Saat pertama kali saya mendengar kata “hermeneutika”, saya tertarik untuk tahu artinya. Namun, saya tidak sampai mencari makna. Saya mendengar kata itu saat ada turnamen futsal antar-jurusan di kampus. Hermeneutika adalah nama kelompok futsal dari tim Ilmu Al-Qurán dan Tafsir. Saya mengira, itu bagian yang diketahui oleh mereka. Bisa jadi itu hal yang mereka kuasai dari jurusan Imu Al-Qurán dan Tafsir.
Rangkaian peristiwa yang saya alami masih terus berlanjut. Anggap saja, kata hermeneutika juga bagian dari peristiwa saya. Saat ini, saya menempuh magister di bidang studi Ilmu Al-Qurán dan Tafsir. Minggu lalu, saya mendapat bagian presentasi tokoh Martin Heidegger. Tidak ada yang istimewa, sih. Karena tiap minggu saya mendapati mata kuliah tersebut. Tentu, seperti halnya mata kuliah lain, yang dituntut dengan SKS dan makalah, bukankah kebanyakan demikian?
Saya ingin menyampaikan kesan. Pagi tadi, saya mendapat materi hermenutika tentang tokoh Rudolf Bultman dan Teori Demitologisasi miliknya. Saya hanya menangkap, bagaimana ada pesan yang tersampaikan dari teks, bisa karena adanya peristiwa. Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang pertemuan saya di kelas setiap minggunya, saya ingin menyampaikan pesan dan kesan saat saya presentasi Heidegger.
Saya telah melalui presentasi dengan catatan “salah pemahaman”. Saya ingat betul. Berkat cara reduksi saya dalam menerima ilmu pengetahuan, yang sebelumnya mendapat justifikasi dari dosen saya. Ketika proses memahami, saya menerapkan Pra-Pemahaman, Faktisitas, dan Kemewaktuan Memahami.
“Dalam teori faktisitas, tidak ada subjek dan objek. Misalkan penafsir memahami teks, maka penafsir adalah teks itu sendiri.” Saya lantang mengungkapkan, jika manusia memiliki pemahaman yang lebih awal, lantas memiliki perencanaan yang lebih awal, dan itu akan terealisasikan ke dalam pemikiran yang akan datang.
Interpretasi terkait pemakanaan cara berpikir hermeneutika akan sangat banyak dan berbeda-beda, dari masing-masing tokoh penggagas. Saya sendiri akan menyampaikan apa yang saya pahami, dan itu menunjukkan betapa sempitnya saya dalam memahami. Mudah-mudahan ini bisa menjadi umpan untuk penulis atau pemerhati hermeneutik, sehingga bisa dipahami untuk pembaca dan menarik untuk dikaji lebih jauh.
***
Sejak pertemuan pertama kuliah, saya mendapat materi pengenalan awal “seni memahami”. Setelah pengenalan itu, masuk kepada hermeneutik beserta pencetusnya (tokoh). Terhitung sejak awal sampai sekarang, sudah ada 4 tokoh, yaitu Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, dan (hari ini) Rudolf Bultman.
Berawal dari buku pegangan perkuliahan “Seni Memahami” karya F. Budi Hardiman. Saya tidak membaca definisi hermenutika di lembaran awal buku itu. Saya hanya melihat judul buku dan dikuatkan dengan definisi singkat oleh dosen. “Hermeneutik adalah memahami apa itu memahami.”
Ketika dikaitkan dengan Ilmu Tafsir Al-Qurán, hermeneutika berfungsi untuk membantu dalam menafsirkan Al-Qurán. Menafsirkan Al-Qurán tidak bisa secara tekstual saja, namun harus bersama dengan konteks. Jika yang diketahui konteksnya, berupa asbabun nuzul–tidak semua ayat ada asbabun nuzul-nya. Sehingga hermeneutik menjawab, bahwa semua ayat ada konteksnya. Jika menafsirkan Al-Qurán butuh pemahaman kuat, maka dengan hermeneutika kita akan memahami apakah pemahaman yang dilakukan sudah sesuai teks dan konteks ataukah tidak.
Schleiermacher menerapkan seni memahami lebih kepada kitab suci, teks hukum, dan filologi. Disebutkan juga latar belakang intelektualnya adalah Romantisme Jerman dan berpijak pada “memahami sebagai berempati”. Beralih ke Dilthey, ia bersikap “memahami sebagai metode ilmiah”. Dilthey bukan memahami teks sakral, namun lebih kepada ilmu kemanusiaan atau sosial.
Sedangkan Heidegger, “memahami digunakan sebagai cara berada”. Heidegger dalam memahami menunjukkan kepada eksistensi manusia. Tokoh terakhir yang saya pelajari adalah Rudolf Bultman. Bultman “memahami sebagai menyingkap makna eksistensial” (mulai dari mitos, sumber-sumber dari Bible atau Al-Qurán, teks sakral).
Setelah belajar Seni Memahami, saya mencoba memahami pemahaman saya. Saya mencoba paham, baru di pertemuan terakhir, hari ini. “Jika tidak sadar, maka di kelas mengantuk,” kata Bapak Zainun Kamal, dosen Ilmu Filsafat Islam. Ungkapan ini berlaku dalam semua hal, kenapa saya tidak menyadari, pikiran saya kemana-mana, mungkin melamun. “Memahami menurut Bultman adalah menelusuri bagaimana pesan yang disampaikan di dalam teks untuk kita pahami,” kurang lebih kesimpulan pada hari ini.
Ya, pikiran itu memang liar. Ada teman saya bertanya, memahami makna Isra’ Mi’raj. Jika itu sebuah pengalaman sakral yang dialami Nabi Muhammad, banyak umat Islam yang tidak percaya. Bahkan dalam sebuah cerita: penganut Islam menjadi kafir. Akan tetapi, penjelasan untuk bisa memahami teks atau pengalaman tersebut, tidak hanya berdasarkan ayat dan artinya yang termaktub dalam QS. Al Isra, namun juga bagaimana kita “memahami pemahaman” teks atau ayat tersebut.
Berbekal dari hermeneutik Bultman, kita mencoba memahami pesan dari perjalanan spiritual itu. Adapun ketika umat Islam memahami mukjizat, disebutkan oleh Bultman, dapat menggunakan teori demitologisasi. Cara memahami yang digunakan untuk menyingkap makna dari mitos.
Jika mukjizat atau Isra’Mi’raj dinilai sebagai mitos, maka penyingkapan makna tersebut boleh jadi malah memperkuat keimanan seseorang. Tidak hanya percaya begitu saja, tapi proses mengkaji dan memahami yang akan berlabuh pada kuasa transenden yang tidak bisa kita ungkap sebenarnya. “Hermenutika adalah memahami apa itu memahami. Sehingga, keimanan itu akan lebih kuat, dalam memahami Al-Qurán, misalnya.”
Tipe masing-masing orang tentu berbeda. Termasuk dalam menerima pengalaman, salah satunya memahami pertemuan bersama Bultman (materi di perkuliahan, hehe). Saya merespon tentang “Bagaimana pesan itu sampai.” Jika dikontekstualisasikan ke dalam jurnalistik, apakah hermeneutik akan menjadi cara memahami dalam penyampaian kabar/berita lebih faktual?
Terutama melihat kabar hoaks semakin marak, kiranya bisa diimbangi dengan seni memahami. Bagaimana memahami konteks, memahami teks, dan bisa menghasilkan kabar atau berita yang layak dibaca masyarakat. Bukan perihal beritanya, namun jurnalis atau wartawan bisa menggunakan cara memahami untuk bekal dirinya sebagai seorang jurnalis yang bertanggung jawab atas teks atau berita yang dia liput dan sajikan.
Seni memahami ini menjadikan para pembelajar untuk terus mencari. Mulai mengetahui sejarah, memahami diri, dan memanfaatkam atau mengaplikasikan cara pemahaman yang mengakar dan holistik untuk menjadi pribadi yang memiliki prinsip. Ringkasnya, cara berpikir yang tidak instan. Berpikir sederhana berbeda dengan berpikir instan. Berpikir “tinggi” juga belum tentu menyulitkan.
Sebetulnya tidak ada kebenaran tunggal yang paling benar. Akan tetapi sebagai manusia bisa untuk menerima pesan dan kesan, pilihan hidup (bisa dalam memilih kabar berita, atau pesan dari ayat sakral). Dari proses dan pengalaman memahami itulah, kita pilih mana yang bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari dan bisa menjadi kebiasaan (baik). Silahkan mencoba menyelami. Selamat memahami![Ed. MnW]