentang Pandemi : Puisi-Puisi Fajar Sedayu (Yogyakarta)

Puisi-Puisi Fajar Sedayu (Yogyakarta)

31 Oktober 2020
Doa

Doa

18 Juni 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (216)
    • Cerpen (54)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.