[YOGYAKARTA]—Selama lebih dari tujuh dekade, rakyat Palestina hidup dalam realitas yang suram. Mereka mengalami perpaduan maut antara pendudukan militer, pemutusan akses kemanusiaan, pengawasan massal via teknologi, dan kekerasan sistemik yang terus meningkat. Namun, di balik tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza dan sekitarnya, terbentang suatu proyek brutal yang jauh melampaui definisi perang konvensional: eksploitasi colonial yang menjadikan tubuh dan kehidupan warga Palestina sebagai “ladang uji coba” senjata dan sistem pengawasan global. Inilah strategi yang oleh Antony Loewenstein, jurnalis investigatif asal Australia, tuliskan dalam bukunya The Palestine Laboratory (2023)—edisi Indonesia: Laboratorium Palestina, Marjin Kiri (2025).
Melalui buku itu ia juga mengungkap bagaimana peta jalan (road map) bisnis persenjataan Israel dan pengaruhnya terhadap dunia internasional. Ada upaya sistematis yang Israel jalankan terhadap warga Palestina dengan cara “mempersenjatai trauma”. Sebuah pendekatan mengeksploitasi penderitaan historis menjadi suluh penjajahan baru terhadap liyan yang dianggap musuh bersama. Dalam hal ini, kaum Zionis Israel menggunakan trauma masa lalu masyarakat Yahudi (selaku korban anti-Semitisme dan kekejaman Nazi) menjadi api pembenaran bagi tindakan mereka ke warga Palestina yang mereka anggap sebagai ancaman.

Dalam wawancara eksklusif di Yogyakarta, 18 November 2025, Loewenstein menjelaskan lebih lanjut terkait itu dan merinci sejumlah poin penting terkait bisnis perang Israel. Antony memaparkan bahwa proyek kolonialisme apartheid Israel tidaklah semata-mata berupa perebutan lahan/wilayah, tetapi sekaligus bisnis perang yang memperdagangkan teknologi militer buatan mereka beserta sistem kontrol dan pengawasan yang telah diuji langsung pada tubuh-tubuh warga sipil Palestina—baik perempuan dan anak-anak.
“Israel menjadikan Palestina sebagai testing ground, tempat uji coba senjata dan teknologi pengawasan massal,” ujarnya. “Nyawa warga Palestina dianggap begitu murah. Di mata Israel, mereka tidak berharga. Tidak dianggap sebagai manusia.”
Baginya, fakta tersebut bukan saja penting untuk mendapat respons dari publik luas, termasuk Indonesia selaku negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Terlebih ada indikasi pemerintah Indonesia sedang “main mesra” dengan Israel—sesuatu yang dinilainya sangat memalukan dan berbahaya. Jika Indonesia menormalisasi hubungan dengan Israel, negara-negara Muslim lainnya boleh jadi akan mengikuti dan mengambil langkah salah yang sama. Antony memandang situasi pelik ini sebagai ancaman moral dan politik yang perlu diperhatikan serius.
Industri Kekerasan dan Normalisasi Kejahatan
Menurut Antony, kekerasan berkepanjangan hanya mungkin terjadi ketika publik Israel dikondisikan agar tidak melihat rakyat Palestina sebagai manusia. “Satu-satunya cara bagi suatu negara untuk melakukan dehumanisasi terhadap orang lain dalam durasi yang begitu panjang, sebagaimana Israel lakukan terhadap warga Palestina, itu adalah dengan membuat warga negara tersebut menutup mata dan menyumpal telinga,” tuturnya kepada perwakilan Tim Redaksi Metafor.
Proses dehumanisasi itulah yang kemudian menjadi bahan bakar untuk menghasilkan legitimasi moral palsu dan memperluas keuntungan ekonomi. Ini terlihat pada fakta bahwa Israel telah mengembangkan teknologi drone-tempur nirawak, sistem AI untuk mengidentifikasi target, serta spyware seperti Pegasus dan Cellebrite yang diperjualbelikan ke banyak negara.
“Di sepanjang waktu tersebut, Israel telah mengembangkan seluruh jenis persenjataan dan teknologi yang telah teruji di medan tempur (battle-tested), yakni Palestina. Dan diperjualbelikan ke seluruh dunia.”
Dengan cara tersebut, kata jurnalis independent ini, “Israel berhasil mengekspor ideologi supremasi rasis dan dehumanisasi sebagai model global.” Dan yang sangat mengkhawatirkan saat ini adalah karena banyak negara otoriter mengagumi strategi Israel itu hingga menganggapnya sebagai “teladan” (role model); bukan hanya karena ideologinya, tetapi juga efektivitasnya dalam menaklukkan dan menancapkan dominasi bahkan terhadap rakyatnya sendiri.
Mempersenjatai Trauma sebagai Strategi
Di bukunya, Antony secara tekun mendokumentasikan bagaimana Israel mengubah trauma kolektif Holocaust menjadi instrumen pembenaran politik: mengeksploitasi narasi penderitaan demi menghalalkan kekerasan terhadap bangsa liyan. “Ideologi bahwa ‘we as Jew are the chosen people’ sangat berbahaya, karena banyak negara kagum melihat apa yang dilakukan Israel sebagai role model.” Bahkan di dunia Internasional, Israel juga memanfaatkan isu anti-Semitisme.
“Anti-Semitisme itu memang ada, dan masalah yang serius. Namun, ia telah dipersenjatai untuk membungkam kritik.”
Dengan pola yang sama, Israel dengan impunitasnya kerap menyerang para pengecam genosida dengan melabeli mereka sebagai Anti-Semitis. Dan dalam mendukung upaya perang narasi tersebut, Israel bahkan menghabiskan sekitar 150 juta dolar Amerika untuk propaganda di tahun ini. “Kamu hanya akan menghabiskan uang sebanyak itu kalau kamu kalah dalam perang narasi,” tandas Antony.
Tragedi 9/11: Sumirnya Narasi Terorisme dan Keuntungan Israel
Antony lebih lanjut menguraikan bahwa perang narasi tersebut salah satunya dipicu juga oleh kejadian 9/11 saat Gedung WTC diserang. Usai tragedi itu, narasi besar “perang global melawan terorisme” digaungkan oleh Amerika Serikat lewat George W. Bush. “Cara mendefinisikan terorisme pun terasa begitu sempit; digambarkan bahwa Muslim yang melakukannya. Memang faktanya ada juga Muslim yang melakukan terorisme, tapi sampai kini masih banyak kebencian, rasisme, Islamophobia, kepada Muslim, terutama di Barat. Itu benar dan bukan rahasia,” ujarnya.
Antony melanjutkan, “Di sini penting untuk menggugat, siapa yang berhak mendefinisikan terorisme? Apakah Donald Trump? Atau George W. Bush? Tentu tidak. Bagi saya, terorisme itu menargetkan warga sipil, dan Israel telah melakukan grand terrorism di Palestina selama berpuluh-puluh tahun. Jumlah besar korban yang mereka bunuh di Gaza adalah warga sipil, perempuan, dan anak-anak. Dan meski begitu, banyak sekali media Barat yang tidak menyebutnya terorisme.”
Selain itu, pasca tragedi 9/11, Antony menyoroti adanya peningkatan pesat bisnis persenjataan Israel di kancah internasional. Banyak negara ‘berguru’ kepada mereka dalam hal mengatasi terorisme. Dan dari sinilah jejaring bisnis yang Israel bangun menguat dan mendapat semacam jaminan “impunitas” ketika mereka melakukan kejahatan brutal terhadap warga Palestina yang mana orang Muslim, Arab, dan dianggap ancaman sehingga layak dibinasakan.

Peran Indonesia dan Tanggung Jawab Moral
Di tengah kekejaman yang Israel lakukan dan masih belum menuai konsekuensi serius, sikap Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar menjadi penting. Maraknya tuntutan sanksi, boikot, dan pemutusan kerja sama ekonomi dengan Israel, solidaritas global tampak semakin menguat. “Hasil jejak pendapat di banyak negara Barat menunjukkan bahwa dukungan terhadap Palestina sekarang meningkat. Dan Israel khawatir akan fakta itu—sebagaimana mereka harus,” ucap Antony.
Meski demikian, tekanan dan represi di dalam negeri ini sendiri terhadap para aktivis, jurnalis, dan gerakan sipil pun ikut menguat di tahun-tahun terakhir. Banyak yang bertanya: apakah suara publik akan didengar, termasuk tuntutan agar mengecam Israel dan lebih tegas bersikap pro-Palestina?
Loewenstein menegaskan pentingnya aksi kolektif di tengah mendung demokrasi di Indonesia: “Jika protes terus berlanjut, mungkin pemerintah akan berpikir bahwa mengakui Israel akan membawa ongkos politik yang terlalu besar.”
Di sisi lain, ia pun menyadari bahwa dunia masih kejam: “Genosida masih berlangsung, dan semakin memburuk. Israel juga masih punya impunitas.” Namun, Antony menyodorkan bahwa ada pergeseran opini publik secara global, dan kemenangan tokoh-tokoh pro-Palestina, misalnya di pemilu Amerika (New York, Zohran Mamdani), merupakan pertanda kecil adanya harapan.
Antony lantas mengatakan, “Saya bukan seorang optimis. Tapi saya tahu dunia sedang bergeser. Dan dukungan seperti yang saya lihat di Indonesia tentu perlu menopang perubahan itu. Justru inilah yang memperkuat argumen agar Indonesia tidak menormalisasi hubungan dengan Israel.”
***
Dari uraian tersebut, frasa “mempersenjatai trauma” bukan sekadar metafor, melainkan juga sebuah diagnosis tentang bagaimana penderitaan kolektif bisa dieksploitasi menjadi mesin dehumanisasi dan industri kekerasan. Perjuangan untuk kemerdekaan Palestina bukan sekadar urusan wilayah geografis, agama, atau bahkan diplomasi politik; lebih jauh, ia juga pertarungan untuk masa depan kemanusiaan dan kekebasan bagi setiap bangsa.[]
Catatan: Wawancara dengan Antony Loewenstein ini terselenggara berkat kerja sama Warung Sastra dan Marjin Kiri dalam acara Malam Buku: “Laboratorium Palestina” pada 18 November 2025 di Karangwaru, Yogyakarta.














