Pemimpin sejati selalu bersama jamaahnya. Bukanlah seorang pemimpin, yang mampu berdiri tegak dan menopang dirinya sendiri di atas kedua kaki lalu berjalan sendiri. Tidak mungkin. Dengan potensi atau inovasi dari diri seorang pemimpin, namun terwujud dan bertujuan untuk kesejahteraan bersama, orang di sekelilingnya. Perwujudan itu terjadi jika terdapat kolaborasi antara pemimpin (kepala) dan atau jamaahnya (sayap). Ibarat burung yang terbang bebas menuju sarang yang indah, sebuah tujuan.
Pemimpin yang dibutuhkan di zaman milenial harus memiliki kemampuan atau kriteria di antaranya; Digital Mindset, Observer dan Active Listener, Agile, Inclusive, Brave to Be Different, Have a Wide Network. Dari kelima kriteria tersebut, Bunda Hindun Anisah mengupas perihal “inclusive”.
Bunda Hindun Anisah menjelaskan inclusive dengan pola kehidupan pesantren. Beliau memberikan contoh pesantren yang dapat dikatakan sebagai sebuah organisasi. Organisasi; kumpulan yang memiliki tujuan atau visi yang sama. Sudah tentu dengan kumpulan tersebut, tidak hanya satu individu saja, melainkan individu satu dan lainnya masuk di dalamnya. Dari hal tersebut, bagaimana seorang pemimpin bisa menyatukan perbedaan pemikiran dan cara pandang untuk mencapai kebaikan bersama.
Konsep pesantren di atas mencakup apa itu inclusive. Inclusive menjelaskan seorang pemimpin yang mampu masuk dalam pemikiran orang lain, umpamanya, saat menyikapi masalah atau mencari solusi. Mengutamakan kesetaraan, kita ambil dasarnya yaitu: perbedaan. Sehingga kesetaraan itu perlu, bukan malah mengutamakan kesenjangan dari satu golongan tertentu dalam kelompok. Dan, menghargai pemikiran setiap anggota untuk kepentingan bersama.
Tidak melulu dalam circle yang besar, dari pesantren saja sudah diajarkan untuk bagaimana mengajak orang, memimpin santri lainnya, memahami satu sama lain, bersikap terbuka, memiliki kesempatan yang sama untuk duduk bersama mendiskusikan kebaikan bersama, mencari solusi atas aneka permasalahan.
Di pesantren sudah banyak hal yang dilakukan dengan menerapkan konsep inclusive. Termasuk pesantren Hasyim Asy’ari yang diasuh oleh Bunda Hindun Anisah. Pesantren yang ‘open minded’, baginya.
Pesantren Hasyim Asy’ari terbuka dari sumber manapun, berelasi dengan berbagai background yang berbeda. Suatu waktu, pesantren menerima kunjungan lintas agama. Semata-mata bukan untuk merubah atau memasukkan ideologi yang bertentangan (dengan agama Islam), seperti pandangan beberapa masyarakat yang kurang sepakat. Melainkan, perbedaan itu untuk dipahami dan dimengerti sehingga bisa menerima. Demikianlah pengajaran Bunda Hindun Anisah dalam mebangun pemahaman inclusive di lingkungan santri.
Seseorang bisa memiliki nilai inclusive, tidak harus menunggu dari orang lain. Seperti halnya Bunda Hindun, dimulai dari cara pikirnya. Bagaimana beliau memberi pemahaman kepada santrinya. Sepakat dengan kalimat yang selalu diulang Bunda Hindun, yaitu: Ibda’ Binafsik. Mulailah dengan dirimu sendiri.
Jika seorang individu terpilih dan diberi amanat untuk menjadi seorang pemimpin, otomatis pemimpin inilah yang ikut merajut wajah dan sikap jamaahnya. Pola pikir pemimpin akan berpengaruh pada pola pikir jamaahnya.
Bunda Anisah juga membagikan poin penting, “Tidak ada tujuan lain dari diri selain untuk memberi manfaat terhadap orang lain.”
Kesempatan bersama Bunda sebagai narasumber di forum virtual “Leadership in Global Perspective” cukup berkesan bagi saya. Terlebih, di sana juga ada Ibu Natalia koordinator Peduli Kasih terutama pada para Imigran di Hongkong dan Mr. Jonthon Coulson sebagai dosen Columbia University. Kedua narasumber selain Bunda Hindun juga memberi pandangan tentang sosok pemimpin.
Mr. Jonthon mengungkapkan seorang pemimpin bukan hanya pemimpin yang memimpin suatu negara atau skala besar. Tapi seorang yang bisa memberi topik di meja makan. Ketika makan bersama di sana ada diskusi untuk sebuah kebaikan, dari anggota lain di meja makan juga bisa menimpali dan menyalurkan ide. That’s great!
Ibu Natalia juga turut memberi pandangan bagaimana seorang pemimpin yang patut menjadi teladan. Pemimpin yang dicontohkan adalah sosok yang berperan sebagai imigran di Hongkong. Penduduk Indonesia yang sama-sama berjuang untuk mendapatkan hak yang layak.
Mereka para imigran, menjadi individu yang memiliki peran sebagai pemimpin. Mereka membuat organisasi kecil. Tujuannya untuk dapat mengajak dan saling memotivasi antarsesama imigran. Pemimpin bagi dirinya sendiri adalah bagaimana dia bertahan dan pemimpin bagi orang lain adalah mengupayakan semangat dalam diri agar dapat menyemangati teman lainnya.
Selain itu, seorang imigran atau individu yang memiliki jiwa leadership yang bagus adalah mereka yang berani memberikan tanggung jawab kepada sesama atau orang lain. Bukan seorang pemimpin dia yang bisa melakukan semuanya dengan tangannya sendiri. Perbedaannya terletak pada bagaimana orang lain dapat melakukan sesuatu secara maksimal dengan support dari sosok pemimpin tersebut.
Ungkapan dari Ibu Natalia dan Mr. Jonthon dapat ditarik kepada poin utama dari Bunda Hindun Anisah. Jamaah atau kumpulan itu bagaimana pemimpinnya. Dan pemimpin itu berangkat dari individu. Perubahan yang diciptakan bersama, bertolak dari perubahan atau awal diri sendiri. Ibda’ binafsik. Tidak bisa menuntut orang lain berubah, lingkungan berubah kalau tidak diri kita sendiri yang memulai dan mengubahnya.
Ibda’ Binafsik untuk Manfaati dan Menerima orang banyak di sekeliling kita.[]
[Cat. Penyunting: Tulisan ini membuka diri untuk disanggah, dikritik, atau dibalas dengan perspektif berbeda dari para pembaca–misalnya tentang watak jamaah yang tergantung pada pemimpinnya (yang mana ini sangat patron-centric, cara pandang yang menilai masyarakat hanya sebagai kerumunan, dan secara tak langsung menafikan peran jamaah sebagai kecerdasan kolektif dan memiliki kesadaran individual masing-masing). So, ini masih debatable, atau bahkan paidu-able. Redaksi Metafor membuka diri untuk diskusi umpan balik semacam itu.]