Dari sisi apa pun kita melihat, sudah saatnya untuk meragukan stereotipe tentang kehebatan idola. Sebab di balik indahnya kabar, kerap bersemayam kerapuhan moral. -Nuri-
Tulisan ini sebenarnya kegelisahan yang saya alami di pertandingan Pemilu tahun 2019 silam. Kebetulan saat itu saya membaca buku tentang kisah yang dialami seorang bernama Nuri, mahasiswa baru yang sadar dirinya telah terperdaya dengan omong kosong intelektualis-intelektualis beken di organisasi kampusnya.
Ia begitu girang dengan apa yang dikaji tiap kali ada diskusi. Namun lambat laun Nuri mulai menemukan ketidakberesan dengan yang ia temukan. Dia kecewa, bahwa yang didengarkan ternyata tak semanis yang ia bayangkan. Para intelektualis tersebut hanya berhenti di ucapan mereka saja. Amal nyatanya nihil. Tak ada buktinya sama sekali.
Selang dua hari kemudian setelah membaca kisah Nuri itu, saya menyaksikan iklim perhelatan politik tanah air yang makin hangat. Malam hari itu akan digelar Debat Capres dan Cawapres RI. Kontan saja, muncul sedikit keinginan saya untuk berkontribusi menyumbang cuitan di dunia warganet, tempat di mana warganya adalah maha benar dengan segala pendapatnya.
Saya kemudian membuat status berisi pesan kepada publik. Sifatnya hanya himbauan agar mereka tak baper, namun bisa bersikap bener dan pinter menyikapi debat yang akan digelar nanti malam.
Saya kira status itu tak akan jadi masalah. Namun di pagi harinya, ternyata ada dua akun teman yang mengomentari status saya. Isinya, ia menyatakan tentang perasaannya, ngawur bukan itu? Ia menyatakan dengan tegas bahwa ia tetap memilih untuk paslon nomor sekian, guna menahkodai kepemimpinan negara dan bangsa ini.
Pertama kali saya melihat, saya setuju-setuju saja. Toh, itu hak dan kehendaknya. Tapi sejurus kemudian, saya merasakan ada keganjalan dengan komentarnya. Lantas saya ajaklah ia untuk berdiskusi, karena kebetulan ia adalah kawan lama saya dulu semasa SMA.
Teman saya yang pertama berpendapat bahwa saya harus memilih pemimpin yang ada ulamanya, walaupun memang bahasanya tidak sejelas itu. Saya terkejut sekali membacanya, lantaran masalahnya bukan pada saya tidak mau mendukung ulama yang notabene merupakan panutan bagi umat muslim seperti saya–yang masih terlalu awam dengan agama. Titik problem sesungguhnya adalah ketakutan saya pada posisi ulama yang menjadi penguasa.
Saya mengkhawatirkan tentang apa yang pernah Imam Al-Ghazali tuliskan dalam Ihya’ Ulumiddin-nya, yaitu tentang status al-Ulama’ al-Su’. Dengan kata lain, yaitu ulama yang mendekati penguasa adalah ulama yang paling buruk.
Saya bukan bermaksud untuk men-judge bahwa ulama kita yang mencalonkan diri sekarang adalah masuk ke dalam kategori itu. Sungguh akan tak beradab sekali andai saya melakukan klaim demikian. Beliau yang keluasan ilmunya tentu lebih dari saya pasti tak pantas diklasifikasikan sebagai Ulama Su’. Namun saya hanya mengambil sikap kehati-hatian saja. Lagi pula pada dasarnya, kita tidak pernah tau apa yang terjadi dalam diri seseorang. Dari situ, meskipun ada banyak sekali ulama yang tersohor di negeri ini, akan tetapi jika amal dan ilmunya tidak saling sinkron, maka perlu dipertanyakan kealimannya.
***
Sekali lagi saya berusaha untuk selalu husnudzon bahwa ulama itu, siapa pun dia adalah pewaris para nabi. Mulai dari akhlaknya, keemasan himmahnya, dan juga keilmuannya. Adalah hal wajar jika di pesantren-pesantren di mana pun, sosok ulama yang tercitrakan melalui para kyai, ajengan, ustadz-ustadzah ini kemudian mampu sedikit demi sedikit mengejawantahkan perilaku dan ucapan seperti yang diajarkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Lalu, mengapa ulama yang ikut serta untuk terjun ke dunia politik mendapat kritikan, cuk? Bukankah Rasul pun dulu membuat sistem kenegaraan di mana kota Madinah akhirnya menjadi besar karena kepemimpinan Rasul? Juga, para Sahabat pun begitu seterusnya, yang pada gilirannya mereka pun mempunyai sistem kekhalifahan yang menjadikan Islam lebih berkembang sampai seperti sekarang?
Benar sekali perkataanmu, Cuk. Itu memang sebuah fakta sejarah yang kita abadikan hingga sekarang. Namun, apa pun fakta sejarahnya pasti ada sisi-sisi lain yang mesti kita pelajari kembali. Yang jadi masalah itu bukan pada masa Rasul atau Sahabat, akan tetapi masa-masa setelahnya. Usai Khalifah Sayyidina Ali wafat, benarkah sistem kekhalifahan Bani Umayyah–melalui Muawiyah bin Abu Sufyan dan penerus-penerusnya–telah benar-benar menggunakan sistem yang benar-benar mengutamakan rakyat? Ataukah justru yang dipakai adalah sistem yang mementingkan golongan sendiri?
Coba kita ingat-ingat dulu pada masa terjadinya peristiwa Tahkim, perundingan antara Sayyidina Hasan vs Muawiyah. Di mana letak permasalahan kekhalifahan beliau sebenarnya? Sehingga Muawiyah mesti menggunakan cara negoisasi ‘busuk’ itu, yang pada akhirnya Sayyidina Hasan harus mengalah (demi) agar tidak terjadi pertumpahan antarsaudara muslim.
Ini masalah moral. Dan moral adalah kekayaan jiwa. Hanya mereka yang paham dan mengerti tentang dirinya lah yang akan mampu mengejawantahkan sifat-sifat baik dari Tuhannya. Yang rapuh moralnya, biarkan saja….
Bersambung…