• Tentang Kami
  • Hubungi Kami
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kerjasama
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
Tuesday, 02 December 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Sambatologi

Semayam Kerapuhan Moral

Ulin Nuha by Ulin Nuha
30 November 2020
in Cangkem, Komentarium, Sambatologi
0
Gambar Artikel Semayam Kerapuhan Moral

Sumber Gambar; https://www.smashingmagazine.com/2017/04/vibrant-illustrations-inspiration/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Dari sisi apa pun kita melihat, sudah saatnya untuk meragukan stereotipe tentang kehebatan idola. Sebab di balik indahnya kabar, kerap bersemayam kerapuhan moral. -Nuri-

Tulisan ini sebenarnya kegelisahan yang saya alami di pertandingan Pemilu tahun 2019 silam. Kebetulan saat itu saya membaca buku tentang kisah yang dialami seorang bernama Nuri, mahasiswa baru yang sadar dirinya telah terperdaya dengan omong kosong intelektualis-intelektualis beken di organisasi kampusnya.

Ia begitu girang dengan apa yang dikaji tiap kali ada diskusi. Namun lambat laun Nuri mulai menemukan ketidakberesan dengan yang ia temukan. Dia kecewa, bahwa yang didengarkan ternyata tak semanis yang ia bayangkan. Para intelektualis tersebut hanya berhenti di ucapan mereka saja. Amal nyatanya nihil. Tak ada buktinya sama sekali.

Selang dua hari kemudian setelah membaca kisah Nuri itu, saya menyaksikan iklim perhelatan politik tanah air yang makin hangat. Malam hari itu akan digelar Debat Capres dan Cawapres RI. Kontan saja, muncul sedikit keinginan saya untuk berkontribusi menyumbang cuitan di dunia warganet, tempat di mana warganya adalah maha benar dengan segala pendapatnya.

Saya kemudian membuat status berisi pesan kepada publik. Sifatnya hanya himbauan agar mereka tak baper, namun bisa bersikap bener dan pinter menyikapi debat yang akan digelar nanti malam.

Saya kira status itu tak akan jadi masalah. Namun di pagi harinya, ternyata ada dua akun teman yang mengomentari status saya. Isinya, ia menyatakan tentang perasaannya, ngawur bukan itu? Ia menyatakan dengan tegas bahwa ia tetap memilih untuk paslon nomor sekian, guna menahkodai kepemimpinan negara dan bangsa ini.

Pertama kali saya melihat, saya setuju-setuju saja. Toh, itu hak dan kehendaknya. Tapi sejurus kemudian, saya merasakan ada keganjalan dengan komentarnya. Lantas saya ajaklah ia untuk berdiskusi, karena kebetulan ia adalah kawan lama saya dulu semasa SMA.

Teman saya yang pertama berpendapat bahwa saya harus memilih pemimpin yang ada ulamanya, walaupun memang bahasanya tidak sejelas itu. Saya terkejut sekali membacanya, lantaran masalahnya bukan pada saya tidak mau mendukung ulama yang notabene merupakan panutan bagi umat muslim seperti saya–yang masih terlalu awam dengan agama. Titik problem sesungguhnya adalah ketakutan saya pada posisi ulama yang menjadi penguasa.

Saya mengkhawatirkan tentang apa yang pernah Imam Al-Ghazali tuliskan dalam Ihya’ Ulumiddin-nya, yaitu tentang status al-Ulama’ al-Su’. Dengan kata lain, yaitu ulama yang mendekati penguasa adalah ulama yang paling buruk.

Saya bukan bermaksud untuk men-judge bahwa ulama kita yang mencalonkan diri sekarang adalah masuk ke dalam kategori itu. Sungguh akan tak beradab sekali andai saya melakukan klaim demikian. Beliau yang keluasan ilmunya tentu lebih dari saya pasti tak pantas diklasifikasikan sebagai Ulama Su’. Namun saya hanya mengambil sikap kehati-hatian saja. Lagi pula pada dasarnya, kita tidak pernah tau apa yang terjadi dalam diri seseorang. Dari situ, meskipun ada banyak sekali ulama yang tersohor di negeri ini, akan tetapi jika amal dan ilmunya tidak saling sinkron, maka perlu dipertanyakan kealimannya.

***

Sekali lagi saya berusaha untuk selalu husnudzon bahwa ulama itu, siapa pun dia adalah pewaris para nabi. Mulai dari akhlaknya, keemasan himmahnya, dan juga keilmuannya. Adalah hal wajar jika di pesantren-pesantren di mana pun, sosok ulama yang tercitrakan melalui para kyai, ajengan, ustadz-ustadzah ini kemudian mampu sedikit demi sedikit mengejawantahkan perilaku dan ucapan seperti yang diajarkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Lalu, mengapa ulama yang ikut serta untuk terjun ke dunia politik mendapat kritikan, cuk? Bukankah Rasul pun dulu membuat sistem kenegaraan di mana kota Madinah akhirnya menjadi besar karena kepemimpinan Rasul? Juga, para Sahabat pun begitu seterusnya, yang pada gilirannya mereka pun mempunyai sistem kekhalifahan yang menjadikan Islam lebih berkembang sampai seperti sekarang?

Benar sekali perkataanmu, Cuk. Itu memang sebuah fakta sejarah yang kita abadikan hingga sekarang. Namun, apa pun fakta sejarahnya pasti ada sisi-sisi lain yang mesti kita pelajari kembali. Yang jadi masalah itu bukan pada masa Rasul atau Sahabat, akan tetapi masa-masa setelahnya. Usai Khalifah Sayyidina Ali wafat, benarkah sistem kekhalifahan Bani Umayyah–melalui Muawiyah bin Abu Sufyan dan penerus-penerusnya–telah benar-benar menggunakan sistem yang benar-benar mengutamakan rakyat? Ataukah justru yang dipakai adalah sistem yang mementingkan golongan sendiri?

Coba kita ingat-ingat dulu pada masa terjadinya peristiwa Tahkim, perundingan antara Sayyidina Hasan vs Muawiyah. Di mana letak permasalahan kekhalifahan beliau sebenarnya? Sehingga Muawiyah mesti menggunakan cara negoisasi ‘busuk’ itu, yang pada akhirnya Sayyidina Hasan harus mengalah (demi) agar tidak terjadi pertumpahan antarsaudara muslim.

Ini masalah moral. Dan moral adalah kekayaan jiwa. Hanya mereka yang paham dan mengerti tentang dirinya lah yang akan mampu mengejawantahkan sifat-sifat baik dari Tuhannya. Yang rapuh moralnya, biarkan saja….

Bersambung…

Tags: dunia kampusmahasiswasambatuniversitas
ShareTweetSendShare
Previous Post

El Diego di Luar Lapangan Hijau

Next Post

Kritik dan Karya adalah Sebuah Niscaya

Ulin Nuha

Ulin Nuha

Redaksi Metafor

Artikel Terkait

Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
Komentarium

Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti

26 September 2025

Ada sebuah kawasan yang tampak biasa di peta, namun warganya hidup dalam kepungan janji palsu yang manis. Mereka mendapat iming-iming...

Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
Sambatologi

Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung

30 August 2025

Tiap hari, selalu saja ada berita yang buat perut sakit. Aktornya tiada lain tiada bukan adalah pihak pemerintah. Dari hulu...

Belajar Mengitari Israel
Cangkem

Belajar Mengitari Israel

19 April 2023

Kebetulan tulisan saya kemarin di rubrik ini bertali-singgung dengan Israel. Kebetulan juga saya seorang pemalas akut. Daripada cari bahan nyangkem...

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku
Cangkem

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku

29 March 2023

Saya ini sekarang suka nulis, tapi kalau disuruh. Disuruh empunya web ini, contohnya. Tiga tahun lalu saya nulis kayak orang...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Gambar Artikel Keraguan dalam Keyakinan

Keraguan dalam Keyakinan

2 December 2020
Ritus Kesunyian

Ritus Kesunyian

21 March 2021
Gambar Artikel Bulan yang Lahir dari Penderitaan

Bulan yang Lahir dari Penderitaan

30 December 2020
Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya

Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya

3 August 2025
Hartojo Andangdjaja: Menulis Puisi dengan Bahasa yang Jernih

Hartojo Andangdjaja: Menulis Puisi dengan Bahasa yang Jernih

11 October 2021
Win-Win Corruption

Win-Win Corruption

30 May 2021
Telur, Susu, dan Viagra di Cafe Puisi Mbeling

Telur, Susu, dan Viagra di Cafe Puisi Mbeling

27 January 2021
Main Tanah dari Langit

Main Tanah dari Langit

28 November 2021
Kirsip

Kirsip

10 March 2021
Gambar Artikel Ketan Memang 'Keraketan'

Ketan Memang ‘Keraketan’

25 November 2020
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Mempersenjatai Trauma: Strategi Jahat Israel terhadap Palestina
  • Antony Loewenstein: “Mendekati Israel adalah Kesalahan yang Memalukan bagi Indonesia”
  • Gelembung-Gelembung
  • Mengeja Karya Hanna Hirsch Pauli di Museum Stockholm
  • Di Balik Prokrastinasi: Naluri Purba Vs Tuntutan Zaman
  • Pulau Bajak Laut, Topi Jerami, dan Gen Z Madagaskar
  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu

Kategori

  • Event (14)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (12)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (66)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (53)
  • Metafor (217)
    • Cerpen (55)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (49)
    • Gaya Hidup (26)
    • Kelana (13)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kontributor
  • Hubungi Kami

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Kami
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Hubungi Kami
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.