• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Kamis, 21 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom Ceriwis

Seni Memahami (Diri)

Atssania Zahroh by Atssania Zahroh
11 April 2022
in Ceriwis
0
Seni Memahami (Diri)

https://themindsjournal.com/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Saat pertama kali saya mendengar kata “hermeneutika”, saya tertarik untuk tahu artinya. Namun, saya tidak sampai mencari makna. Saya mendengar kata itu saat ada turnamen futsal antar-jurusan di kampus. Hermeneutika adalah nama kelompok futsal dari tim Ilmu Al-Qurán dan Tafsir. Saya mengira, itu bagian yang diketahui oleh mereka. Bisa jadi itu hal yang mereka kuasai dari jurusan Imu Al-Qurán dan Tafsir.

Rangkaian peristiwa yang saya alami masih terus berlanjut. Anggap saja, kata hermeneutika juga bagian dari peristiwa saya. Saat ini, saya menempuh magister di bidang studi Ilmu Al-Qurán dan Tafsir. Minggu lalu, saya mendapat bagian presentasi tokoh Martin Heidegger. Tidak ada yang istimewa, sih. Karena tiap minggu saya mendapati mata kuliah tersebut. Tentu, seperti halnya mata kuliah lain, yang dituntut dengan SKS dan makalah, bukankah kebanyakan demikian?

Saya ingin menyampaikan kesan. Pagi tadi, saya mendapat materi hermenutika tentang tokoh Rudolf Bultman dan Teori Demitologisasi miliknya. Saya hanya menangkap, bagaimana ada pesan yang tersampaikan dari teks, bisa karena adanya peristiwa. Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang pertemuan saya di kelas setiap minggunya, saya ingin menyampaikan pesan dan kesan saat saya presentasi Heidegger.

Saya telah melalui presentasi dengan catatan “salah pemahaman”. Saya ingat betul. Berkat cara reduksi saya dalam menerima ilmu pengetahuan, yang sebelumnya mendapat justifikasi dari dosen saya. Ketika proses memahami, saya menerapkan Pra-Pemahaman, Faktisitas, dan Kemewaktuan Memahami.

“Dalam teori faktisitas, tidak ada subjek dan objek. Misalkan penafsir memahami teks, maka penafsir adalah teks itu sendiri.” Saya lantang mengungkapkan, jika manusia memiliki pemahaman yang lebih awal, lantas memiliki perencanaan yang lebih awal, dan itu akan terealisasikan ke dalam pemikiran yang akan datang.

Interpretasi terkait pemakanaan cara berpikir hermeneutika akan sangat banyak dan berbeda-beda, dari masing-masing tokoh penggagas. Saya sendiri akan menyampaikan apa yang saya pahami, dan itu menunjukkan betapa sempitnya saya dalam memahami. Mudah-mudahan ini bisa menjadi umpan untuk penulis atau pemerhati hermeneutik, sehingga bisa dipahami untuk pembaca dan menarik untuk dikaji lebih jauh.

***

Sejak pertemuan pertama kuliah, saya mendapat materi pengenalan awal “seni memahami”. Setelah pengenalan itu, masuk kepada hermeneutik beserta pencetusnya (tokoh). Terhitung sejak awal sampai sekarang, sudah ada 4 tokoh, yaitu Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, dan (hari ini) Rudolf Bultman.

Berawal dari buku pegangan perkuliahan “Seni Memahami” karya F. Budi Hardiman. Saya tidak membaca definisi hermenutika di lembaran awal buku itu. Saya hanya melihat judul buku dan dikuatkan dengan definisi singkat oleh dosen. “Hermeneutik adalah memahami apa itu memahami.”

Ketika dikaitkan dengan Ilmu Tafsir Al-Qurán, hermeneutika berfungsi untuk membantu dalam menafsirkan Al-Qurán. Menafsirkan Al-Qurán tidak bisa secara tekstual saja, namun harus bersama dengan konteks. Jika yang diketahui konteksnya, berupa asbabun nuzul–tidak semua ayat ada asbabun nuzul-nya. Sehingga hermeneutik menjawab, bahwa semua ayat ada konteksnya. Jika menafsirkan Al-Qurán butuh pemahaman kuat, maka dengan hermeneutika kita akan memahami apakah pemahaman yang dilakukan sudah sesuai teks dan konteks ataukah tidak.

Schleiermacher menerapkan seni memahami lebih kepada kitab suci, teks hukum, dan filologi. Disebutkan juga latar belakang intelektualnya adalah Romantisme Jerman dan berpijak pada “memahami sebagai berempati”. Beralih ke Dilthey, ia bersikap “memahami sebagai metode ilmiah”. Dilthey bukan memahami teks sakral, namun lebih kepada ilmu kemanusiaan atau sosial.

Sedangkan Heidegger, “memahami digunakan sebagai cara berada”. Heidegger dalam memahami menunjukkan kepada eksistensi manusia. Tokoh terakhir yang saya pelajari adalah Rudolf Bultman. Bultman “memahami sebagai menyingkap makna eksistensial” (mulai dari mitos, sumber-sumber dari Bible atau Al-Qurán, teks sakral).

Setelah belajar Seni Memahami, saya mencoba memahami pemahaman saya. Saya mencoba paham, baru di pertemuan terakhir, hari ini. “Jika tidak sadar, maka di kelas mengantuk,” kata Bapak Zainun Kamal, dosen Ilmu Filsafat Islam. Ungkapan ini berlaku dalam semua hal, kenapa saya tidak menyadari, pikiran saya kemana-mana, mungkin melamun. “Memahami menurut Bultman adalah menelusuri bagaimana pesan yang disampaikan di dalam teks untuk kita pahami,” kurang lebih kesimpulan pada hari ini.

Ya, pikiran itu memang liar. Ada teman saya bertanya, memahami makna Isra’ Mi’raj. Jika itu sebuah pengalaman sakral yang dialami Nabi Muhammad, banyak umat Islam yang tidak percaya. Bahkan dalam sebuah cerita: penganut Islam menjadi kafir. Akan tetapi, penjelasan untuk bisa memahami teks atau pengalaman tersebut, tidak hanya berdasarkan ayat dan artinya yang termaktub dalam QS. Al Isra, namun juga bagaimana kita “memahami pemahaman” teks atau ayat tersebut.

Berbekal dari hermeneutik Bultman, kita mencoba memahami pesan dari perjalanan spiritual itu. Adapun ketika umat Islam memahami mukjizat, disebutkan oleh Bultman, dapat menggunakan teori demitologisasi. Cara memahami yang digunakan untuk menyingkap makna dari mitos.

Jika mukjizat atau Isra’Mi’raj dinilai sebagai mitos, maka penyingkapan makna tersebut boleh jadi malah memperkuat keimanan seseorang. Tidak hanya percaya begitu saja, tapi proses mengkaji dan memahami yang akan berlabuh pada kuasa transenden yang tidak bisa kita ungkap sebenarnya. “Hermenutika adalah memahami apa itu memahami. Sehingga, keimanan itu akan lebih kuat, dalam memahami Al-Qurán, misalnya.”

Tipe masing-masing orang tentu berbeda. Termasuk dalam menerima pengalaman, salah satunya memahami pertemuan bersama Bultman (materi di perkuliahan, hehe). Saya merespon tentang “Bagaimana pesan itu sampai.” Jika dikontekstualisasikan ke dalam jurnalistik, apakah hermeneutik akan menjadi cara memahami dalam penyampaian kabar/berita lebih faktual?

Terutama melihat kabar hoaks semakin marak, kiranya bisa diimbangi dengan seni memahami. Bagaimana memahami konteks, memahami teks, dan bisa menghasilkan kabar atau berita yang layak dibaca masyarakat. Bukan perihal beritanya, namun jurnalis atau wartawan bisa menggunakan cara memahami untuk bekal dirinya sebagai seorang jurnalis yang bertanggung jawab atas teks atau berita yang dia liput dan sajikan.

Seni memahami ini menjadikan para pembelajar untuk terus mencari. Mulai mengetahui sejarah, memahami diri, dan memanfaatkam atau mengaplikasikan cara pemahaman yang mengakar dan holistik untuk menjadi pribadi yang memiliki prinsip. Ringkasnya, cara berpikir yang tidak instan. Berpikir sederhana berbeda dengan berpikir instan. Berpikir “tinggi” juga belum tentu menyulitkan.

Sebetulnya tidak ada kebenaran tunggal yang paling benar. Akan tetapi sebagai manusia bisa untuk menerima pesan dan kesan, pilihan hidup (bisa dalam memilih kabar berita, atau pesan dari ayat sakral). Dari proses dan pengalaman memahami itulah, kita pilih mana yang bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari dan bisa menjadi kebiasaan (baik). Silahkan mencoba menyelami. Selamat memahami![Ed. MnW]

Tags: ceriwisfilsafathermeneutikinterpretasikolomkontekspenafsiranteks
ShareTweetSendShare
Previous Post

Pemberdayaan Perempuan sebagai Pemangku Peradaban

Next Post

Pilih Masjid yang Tarawih 8 atau 20? Ada yang Dua-duanya lo!

Atssania Zahroh

Atssania Zahroh

Alumni PBSB UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang kini sedang mengabdi di pesantren asalnya. Suka jalan-jalan buat beli momen, ketimbang oleh-oleh. Yang kuno dan klasik, be like! Mung iso belajar nulis:)

Artikel Terkait

Ada Apa dengan “Manusia Indonesia”?
Ceriwis

Ada Apa dengan “Manusia Indonesia”?

22 Maret 2023

Tulisan ini bukan tulisan ilmiah. Ia tidak berdasarkan riset akademis yang harus dipertanggungjawabkan. Ini mungkin, lebih tepatnya, sejenis refleksi kultural...

Transformasi Standar Berkat Gendurenan di Era Revolusi Industri 4.0
Ceriwis

Transformasi Standar Berkat Gendurenan di Era Revolusi Industri 4.0

13 Januari 2022

Selama ini, apabila seseorang―bisa juga beberapa orang―membicarakan genduren, pasti nggak akan jauh-jauh dari kata bid’ah. Entah bagaimana ceritanya, topik genduren...

Balapan yang Dibudayakan
Ceriwis

Balapan yang Dibudayakan

20 Oktober 2021

Ini adalah kisah yang saya alami beberapa bulan lalu, saat dunia perkampusan membawa saya pada akhir semester tujuh. Sudah mendekati...

Win-Win Corruption
Ceriwis

Win-Win Corruption

30 Mei 2021

Misalnya ada maling ayam, Ponk, lantas konangan oleh salah satu warga dusun. Karena kondisi malam sepi, satu warga dusun tersebut...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Korelasi Pandangan Ilmu Kalam dan Kiri Islam Hassan Hanafi

Korelasi Pandangan Ilmu Kalam dan Kiri Islam Hassan Hanafi

21 Juni 2021
Gambar Artikel Ternak Ilmu(wan)

Ternak Ilmu(wan)

1 Desember 2020
Buya Syakur Yasin: Antara Agama dan Budaya, Menimbang yang Fana dan yang Abadi

Buya Syakur Yasin: Antara Agama dan Budaya, Menimbang yang Fana dan yang Abadi

10 Februari 2021
Monolog Rayap Terbang di Lantai 13

Monolog Rayap Terbang di Lantai 13

18 Mei 2021
Gambar Artikel Tuntunan atau Tips Merayakan Valentine untuk Jomblo

Tuntunan Merayakan Bulan Asmara ala Jomblo

17 Februari 2021
Gambar Artikel Puisi Semua Semau

Semua Semau

7 Januari 2021
Cermin Peradaban

Cermin Peradaban

14 Februari 2021
Gambar Artikel Jasong Pengalaman Menjadi Pramusaji

Jasong

26 Januari 2021
Gambar Artikel Puisi Dengan Angin

Dengan Angin

19 Januari 2021
Gambart Artikel : Analisis Puisi Goenawan Muhammad Saya Cemaskan Sepotong Lumpur

Analisis Puisi Goenawan Mohamad “Saya Cemaskan Sepotong Lumpur”

23 April 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.