Berbicara mengenai sebuah agama memang tiada hentinya dan sering kali menimbulkan pertanyaan–bahkan pertentangan. Salah satu tokoh terkemuka yang aktif menyuarakan Islam adalah Khaled Abou El-Fadl. Ia merupakan sosok pemikir Islam kontemporer yang lahir di Kuwait pada tahun 1963. Abou Fadl menempuh pendidikan dasar dan menengahnya di kota kelahirannya. Sejak kecil terkenal dengan kepintaran dan kecerdikannya, sehingga ia berhasil menghafal al-Qur’an di usianya yang muda yakni 12 tahun (Bernard Haykel, 2004).
Ketika Abou Fadl hijrah ke Amerika Serikat, tepatnya pada tahun 1982, ia pernah menempuh pendidikan di beberapa universitas di sana. Di antaranya adalah University of Texas, Yale University, dan University of California Los Angeles. Banyak pemikiran dan juga karya-karyanya yang berbicara mengenai Islam, baik Islam klasik maupun modern, yang dikupas secara radikal dan juga komprehensif. Sebagai seorang intelektual, ia menghasilkan beberapa karya yang cemerlang, di antaranya (1) A Conference of the Books: The Search for Beauty in Islam; (2) Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women; (3) Islam and the Challenge of Democracy, (4) The Place of Tolerance in Islam, (5) The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists.
Tak hanya di Amerika Serikat, Abou Fadl juga pernah menjelajah ke Mesir. Namun, sosok Abou Fadl merasakan ambivalensi iman ketika ia berada di kampung halamannya, Kuwait. Karena semasa remajanya ia merupakan sosok yang mengagumi pemikiran Wahabi dan Salafi. Ia sangat taat dan tekun terhadap ajaran Wahabi sehingga ia pernah merusak kaset milik saudara perempuannya karena Abou Fadl mengganggap kehidupan keluarganya tidak sesuai dengan apa yang diajarkan ketika ia berada di kalangan Wahabi. Namun, tidak lama kemudian ia mengalami pergeseran pemikiran, yang pada mulanya fanatik terhadap Wahabi kemudian beralih menjadi sosok yang cinta demokrasi (Khaled Abou El Fadl, 2002).
Berangkat dari salah satu karyanya yang berjudul The Great Theft: Wrestling Islam from Extremists yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul “Selamatkan Islam dari Muslim Puritan”, Abou Fadl memberikan suguhan tentang ke-Islaman yang sering kali dianggap momok sejak zaman dahulu hingga sekarang. Dalam menyikapi probematika tersebut, Abou Fadl menggambarkan dua paradigma mengenai Islam, yakni Islam puritan dan Islam moderat. Sejarah Islam puritan sendiri berawal dari kaum Wahabi dan Salafi. Mereka yang merasa paling benar, memberhalakan diri kepada teks dan juga anti kompromi menganggap bahwa segala yang diadopsi dari Barat, seperti feminisme merupakan suatu bid’ah, sesat dan layak untuk dihancurkan. Kaum puritan dengan tegas menolak modernitas. (Helmi Musthafa, 2007).
Dalam pandangan Khaled sendiri, lawan dari kata puritan adalah moderat. Ia mendefinisikan Islam moderat sebagai mereka yang toleran, menghormati kewajiban dan hak-hak manusia, melindungi Islam dan tak lupa juga dengan warisan tradisi Islam terdahulu. Mereka tidak memberlakukan Islam yang kaku dan menindas, melainkan Islam yang fleksibel yang menyesuaikan dengan perubahan kondisi umat pada zamannya. Muslim moderat berupaya untuk menghadapi tantangan modernitas serta melindungi Islam dari kaum puritan yang bersuara lantang dalam jihadnya (Ulil Abshar, 2007).
Untuk mencapai pada tujuan Islam yang penuh kasih terhadap makhluk Tuhan, maka perlunya sebuah pemahaman mengenai Islam, yang dimana hal tersebut membutuhkan perantara–baik berupa pemahaman teori, pendekatan historis, maupun hermeneutika. Contoh kecil yang diberikan oleh Khaled adalah mengenai pemahaman teks yang memerlukan analisis yang menyeluruh serta pembuktian dari teks itu sendiri agar tidak terjadi sikap dan kesimpulan serampangan terhadap teks. Dengan demikian maka akan ada titik terang atas sebab munculnya teks tersebut.
Kehadiran Muslim moderat sangat dibutuhkan di era kontemporer ini dalam membendung kaum puritan yang semakin semena-mena dalam melantangkan suara jihadnya–yang dimaknai sepihak. Sangat tidak mudah untuk membangun jembatan antardua kubu yang memiliki keberagaman intepretasi mengenai Islam. Keilmuan yang dilandasi pemikiran yang terbuka dan terarah dapat menciptakan suatu kemajuan yang pesat. Dan jika umat Muslim telah sampai di tahapan ini, maka terciptanya peradaban yang rahmatan lil ‘alamin bukan hanya sebatas mimpi belaka. Wallahu A’lam.[]