slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
Hartojo Andangdjaja: Menulis Puisi dengan Bahasa yang Jernih - Metafor.id
Metafor.id

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

  • Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Sunday, 1 June, 2025
  • Login
  • Register
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Inspiratif Sosok

Hartojo Andangdjaja: Menulis Puisi dengan Bahasa yang Jernih

Syukur Budiardjo by Syukur Budiardjo
11 October 2021
in Sosok
0
Hartojo Andangdjaja: Menulis Puisi dengan Bahasa yang Jernih

Sumber: Buletin Sastra Pawon

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Seorang sastrawan Indonesia yang memiliki kekhasan dalam mencipta karya sastra adalah penyair Hartojo Andangdjaja. Sastrawan yang lahir di Solo pada 4 Juli 1930 dan meninggal dunia di Solo pula pada 30 Agustus 1990 ini, apabila menulis puisi selalu menggunakan bahasa yang jernih dan sederhana. Meskipun puisi-puisinya memiliki keterlibatan sosial, ia tidak mau terperosok ke dalam penyajian yang vulgar. Puisi-puisinya tidak tampak gegap gempita tetapi bersuasana sejuk meskipun menyimpan tenaga yang menggemuruh.

Pada zaman penjajahan Belanda, Hartojo pernah belajar di Hollandsch Godsdient School Al-Islam di Solo. Pada zaman pendudukan Jepang ia melanjutkan studi ke Muallimien Muhammadiyah di Solo, yang kemudian bernama Sekolah Guru Muhammadiyah Solo. Setelah lulus, ia kemudian mengajar di SMP dan SMA di Solo (1953 – 1956), di Simpang Empat, Pasaman, Sumatera Barat (1957 – 1962), dan terakhir mengajar di STN Kartasura.

Selain pernah menjadi karyawan CV Bogasari di Solo, ia juga pernah menjadi redaktur surat kabar Dwiwarna, majalah anak-anak Si Kuncung, majalah Relung Pustaka, majalah Madyantara, dan pemimpin redaksi majalah Cita.

Pada masa Orde Lama dan ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang naik daun dan belum menjadi partai terlarang, Hartojo termasuk sastrawan yang ikut menentang pendewaan slogan politik sebagai panglima. Itu sebabnya, ia termasuk salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan yang pertama kali diumumkan di majalah Sastra Nomor 9/10 edisi September/Oktober 1963 dan lembaran budaya Berita Republik edisi 19 Oktober 1963, yang kemudian pada tanggal 8 Mei 1964 dilarang oleh Presiden Soekarno.

 

Karyanya

Hartojo Andangdjaja mulai menulis puisi pada zaman pendudukan Jepang. Setelah Indonesia merdeka, ia mulai produktif mempublikasikan puisi-puisinya di sejumlah media massa cetak yang terbit di Jakarta, Solo, dan Yogyakarta, seperti majalah Pembangunan yang diasuh oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Arena yang diasuh oleh Usmar Ismail, Panca Raya yang diasuh oleh H.B. Jassin, dan Seniman yang diasuh oleh Trisno Sumardjo. Selain itu, puisi-puisinya juga merebak luas di majalah-majalah sastra seperti Siasat, Sastra, Kisah, Konfrontasi, Seni, Mimbar Indonesia, dan Horison.

Tujuh puisi Hartojo dimuat dalam bunga rampai Angkatan ’66 Prosa dan Puisi yang disunting oleh H.B. Jassin. Sebuah puisinya, “Sonnet buat Ika”, muncul dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia yang disusun oleh Ajip Rosidi. Bersama-sama puisi Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, dan M. Saribi Afandi, puisi-puisinya terkumpul dalam Manifestasi. Berduet dengan penyair D.S. Moeljanto, ia menghasilkan kumpulan puisi Simponi Puisi. Seluruh karya puisinya terkumpul dalam Buku Puisi.

Selain menulis karya sastra asli berbentuk puisi, Hartojo juga menerjemahkan sejumlah karya sastra asing. Ini seperti kumpulan puisi Tukang Kebun karya Rabindranath Tagore, kumpulan puisi Kubur Terhormat bagi Pelaut karya J.J. Slauerhoff, novel Rahasia Hati karya Natsume Soseki, kumpulan puisi Musyawarah Burung karya Fariuddin Attar, dan kumpulan Puisi Arab Modern karya para penyair Timur Tengah.

Sebagai penulis esai, ia sangat setia menulis mengenai dunia yang sangat dicintainya, yaitu puisi. Sebuah esainya, “Pola-pola Pantun dalam Persajakan Modern” memenangi Hadiah III majalah Sastra pada tahun 1962 dan kemudian dimuat dalam antologi Sejumlah Masalah Sastra yang disunting oleh Satyagraha Hoerip. Delapan belas esainya yang berbicara tentang puisi telah dibukukan dalam Dari Sunyi ke Bunyi dan dipengantari oleh Goenawan Mohamad.

 

Pengaruh

Pada masa-masa awal merebaknya proses kreatif Hartojo Andangdjaja sebagai penyair, ia mengakui telah memperoleh pengaruh dari penyair Chairil Anwar. Meskipun demikian, ia pun menegaskan bahwa ia memiliki perbedaan yang begitu mencolok dengan Chairil Anwar. Melalui sebagian suratnya yang ditujukan kepada kritikus sastra H.B. Jassin–yang dapat kita simak dalam Angkatan ’66 Prosa dan Puisi (1983, hlm. 29)–Hartojo menjelaskan demikian, “…dalam hal ini Chairil bersifat materialistis yang sekasar-kasarnya. Yang menarik saya hanyalah bentuknya yang mengenai tekniknya saja. Dalam hal isi, fondamen jiwa saya tetap bertentangan dengan Chairil. Saya masih terlalu menghargai tata tertib, hukum, dan dogma.”

Yang demikian itu benar. Sebab dalam perkembangan selanjutnya, Hartojo telah membuktikannya dengan menulis puisi-puisi yang konsisten terhadap norma-norma susila dan agama yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat. Itu juga diungkapkan oleh Hartojo dengan bahasa yang jernih dan sederhana. Gaya yang ditempuhnya ini merupakan sesuatu yang sangat melawan arus. Di kala keadaan umum masa itu (yang sedang nge-tren pada saat itu) yaitu merajalelanya puisi-puisi prismatis yang gelap.

Puisi gelap biasanya sarat dengan idiom dan lambang yang sangat personal sifatnya, yang tentunya sulit pula ditafsirkan maknanya oleh pembaca. Hartojo justru tampil dengan gaya polosnya melalui puisi-puisi diafon–Cat.penyunting: penanda kesepadanan sistem bunyi dari dialek yang berbeda, seperti “rupe” (Melayu) dengan “rupa” (Nasional)–terhadap gejala demikian. Sebab ia percaya bahwa puisi yang baik justru mudah ditangkap maknanya meskipun oleh masyarakat yang awam terhadap puisi sekalipun.

Berikut ini diturunkan secara lengkap puisi Hartojo berjudul “Rakyat” yang sangat terkenal itu.

RAKYAT

Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan lalang menjadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik kota
meraba kelam di tambang logam dan batu bara
menaikkan layar menebar jala
Rakyat ialah tangan yang bekerja.

Rakyat ialah kita
otak yang menapak di sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang-siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka

Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka.

Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat hari yang berkeringat
gunung batu berwarna cokelat
di laut angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta.

Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa.

Pasaman, Oktober 1961

Meskipun puisi tersebut memiliki keterlibatan sosial yang cukup tinggi, Hartojo tampak tidak menggubah dan merakitnya dari kata-kata yang bisa dikesan kasar. Ia tidak menyukai metoda demikian, yang dianggapnya dapat merusakkan keutuhan watak puisi. Selain itu, seperti terungkap melalui pengakuannya dalam Dari Sunyi ke Bunyi (1991, hlm. 148), di zaman itu dirasakan memang juga tidak begitu aman untuk memperlihatkan sinisme.

 

Melodius

Jika kita simak, banyak memang puisi Hartojo yang bersuasana sosial. Puisinya, “Prempuan-perempuan Perkasa” melukiskan kegigihan perjuangan wanita-wanita di daerah perdesaan, yang setiap hari menjelang subuh harus bergerak melawan kantuknya, lalu berebutan naik kereta api untuk menjual barang dagangan ke kota. Puisinya yang lain, “Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya”, melukiskan kesulitan ekonomi seorang guru yang hidup pada sekitar tahun 1950-an.

Sementara itu, melalui puisi “Sebuah Lok Hitam” Hartojo menyindir Sang Pemimpin yang dianggapnya telah lepas dari rakyat yang dipimpinnya. Melalui puisi “1964” Hartojo melukiskan kecemasannya akan nasib dunia kesenian, terutama puisi yang sangat dicintainya, yang dirasakan mulai ditelikung oleh kondisi sosial-politik yang tidak menguntungkan. Melalui puisi “Buat Saudara Kandung” Hartojo melukiskan sebuah desa yang mati, yang belum terjangkau oleh tangan pembangunan.

Di luar itu, puisi-puisi Hartojo tampak dengan konsisten meggunakan pola pantun yang dikombinasikan dengan persajakan syair, seperti terlihat pada puisinya Pantun Tidak Bernama dan Pantun di Jalan Panjang. Melalui puisi “Nyanyian Kembang Lalang”, kita dapat menemukan kemerduan bunyi yang begitu indah. Puisi ini berlagu seolah-olah seperti nyanyian yang memiliki melodi.

Berikut ini disajikan secara lengkap puisi “Nyanyian Kembang Lalang” yang melodius itu.

NYANYIAN KEMBANG LALANG 

Putih di padang-padang
putih kembang-kembang lalang
putih rindu yang memanggil-manggil dalam dendang
orang di dangau orang di ladang
putih jalan yang panjang
kabut di puncak Singgalang
sepi yang menyayup di ujung pandang
putih bermata sayang
wajah rawan di tanah Minang

 

Meskipun Hartojo Andangdjaja tidak memberikan pengaruh yang kuat terhadap pertumbuhan dan perkembangan puisi di tanah air, ketokohannya layak diketahui oleh generasi milenial sekarang ini. Sebab ia telah menancapkan tonggak di pelataran puisi di negeri ini sebagai penyair yang layak diperhitungkan kehadirannya dalam sejarah sastra Indonesia. Demikianlah.[]

Tags: Hartojo Andangdjaja: Menulis Puisi dengan Bahasa yang JernihPenyair IndonesiapuisisosokSukur Budiharjo
ShareTweetSendShare
Previous Post

Eufemisme dan Sarkasme di Era Orla, Orba, dan Oref

Next Post

Dan Kita Asing di Depan Matahari

Syukur Budiardjo

Syukur Budiardjo

Penulis dan Pensiunan Guru ASN di DKI Jakarta. Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Jakarta. Menulis artikel, cerpen, dan puisi di media cetak dan daring. Menulis buku kumpulan puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu Lelaki Datang (2018), Demi Waktu (2019), Beda Pahlawan dan Koruptor (2019), buku kumpulan esai  Enak Zamanku, To! (2019), dan buku nonfiksi Strategi Menulis Artikel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan Sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018). Akun Facebook, Instagram, dan Youtube menggunakan nama Sukur Budiharjo.

Artikel Terkait

Anthony Giddens: Agensi dan Strukturasi Sosial
Sosok

Anthony Giddens: Agensi dan Strukturasi Sosial

30 November 2022

Anthony Giddens adalah mantan Direktur London School of Economics (LSE) yang tercatat sebagai salah satu sosiolog penting dunia menjelang akhir...

Mengenal Thasykubro Zadah: Sejarawan Penulis Ensiklopedia Islam
Sosok

Mengenal Thasykubro Zadah: Sejarawan Penulis Ensiklopedia Islam

10 March 2022

Setelah meninggalnya Nabi saw., Islam dipimpin oleh Khulafa’ al-Rasyidun dan diikuti oleh beberapa dinasti selanjutnya mulai dari Umawiyyah, Abbasiyah, sampai...

Ali Syari’ati: Mempercayai Tuhan Sekaligus Menjaga Alam dan Hubungan Sesama Manusia
Sosok

Ali Syari’ati: Mempercayai Tuhan Sekaligus Menjaga Alam dan Hubungan Sesama Manusia

16 February 2022

Arsitek Revolusi Islam, begitulah kata M. Dawam Rahardjo untuk Ali Syari’ati dalam tulisan kecilnya berjudul Ali Syari’ati: Mujahid Intelektual di...

Menyikapi Pemikiran Barat Seperti Jamaluddin al-Afghani
Sosok

Menyikapi Pemikiran Barat Seperti Jamaluddin al-Afghani

31 January 2022

Modernisme Barat adalah masa yang sangat berbeda bagi masyarakat Islam, setelah pada masa sebelumnya selalu ada keterkaitan yang masih bisa...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Dan Kita Asing di Depan Matahari

Dan Kita Asing di Depan Matahari

11 October 2021
Keangkuhan Ombak

Keangkuhan Ombak

3 June 2021
Gambar Artikel Mengapa Jamie Vardy Layak Jadi Guru Untuk Kaum Pekerja?

Mengapa Jamie Vardy Layak Jadi Guru untuk Kaum Pekerja?

20 November 2020
Meneladani Sufi Jenaka: Nashrudin Hoja & Keledainya

Meneladani Sufi Jenaka: Nashrudin Hoja & Keledainya

3 January 2022
Seni Memahami (Diri)

Seni Memahami (Diri)

11 April 2022
Nanda dan Kisah Pilunya

Nanda dan Kisah Pilunya

19 July 2021
Sertifikat Hak Milik

Sertifikat Hak Milik

4 February 2021
Anosmia Bukan Insomnia, Apalagi Amsenia

Anosmia Bukan Insomnia, Apalagi Amsenia

18 February 2021
Bias Kontol dan Efek Sampingnya yang Menyebalkan

Bias Kontol dan Efek Sampingnya yang Menyebalkan

21 March 2022
Gambar Artikel Gerakan Mosi TIdak Percaya: Sumpah dan Nasionalisme (Tertinggi) Pemuda

Gerakan #MosiTidakPercaya : Sumpah dan Nasionalisme (Tertinggi) Pemuda

5 November 2020

Ikuti Kami di Instagram

    The Instagram Access Token is expired, Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to refresh it.
Facebook Twitter Instagram Youtube
Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya
  • Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
  • Penjual Susu dan Puisi Lainnya
  • Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta
  • Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival
  • Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
  • Membangun Literasi Peduli Bumi: Festival Buku Berjalan
  • Kandang Menjangan Menggugat dan Puisi Lainnya
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
  • Puasa Puisi: Perayaan Sastra Lintas Bahasa
  • Aku Merangkum Desember

Kategori

  • Event (10)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (8)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (63)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (50)
  • Metafor (206)
    • Cerpen (51)
    • Puisi (136)
    • Resensi (18)
  • Milenial (46)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (11)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In