Seorang sastrawan Indonesia yang memiliki kekhasan dalam mencipta karya sastra adalah penyair Hartojo Andangdjaja. Sastrawan yang lahir di Solo pada 4 Juli 1930 dan meninggal dunia di Solo pula pada 30 Agustus 1990 ini, apabila menulis puisi selalu menggunakan bahasa yang jernih dan sederhana. Meskipun puisi-puisinya memiliki keterlibatan sosial, ia tidak mau terperosok ke dalam penyajian yang vulgar. Puisi-puisinya tidak tampak gegap gempita tetapi bersuasana sejuk meskipun menyimpan tenaga yang menggemuruh.
Pada zaman penjajahan Belanda, Hartojo pernah belajar di Hollandsch Godsdient School Al-Islam di Solo. Pada zaman pendudukan Jepang ia melanjutkan studi ke Muallimien Muhammadiyah di Solo, yang kemudian bernama Sekolah Guru Muhammadiyah Solo. Setelah lulus, ia kemudian mengajar di SMP dan SMA di Solo (1953 – 1956), di Simpang Empat, Pasaman, Sumatera Barat (1957 – 1962), dan terakhir mengajar di STN Kartasura.
Selain pernah menjadi karyawan CV Bogasari di Solo, ia juga pernah menjadi redaktur surat kabar Dwiwarna, majalah anak-anak Si Kuncung, majalah Relung Pustaka, majalah Madyantara, dan pemimpin redaksi majalah Cita.
Pada masa Orde Lama dan ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang naik daun dan belum menjadi partai terlarang, Hartojo termasuk sastrawan yang ikut menentang pendewaan slogan politik sebagai panglima. Itu sebabnya, ia termasuk salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan yang pertama kali diumumkan di majalah Sastra Nomor 9/10 edisi September/Oktober 1963 dan lembaran budaya Berita Republik edisi 19 Oktober 1963, yang kemudian pada tanggal 8 Mei 1964 dilarang oleh Presiden Soekarno.
Karyanya
Hartojo Andangdjaja mulai menulis puisi pada zaman pendudukan Jepang. Setelah Indonesia merdeka, ia mulai produktif mempublikasikan puisi-puisinya di sejumlah media massa cetak yang terbit di Jakarta, Solo, dan Yogyakarta, seperti majalah Pembangunan yang diasuh oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Arena yang diasuh oleh Usmar Ismail, Panca Raya yang diasuh oleh H.B. Jassin, dan Seniman yang diasuh oleh Trisno Sumardjo. Selain itu, puisi-puisinya juga merebak luas di majalah-majalah sastra seperti Siasat, Sastra, Kisah, Konfrontasi, Seni, Mimbar Indonesia, dan Horison.
Tujuh puisi Hartojo dimuat dalam bunga rampai Angkatan ’66 Prosa dan Puisi yang disunting oleh H.B. Jassin. Sebuah puisinya, “Sonnet buat Ika”, muncul dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia yang disusun oleh Ajip Rosidi. Bersama-sama puisi Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, dan M. Saribi Afandi, puisi-puisinya terkumpul dalam Manifestasi. Berduet dengan penyair D.S. Moeljanto, ia menghasilkan kumpulan puisi Simponi Puisi. Seluruh karya puisinya terkumpul dalam Buku Puisi.
Selain menulis karya sastra asli berbentuk puisi, Hartojo juga menerjemahkan sejumlah karya sastra asing. Ini seperti kumpulan puisi Tukang Kebun karya Rabindranath Tagore, kumpulan puisi Kubur Terhormat bagi Pelaut karya J.J. Slauerhoff, novel Rahasia Hati karya Natsume Soseki, kumpulan puisi Musyawarah Burung karya Fariuddin Attar, dan kumpulan Puisi Arab Modern karya para penyair Timur Tengah.
Sebagai penulis esai, ia sangat setia menulis mengenai dunia yang sangat dicintainya, yaitu puisi. Sebuah esainya, “Pola-pola Pantun dalam Persajakan Modern” memenangi Hadiah III majalah Sastra pada tahun 1962 dan kemudian dimuat dalam antologi Sejumlah Masalah Sastra yang disunting oleh Satyagraha Hoerip. Delapan belas esainya yang berbicara tentang puisi telah dibukukan dalam Dari Sunyi ke Bunyi dan dipengantari oleh Goenawan Mohamad.
Pengaruh
Pada masa-masa awal merebaknya proses kreatif Hartojo Andangdjaja sebagai penyair, ia mengakui telah memperoleh pengaruh dari penyair Chairil Anwar. Meskipun demikian, ia pun menegaskan bahwa ia memiliki perbedaan yang begitu mencolok dengan Chairil Anwar. Melalui sebagian suratnya yang ditujukan kepada kritikus sastra H.B. Jassin–yang dapat kita simak dalam Angkatan ’66 Prosa dan Puisi (1983, hlm. 29)–Hartojo menjelaskan demikian, “…dalam hal ini Chairil bersifat materialistis yang sekasar-kasarnya. Yang menarik saya hanyalah bentuknya yang mengenai tekniknya saja. Dalam hal isi, fondamen jiwa saya tetap bertentangan dengan Chairil. Saya masih terlalu menghargai tata tertib, hukum, dan dogma.”
Yang demikian itu benar. Sebab dalam perkembangan selanjutnya, Hartojo telah membuktikannya dengan menulis puisi-puisi yang konsisten terhadap norma-norma susila dan agama yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat. Itu juga diungkapkan oleh Hartojo dengan bahasa yang jernih dan sederhana. Gaya yang ditempuhnya ini merupakan sesuatu yang sangat melawan arus. Di kala keadaan umum masa itu (yang sedang nge-tren pada saat itu) yaitu merajalelanya puisi-puisi prismatis yang gelap.
Puisi gelap biasanya sarat dengan idiom dan lambang yang sangat personal sifatnya, yang tentunya sulit pula ditafsirkan maknanya oleh pembaca. Hartojo justru tampil dengan gaya polosnya melalui puisi-puisi diafon–Cat.penyunting: penanda kesepadanan sistem bunyi dari dialek yang berbeda, seperti “rupe” (Melayu) dengan “rupa” (Nasional)–terhadap gejala demikian. Sebab ia percaya bahwa puisi yang baik justru mudah ditangkap maknanya meskipun oleh masyarakat yang awam terhadap puisi sekalipun.
Berikut ini diturunkan secara lengkap puisi Hartojo berjudul “Rakyat” yang sangat terkenal itu.
RAKYAT
Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan lalang menjadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik kota
meraba kelam di tambang logam dan batu bara
menaikkan layar menebar jala
Rakyat ialah tangan yang bekerja.
Rakyat ialah kita
otak yang menapak di sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang-siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka
Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka.
Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat hari yang berkeringat
gunung batu berwarna cokelat
di laut angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta.
Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa.
Pasaman, Oktober 1961
Meskipun puisi tersebut memiliki keterlibatan sosial yang cukup tinggi, Hartojo tampak tidak menggubah dan merakitnya dari kata-kata yang bisa dikesan kasar. Ia tidak menyukai metoda demikian, yang dianggapnya dapat merusakkan keutuhan watak puisi. Selain itu, seperti terungkap melalui pengakuannya dalam Dari Sunyi ke Bunyi (1991, hlm. 148), di zaman itu dirasakan memang juga tidak begitu aman untuk memperlihatkan sinisme.
Melodius
Jika kita simak, banyak memang puisi Hartojo yang bersuasana sosial. Puisinya, “Prempuan-perempuan Perkasa” melukiskan kegigihan perjuangan wanita-wanita di daerah perdesaan, yang setiap hari menjelang subuh harus bergerak melawan kantuknya, lalu berebutan naik kereta api untuk menjual barang dagangan ke kota. Puisinya yang lain, “Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya”, melukiskan kesulitan ekonomi seorang guru yang hidup pada sekitar tahun 1950-an.
Sementara itu, melalui puisi “Sebuah Lok Hitam” Hartojo menyindir Sang Pemimpin yang dianggapnya telah lepas dari rakyat yang dipimpinnya. Melalui puisi “1964” Hartojo melukiskan kecemasannya akan nasib dunia kesenian, terutama puisi yang sangat dicintainya, yang dirasakan mulai ditelikung oleh kondisi sosial-politik yang tidak menguntungkan. Melalui puisi “Buat Saudara Kandung” Hartojo melukiskan sebuah desa yang mati, yang belum terjangkau oleh tangan pembangunan.
Di luar itu, puisi-puisi Hartojo tampak dengan konsisten meggunakan pola pantun yang dikombinasikan dengan persajakan syair, seperti terlihat pada puisinya Pantun Tidak Bernama dan Pantun di Jalan Panjang. Melalui puisi “Nyanyian Kembang Lalang”, kita dapat menemukan kemerduan bunyi yang begitu indah. Puisi ini berlagu seolah-olah seperti nyanyian yang memiliki melodi.
Berikut ini disajikan secara lengkap puisi “Nyanyian Kembang Lalang” yang melodius itu.
NYANYIAN KEMBANG LALANG
Putih di padang-padang
putih kembang-kembang lalang
putih rindu yang memanggil-manggil dalam dendang
orang di dangau orang di ladang
putih jalan yang panjang
kabut di puncak Singgalang
sepi yang menyayup di ujung pandang
putih bermata sayang
wajah rawan di tanah Minang
Meskipun Hartojo Andangdjaja tidak memberikan pengaruh yang kuat terhadap pertumbuhan dan perkembangan puisi di tanah air, ketokohannya layak diketahui oleh generasi milenial sekarang ini. Sebab ia telah menancapkan tonggak di pelataran puisi di negeri ini sebagai penyair yang layak diperhitungkan kehadirannya dalam sejarah sastra Indonesia. Demikianlah.[]