Misalnya ada maling ayam, Ponk, lantas konangan oleh salah satu warga dusun. Karena kondisi malam sepi, satu warga dusun tersebut takut-takut menangkapnya sendirian. Sebelum satu warga tersebut sempat teriak, si maling ayam itu lekas menaruh telunjuknya di depan bibir. Dan berkata, “Ssst! Jangan berisik. Ayo kita bagi hasil. Nanti kau kukasih dua paha ayam ini.”
Karena sedang paceklik akibat Pandemic Covid-19, warga dusun itu akhirnya menimbang-nimbang. Mengingat anak istrinya yang juga belum jelas esok akan makan apa. Wa ba’du, si maling ayam dan warga dusun itu pun berunding, bersepakat, dan tidak mengadukan kepada siapa-siapa. Dengan dalih demi kemaslahatan bersama, mereka pun mengetok palu keputusan bahwa hasil curian tersebut dibagi-bagi. Kira-kira begitulah win-win solution—dalam dimensi dan lapis makna khusus.
Sekarang bayangkan jika ayam yang dicuri itu sebesar jembatan, segede waduk, bandara internasional, segagah gedung-gedung besi, setambang Freeport, atau seluas hutan Kalimantan dan Papua, semenggiurkan tambang batu bara, atau sekurang-kurangnya semahal Jiwasraya dan seseksi dana penanganan wabah korona. Jika kebetulan ada yang memergoki, entah itu petugas keamanan, pejabat negara, penegak keadilan, hakim, aparat, KPK, atau sekadar Satpol PP dan hansip, bisakah ada kemungkinan hal itu terjadi? Maka sebutlah saja hal itu sebagai win-win corruption. Intinya sama-sama enak, sama-sama menang—dalam arti yang bertanda petik.
Umpamanya ada yang agak ngeyel atau ndableg dan tidak bisa dilobi, ya siap-siap saja jadi Novel Baswedan kedua. Mripatmu—atau bahkan anumu—akan diciderai dengan “tidak sengaja”, namun direncanakan dengan sangat rinci. Fenomena macam begitu tidaklah hal yang luar biasa, Ponk. Sangat amatlah wajar dalam percaturan politik. Terkadang bahkan ada yang lari melintang-pukang dan mulutnya berbusa-busa memberi pembelaan, pledoi, aneka pamflet dan selebaran apologetik yang rapi untuk hanya menyatakan bahwa hal itu dibolehkan oleh hukum.
Namun, apa gerangan rakyat di mata hukum? Hukum tak ubahnya adalah instrumen pemerintah untuk menjerat mereka yang miskin papa dan tak diperbolehkan untuk mengetahui fakta. Kata-kata dipelintir, pasal-pasal dicungkil, didapuk, ditafsirkan secara canggih dan seolah logis bahwa perbuatan menyiram air keras itu layak dijatuhi hukuman 1 tahun bahkan kalau bisa dibebaskan saja karena tidak sengaja, sedangkan nenek-nenek pencuri semangka dipenjara 5-8 tahun. Sungguh republik sulapan. David Copperfield dan Houdini pasti iri dengan negeri ini. Reputasi mereka kalah jauh antara bumi dan matahari dibanding kekancilan, keiblisan, dan keluarbiasaan magic yang dipertontonkan oleh negara kita.
Jangan anggap aku sedang melakukan kritik, Ponk. Ini cuma molo-molo macam orang kepenuhan makanan di mulutnya. Kau tidak perlu terjerembab pada kubangan falsifikasi yang tak penting. Bahwa aku yang berpandangan sempit dan hanya bisa berceloteh ini pun rentan mengalami ketertipuan. Oleh fakta dan data saja aku kerap ketipu, apalagi oleh sulap. Kekagumanku pasti akan sangat membuncah.
Tapi dunia ini kan hanya permainan di atas permainan. Apabila kau merujuk ke pertunjukan komedi, barangkali fabula atelana dan fabula togata sedang digelar. Satu menggambarkan adegan jenaka singkat dengan latar kehidupan desa, sementara yang lain show kehidupan sehari-hari di kota secara dagelan. Bukankah waktu hanya butuh diisi dengan kesenangan saja, Ponk? Jauh sebelum Nabi Isa saja, Heraclitus sudah pernah menulis: time is a game played beautifully by children. Rugilah kita jika hidup sekali namun banyak bersedih. Apalagi bersedih karena ulah sengkuni-sengkuni. Eman-eman staminamu, bos! Mending dipakai jualan. Jualan ayam hasil curian tadi, misalnya. Eh.[]
Kembangsore-Mojokerto, 26 Juni 2020