Pada suatu pagi, beberapa bulan sebelum pandemi menerjang, saya menyaksikan perayaan hari jadi Kabupaten Karanganyar—18 November 2019—sedang dipersiapkan puncak kemeriahannya. Jalan-jalan utama bersolek tambah cantik, alun-alun kota berhias keramaian tanpa putus, dan tatapan mata orang-orang yang melintas semakin dipenuhi spanduk dan baliho aneka rupa acara. Bahkan selalu terpampang pula senyuman dan setelan baju kebesaran pasangan bupati dan wakilnya. Pelbagai macam menu sarapan—mulai dari masakan tradisonal warisan nenek moyang hingga makanan cepat saji—berderet-deret dijajakan di lapak-lapak non-permanen yang terkesan mobile, siap bergerak ke mana saja.
Sepagi itu, saya sedang merasakan ‘kesialan’. Ban belakang sepeda-motor saya bocor. Otomatis tak ada pilihan selain menyerahkannya pada ketelitian tukang tambal ban yang kebetulan mangkal tak jauh dari tempat saya berhenti. Rupanya nasib saya pula yang mengantarkan pada perbincangan akrab dengan Pak No, tukang tambal ban itu.
Memang bukan sekali ini saja, saya mengetahui keberadaannya yang cukup terlihat di ruas jalan utama. Saya jadi teringat pengalaman berkesan beberapa tahun silam tentangnya. Kala itu siang terasa menyengat, kebetulan saya sedang duduk termenung di pinggir jalan sembari merenungkan beban pikiran cukup berat yang hampir-hampir membuat saya putus asa. Saat itulah saya merasa begitu terinspirasi oleh senyum sapa dan pancaran mata ramah Pak No pada setiap lalu-lalang orang yang lewat. Sebuah sapaan yang ‘disedekahkannya’ sembari dia pagi-pagi memarkir gerobak dan menata peralatan tambal ban di tempat mangkal.
Sekarang, tak jauh dari Pak No yang sedang melepas ban untuk ditambal, sayup terdengar alunan karawitan dari radio transistor yang tergantung di tiang gerobaknya. Beberapa hisapan kretek yang belum lama tersulut dan lalu-lalang kendaraan dan orang jalan kaki, menimbulkan rasa sepi bercampur bosan. Suasana yang seperti itu seakan menggoda keinginan saya untuk bertanya. “Pak No sudah berputra berapa?” Tanya saya setelah beberapa saat sebelumnya berhasil mengetahui namanya.

Nama aslinya Parno, akrab dipanggil Pak No, salah satu tukang tambal ban yang mangkal di Jalan Lawu Karanganyar. Pendidikan terakhirnya SD yang itu pun tidak sempat dirampungkannya. Bersama istri dan kedua anak, pria yang terlihat ramah dan supel ini tinggal menempati rumah warisan orang tua. Anak sulungnya sudah lulus STM dan belum bekerja, meski kabarnya sudah sempat mendapat panggilan, tetapi Pak No belum tahu soal kepastian selanjutnya. Sementara itu anak keduanya masih SD, yang berarti terpaut cukup jauh umurnya, pikir saya. Istri Pak No berjualan dawet di utara Gedung KPU, yang hasilnya lumayan membantu kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Menurut pengakuan Pak No sendiri, dia sudah jadi tukang tambal ban mulai sekitar tahun 1986-1987. Pada tahun-tahun itu, seingatnya dia sudah membantu ayahnya mangkal berpindah-pindah di sekitar lahan yang sekarang berdiri Toserba Mitra. Ayahnya bernama Mbah Darmo, tentu saja menjadi salah satu perintis jasa tambal ban yang ada di pusat kota Karanganyar. Sejak tahun 2000, Pak No melanjutkan usaha bapaknya di lokasi yang ditempatinya sekarang.
Keterangan itu tak pelak membuat rasa ingin tahu saya bertambah. “Sehari gitu rata-rata berapa kendaraan, Pak No?” Entah setan dari mana yang membuat saya berani-beraninya melontarkan tanya seperti itu. Tapi untungya Pak No mau menanggapinya, meski dengan suara lirih seolah tak mau sungguh-sungguh memperlihatkan perihal seperti ini.
“Nggak tentu, Mas. Kalau kebetulan sepi, kadang-kadang ya tiga, empat, paling apes lima lah,” jawab Pak No kurang begitu tegas.
“Kalau paling banyak?” Tambah saya.
“Ya paling kalau pas bareng-bareng gitu, Mas,” semakin mengambang.
“Memangnya buka dari jam berapa sampai jam berapa?” Tanya saya lagi.
“Jam delapan sampai jam lima,” membuat saya berpikir tak perlu bertanya lebih jauh lagi.
Sebagai pemain lama, Pak No rupanya bisa merasakan pasang-surut usaha tambal ban yang sudah berpuluh tahun ditekuninya. Meski sekarang jalan-jalan ramai dengan kendaraan, Pak No mengaku hal itu tidak berpengaruh banyak pada peningkatan jumlah pelanggannya. Salah satu analisa sederhananya mengatakan bahwa saat ini sudah bermunculan usaha-usaha tambal ban lain di sekitar pusat kota Karanganyar. Ditambah lagi dengan adanya model velg racing dan teknologi ban tubeless, membuat Pak No semakin gusar dengan kemampuannya, “Sebab kalau dicongkel terlalu kuat, bisa rusak, Mas. Nah, biasanya saya suruh bawa ke utara terminal Jongke. Di sana kan garapnya pakai mesin.”
Pak No mengaku tak mau berpikir ribet terkait pekerjaan. Sekiranya tak mampu mengerjakan karena keterbatasan alat, dia lebih memilih menunjukkan tukang tambal ban lain kepada pelanggan. Dia juga merasa tahu diri dengan keterampilan tangannya. Untuk mobil, Pak No hanya mau terima mobil angkutan kota. Artinya Pak No tak mau sembarangan menerima kerjaan sekalipun menggiurkan, karena takut merusak atau terjadi hal tidak mengenakkan lainnya.
“Kayak gini kan adhang-adhang (kerjaan nunggu) aja mas. Kalau ada ya digarap, kalau nggak ada ya saya diam, kalau nggak bisa ya saya ngomong.”
Membayangkan alam pikiran orang-orang seperti Pak No, saya jadi tertarik menggalinya lebih jauh, tentang apa yang dia saksikan, juga tentang apa yang dia rasakan. Apalagi menjumpai semacam pergulatan antara kobaran semangat dan rasa rendah diri yang tampak dari naik-turun ekspresinya. Seperti ketika sorot matanya berbinar, rekahan senyumnya malu-malu, dan sekali waktu suaranya melirih dan semakin hilang tak terdengar.
“Kalau melihat Karanganyar seperti sekarang ini, gimana menurut Pak No?”
“Ya kalau dibandingkan dulu, bagusan sekarang, Mas. Tapi kalau kerjaan masih bagus dulu.”
“Apa iya, Pak? Dulu tu ya, saya sering lihat Pak No sudah buka pagi banget.”
“Kalau dulu setengah tujuh saya sudah buka, Mas, bareng anak-anak sekolah berangkat. Sekarang anak sekolah nggak boleh naik sepeda motor sendiri. Polisi, larangan itu! Sebab gini lho. Kalau anak sekolah naik sepeda motor, kalau tabrakan belum punya apa-apa itu lho. Prinsipnya begitu. Sekarang, larangan itu! Makanya dulu bisa sedikit ngegas, waktunya anak sekolah berangkat, buka. Syukur ada yang bocor atau ban kempes kan lumayan. Nah, sekarang sudah nggak bisa kayak gitu lagi,” panjang lebar Pak No menambahkan alasan.
“Itu kok Pak No bisa punya kompresor gede ya?” Sedikit saya alihkan pembicaraan.
“Bapak. Warisan. Jadi saya hanya melanjutkan aja, Mas, ditelateni. Seperti saya, bekerja tidak bisa neka-neka. Di bangunan berat, ya kan? Sama aja. Di sawah juga berat. Mendingan begini, kalau ada ditunggu, kalau nggak ada ya nganggur. Kadang-kadang saya juga pernah diam aja nggak ngapa-ngapain seharian, Mas. Syukur aja masih diberi sehat.”
“Ya semoga sehat terus, Pak No.”
“Hati harus sabar, Mas. Kalau nggak, sudah libur dari dulu-dulu. Saya tuh tiap ada orang ke sini bilang panas. Panas itu menurut saya tidak masalah, yang penting hatinya dulu. Kalau hatinya seneng? Ya kan? Makanya buat saya, penting itu sabar dan hatinya senang.”

Perbincangan dengan Pak No berakhir tak lama selepas dia pasang kembali penutup pentil (valve cap) ban roda belakang, bersamaan pula dengan sebuah pesan Whatsapp masuk ke ponsel saya, “Pak, empon-emponnya jangan lupa.” Baru saya ingat tadi diminta istri mampir ke pasar.
Spontan tangan saya merogoh saku celana. Saya gegas dapati rasa syukur karena daftar titipan belanja dari istri masih ada. Serentetan suara sirene ambulans yang melintas ke arah Timur, membuat saya terhenyak, betapa kesehatan jiwa begitu penting dalam situasi yang kurang menguntungkan. Semoga di masa prihatin ini—sesuai harapan baik yang senantiasa tertanam di dada Pak No, semua makhluk dibekali rasa bahagia.[ed.mnw/2021]