• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Rabu, 15 Oktober 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Inspiratif Sosok

Buya Syakur Yasin: Antara Agama dan Budaya, Menimbang yang Fana dan yang Abadi

Dyah Monika Sari by Dyah Monika Sari
10 Februari 2021
in Hikmah, Sosok
0
Buya Syakur Yasin: Antara Agama dan Budaya, Menimbang yang Fana dan yang Abadi

https://unsplash.com/photos/gU68mE-SAW4

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Dua puluh tahun merantau di luar negeri, rupanya telah memberikan sensasi istimewa bagi Prof Dr KH Abdul Syakur Yasin, MA. Seorang Kyai yang khas dengan bahasa panturan itu mengakui, bahwa ia sempat merasa menjadi seorang makhluk yang hidup sendirian di tiga puluh tahunnya selama kembali ke Indramayu, kampung halamannya. Pasalnya, masyarakat telah mendedahkan kepadanya sebuah kebudayaan berpikir sinonim. Ia menyebutnya sebagai tadarruf watut taradduf, atau similarisme. Ialah cara berpikir untuk menyama-nyamakan sesuatu. Padahal, adalah penting bagi setiap makhluk untuk membedakan sesuatu dengan yang lain, sebab menurutnya, setiap perubahan menuntut terma atau istilah yang baru.

Sebagai analogi, Ia menyodorkan perbedaan dan substansi antara cangkir dan gelas. Bagi kebanyakan orang, cangkir dan gelas adalah hal yang sama. Sebuah alat yang memiliki fungsi yang sama. Kendati keduanya dapat menampung teh dan (atau) kopi, namun cangkir dan gelas adalah dua hal yang berbeda. Esensi dari cangkir adalah sebagai wadah kopi. Sedangkan gelas memenuhi ketepatan sebagai wadahnya teh. Keduanya tetap berbeda dalam hal bentuk, meski beberapa fungsinya tetaplah sama. Sebab itulah cangkir tetaplah cangkir dan gelas tetaplah gelas. Hal inilah yang ingin disoroti oleh Buya Syakur Yasin. Bahwa tidak segala hal yang sama dapat dipikirkan sebagai sesuatu yang sama, similarisme.

Buya Syakur, begitu ia akrab disapa, kemudian menyodorkan pertanyaan. “Ketika kita bicara tentang keabadian, keabadian mana yang kita bicarakan?”. Dengan wajah tersenyum, ia kemudian menyambung jawaban.

“Sebab daiman tidak sama dengan abadan. Dan abadan tidak sama dengan khalidan. Begitupun juga dengan khalidan, ia tidak sama dengan sarmadan. Yang dijamin abadi oleh Allah adalah al-Dzikr, bukan Al-Quran”, ungkapnya.

Dalam ngaji rutinan yang dilaksanakan bersama Wamimma TV melalu channel youtubenya, bertemakan ‘Agama dan Budaya; Buya Syakur Menimbang yang Fana dan yang Abadi’. Ia mengupas perbedaan antara budaya dan agama sampai pada kulitnya. Bagi Buya Syakur sendiri, apapun yang lahir dan dihasilkan oleh manusia, baik berupa pemikiran dan produk kemanusiaan adalah definisi budaya. Hal ini yang kemudian sering menjadi pokok persoalan di masyarakat Indonesia, dari hukum hingga madzab. Ia mengingat-tegaskan, jangan sampai salah satu dari kita terjebak pada klaim kebenaran, apalagi sampai merujuk bid’ah atau kafir-mengafirkan. Karena pada dasarnya, manusia tidak tahu apa-apa. “Mulut saya terlalu mahal untuk mengecap benar, apalagi sampai mengafirkan sesuatu atau sesiapa”, tandasnya.

Sementara itu, dalam menimbang arti abadi, pengkaji kritik objektif Novel Yusuf As-Siba’i ini menilai, bahwa abadi adalah ketika waktu dan gerakan itu berakhir. Abadi terjadi ketika sudah tiada lagi hitungan waktu yang menandakan saat itu berhenti bergerak. Waktu adalah tiada, yang ada hanya nisbi. Baginya, waktu merupakan produk dari kebudayaan. Dalam menerangkan hal ini, Buya Syakur menjelaskan tradisi dan kebudayaan bangsa Mesir dalam menentukan waktu. Dari mengukur pagi dan siang dengan penggalah, hingga akhirnya tercipta pengukur waktu dari pasir. Keadaan itu berlanjut hingga sekarang, saat manusia tengah difasilitasi dengan gadget sebagai pengukur waktu yang akurat. Penjelasannya tersebut sekaligus menerangkan, bahwa ideologi, agama, budaya, atau bahkan sains, merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri dan menjadi bagian dari arus sejarah bangsa atau budaya lokal, terlebih bahasanya.

Betapa menggelikan, meneropongi fenomena yang akhir-akhir telah melanda Bangsa ini. Dimana tukar-padu, perselisihan, juga fatwa yang membaur-memenuhi beranda media, lalu terdengar di setiap telinga. Hal ini hanya disebabkan oleh perbedaan pendapat tentang dualisme yang niscaya. Bagaimana mungkin, seseorang dapat memerah telinganya hanya karena mengetahui tradisi Sekaten masih dihidupi oleh warga Surakarta, atau upacara Nyadran yang masih lestari di wilayah Jawa Timuran. Dengan lantang dikatakan bahwa segala tradisi yang masih hidup dan dipercayai oleh masyarakat itu adalah bid’ah, suatu kekafiran terhadap Tuhan. Anak kebudayaan seperti tertukar dengan agama. Sehingga bid’ah dan label haram begitu ringan diucapkan, tanpa memahami asbabun nuzul atau sebab-sebab kehadirannya dan tanpa mengetahui apa dan sesungguhnya maknanya, yakni puncak dari bahasa itu sendiri.

Sebagai kesimpulan, ia menunjukkan sebuah bagan yang diguratnya menggunakan media kertas dan spidol hitam. Dalam bagan lingkaran yang terdiri dari beberapa lipatan, ia menulis kata syariat, akidah, akhlaq, dan yang terakhir cinta. “Kita akan berhenti bertengkar perihal agama ketika sudah sampai dan masuk ke inti agama, ialah cinta”, pungkasnya.

Kata-kata Buya, mengingatkan kita pada kidung cinta Sang Syaikhul Akbar, Ibn ‘Arabi. “Aku beragama dengan agama cinta/ ke manapun ia bergerak, maka cinta adalah agama dan keyakinanku”. Cinta adalah agama itu sendiri. Agama bukan hanya liturgi, melainkan ruh yang menyatu bersama Sang-Ada, melebur dalam Ke-ti-ada-an, menyandar pada kalimat Innalillahi wainna ilaihi raaji’un. Mengabadikan yang Fana, Memfanakan yang Abadi, serupa alasan Tuhan menciptakan bumi dan seisinya.

 

*) Tulisan tersebut adalah hasil reportase singkat penulis terhadap kajian Buya Syakur Yasin melalui akun youtube dan siaran langsung bersama Wamimma TV.

Tags: antara yang fana dan yang abadibudayabuya syakur yasinhikmah
ShareTweetSendShare
Previous Post

Lapangan Tembak

Next Post

Alir-an

Dyah Monika Sari

Dyah Monika Sari

Seorang gadis kelahiran Tuban, 29 Maret 1997. Ia menyelesaikan studinya pada tahun 2019 di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang jurusan Sastra Inggris. Menaruh minat pada bidang jurnalistik dan pendidikan, saat ini, Monika sibuk mengajar dan menerjemahkan beberapa karya sastra. Monika tidak dapat menelan pil ataupun obat, karena itu, ia selalu menjaga kesehatan tubuh agar tetap sehat dan kuat. Ig @dymosa_monika

Artikel Terkait

Anthony Giddens: Agensi dan Strukturasi Sosial
Sosok

Anthony Giddens: Agensi dan Strukturasi Sosial

30 November 2022

Anthony Giddens adalah mantan Direktur London School of Economics (LSE) yang tercatat sebagai salah satu sosiolog penting dunia menjelang akhir...

Mengenal Thasykubro Zadah: Sejarawan Penulis Ensiklopedia Islam
Sosok

Mengenal Thasykubro Zadah: Sejarawan Penulis Ensiklopedia Islam

10 Maret 2022

Setelah meninggalnya Nabi saw., Islam dipimpin oleh Khulafa’ al-Rasyidun dan diikuti oleh beberapa dinasti selanjutnya mulai dari Umawiyyah, Abbasiyah, sampai...

Tadabbur via Momentum Hujan
Hikmah

Tadabbur via Momentum Hujan

6 Maret 2022

Sebuah pepatah mengatakan bahwa barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenali Tuhannya. Namun, permasalahannya adalah tingkat kesadaran terhadap diri...

Ali Syari’ati: Mempercayai Tuhan Sekaligus Menjaga Alam dan Hubungan Sesama Manusia
Sosok

Ali Syari’ati: Mempercayai Tuhan Sekaligus Menjaga Alam dan Hubungan Sesama Manusia

16 Februari 2022

Arsitek Revolusi Islam, begitulah kata M. Dawam Rahardjo untuk Ali Syari’ati dalam tulisan kecilnya berjudul Ali Syari’ati: Mujahid Intelektual di...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Drama Korea Yumi’s Cell dan Mencintai Diri

Drama Korea Yumi’s Cell dan Mencintai Diri

3 November 2021
Apakah Koruptor Layak di Dor?

Apakah Koruptor Layak di Dor?

7 Februari 2021
Pada Suatu Kangen dan Kontradiksi Interminus

Pada Suatu Kangen dan Kontradiksi Interminus

6 Agustus 2021
Gambar Artikel Komunikasi Mahasiswa dan Dosen Pembimbing Ala Habermas

Komunikasi Mahasiswa dan Dosen Pembimbing Ala Habermas

13 November 2020
Gambar Artikel Wartawan Ala Cak Rusdi

Wartawan Ala Cak Rusdi

30 April 2021
Gambar Artikel Puisi Tentang Pandemi : Puisi-Puisi Fajar Sedayu (Yogyakarta)

Puisi-Puisi Fajar Sedayu (Yogyakarta)

31 Oktober 2020
Gambar Artikel Semayam Kerapuhan Moral

Semayam Kerapuhan Moral

30 November 2020
Gambar Artikel Hiruk-Pikuk Pandemi dalam Pemikiran KH. Ahmad Dahlan

Hiruk-Pikuk Pandemi dalam Pemikiran KH. Ahmad Dahlan

14 Desember 2020
Hujan Menulis Air

Hujan Menulis Air

30 April 2021
Bulan Memancar di Rambutmu

Bulan Memancar di Rambutmu

8 Maret 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (216)
    • Cerpen (54)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.