• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Minggu, 17 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Sambatologi

Semayam Kerapuhan Moral

Ulin Nuha by Ulin Nuha
30 November 2020
in Cangkem, Komentarium, Sambatologi
0
Gambar Artikel Semayam Kerapuhan Moral

Sumber Gambar; https://www.smashingmagazine.com/2017/04/vibrant-illustrations-inspiration/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Dari sisi apa pun kita melihat, sudah saatnya untuk meragukan stereotipe tentang kehebatan idola. Sebab di balik indahnya kabar, kerap bersemayam kerapuhan moral. -Nuri-

Tulisan ini sebenarnya kegelisahan yang saya alami di pertandingan Pemilu tahun 2019 silam. Kebetulan saat itu saya membaca buku tentang kisah yang dialami seorang bernama Nuri, mahasiswa baru yang sadar dirinya telah terperdaya dengan omong kosong intelektualis-intelektualis beken di organisasi kampusnya.

Ia begitu girang dengan apa yang dikaji tiap kali ada diskusi. Namun lambat laun Nuri mulai menemukan ketidakberesan dengan yang ia temukan. Dia kecewa, bahwa yang didengarkan ternyata tak semanis yang ia bayangkan. Para intelektualis tersebut hanya berhenti di ucapan mereka saja. Amal nyatanya nihil. Tak ada buktinya sama sekali.

Selang dua hari kemudian setelah membaca kisah Nuri itu, saya menyaksikan iklim perhelatan politik tanah air yang makin hangat. Malam hari itu akan digelar Debat Capres dan Cawapres RI. Kontan saja, muncul sedikit keinginan saya untuk berkontribusi menyumbang cuitan di dunia warganet, tempat di mana warganya adalah maha benar dengan segala pendapatnya.

Saya kemudian membuat status berisi pesan kepada publik. Sifatnya hanya himbauan agar mereka tak baper, namun bisa bersikap bener dan pinter menyikapi debat yang akan digelar nanti malam.

Saya kira status itu tak akan jadi masalah. Namun di pagi harinya, ternyata ada dua akun teman yang mengomentari status saya. Isinya, ia menyatakan tentang perasaannya, ngawur bukan itu? Ia menyatakan dengan tegas bahwa ia tetap memilih untuk paslon nomor sekian, guna menahkodai kepemimpinan negara dan bangsa ini.

Pertama kali saya melihat, saya setuju-setuju saja. Toh, itu hak dan kehendaknya. Tapi sejurus kemudian, saya merasakan ada keganjalan dengan komentarnya. Lantas saya ajaklah ia untuk berdiskusi, karena kebetulan ia adalah kawan lama saya dulu semasa SMA.

Teman saya yang pertama berpendapat bahwa saya harus memilih pemimpin yang ada ulamanya, walaupun memang bahasanya tidak sejelas itu. Saya terkejut sekali membacanya, lantaran masalahnya bukan pada saya tidak mau mendukung ulama yang notabene merupakan panutan bagi umat muslim seperti saya–yang masih terlalu awam dengan agama. Titik problem sesungguhnya adalah ketakutan saya pada posisi ulama yang menjadi penguasa.

Saya mengkhawatirkan tentang apa yang pernah Imam Al-Ghazali tuliskan dalam Ihya’ Ulumiddin-nya, yaitu tentang status al-Ulama’ al-Su’. Dengan kata lain, yaitu ulama yang mendekati penguasa adalah ulama yang paling buruk.

Saya bukan bermaksud untuk men-judge bahwa ulama kita yang mencalonkan diri sekarang adalah masuk ke dalam kategori itu. Sungguh akan tak beradab sekali andai saya melakukan klaim demikian. Beliau yang keluasan ilmunya tentu lebih dari saya pasti tak pantas diklasifikasikan sebagai Ulama Su’. Namun saya hanya mengambil sikap kehati-hatian saja. Lagi pula pada dasarnya, kita tidak pernah tau apa yang terjadi dalam diri seseorang. Dari situ, meskipun ada banyak sekali ulama yang tersohor di negeri ini, akan tetapi jika amal dan ilmunya tidak saling sinkron, maka perlu dipertanyakan kealimannya.

***

Sekali lagi saya berusaha untuk selalu husnudzon bahwa ulama itu, siapa pun dia adalah pewaris para nabi. Mulai dari akhlaknya, keemasan himmahnya, dan juga keilmuannya. Adalah hal wajar jika di pesantren-pesantren di mana pun, sosok ulama yang tercitrakan melalui para kyai, ajengan, ustadz-ustadzah ini kemudian mampu sedikit demi sedikit mengejawantahkan perilaku dan ucapan seperti yang diajarkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Lalu, mengapa ulama yang ikut serta untuk terjun ke dunia politik mendapat kritikan, cuk? Bukankah Rasul pun dulu membuat sistem kenegaraan di mana kota Madinah akhirnya menjadi besar karena kepemimpinan Rasul? Juga, para Sahabat pun begitu seterusnya, yang pada gilirannya mereka pun mempunyai sistem kekhalifahan yang menjadikan Islam lebih berkembang sampai seperti sekarang?

Benar sekali perkataanmu, Cuk. Itu memang sebuah fakta sejarah yang kita abadikan hingga sekarang. Namun, apa pun fakta sejarahnya pasti ada sisi-sisi lain yang mesti kita pelajari kembali. Yang jadi masalah itu bukan pada masa Rasul atau Sahabat, akan tetapi masa-masa setelahnya. Usai Khalifah Sayyidina Ali wafat, benarkah sistem kekhalifahan Bani Umayyah–melalui Muawiyah bin Abu Sufyan dan penerus-penerusnya–telah benar-benar menggunakan sistem yang benar-benar mengutamakan rakyat? Ataukah justru yang dipakai adalah sistem yang mementingkan golongan sendiri?

Coba kita ingat-ingat dulu pada masa terjadinya peristiwa Tahkim, perundingan antara Sayyidina Hasan vs Muawiyah. Di mana letak permasalahan kekhalifahan beliau sebenarnya? Sehingga Muawiyah mesti menggunakan cara negoisasi ‘busuk’ itu, yang pada akhirnya Sayyidina Hasan harus mengalah (demi) agar tidak terjadi pertumpahan antarsaudara muslim.

Ini masalah moral. Dan moral adalah kekayaan jiwa. Hanya mereka yang paham dan mengerti tentang dirinya lah yang akan mampu mengejawantahkan sifat-sifat baik dari Tuhannya. Yang rapuh moralnya, biarkan saja….

Bersambung…

Tags: dunia kampusmahasiswasambatuniversitas
ShareTweetSendShare
Previous Post

El Diego di Luar Lapangan Hijau

Next Post

Kritik dan Karya adalah Sebuah Niscaya

Ulin Nuha

Ulin Nuha

Redaksi Metafor

Artikel Terkait

Belajar Mengitari Israel
Cangkem

Belajar Mengitari Israel

19 April 2023

Kebetulan tulisan saya kemarin di rubrik ini bertali-singgung dengan Israel. Kebetulan juga saya seorang pemalas akut. Daripada cari bahan nyangkem...

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku
Cangkem

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku

29 Maret 2023

Saya ini sekarang suka nulis, tapi kalau disuruh. Disuruh empunya web ini, contohnya. Tiga tahun lalu saya nulis kayak orang...

Dear Orang Tua: Tolong Jangan Perlakukan Anak Semena-mena!
Komentarium

Dear Orang Tua: Tolong Jangan Perlakukan Anak Semena-mena!

9 April 2022

Belum lama ini timeline media sosial saya sempat dilewati sebuah berita soal seorang ayah yang membanting laptop anaknya. Hal tersebut...

Bias Kontol dan Efek Sampingnya yang Menyebalkan
Cangkem

Bias Kontol dan Efek Sampingnya yang Menyebalkan

21 Maret 2022

Silakan kalau anda ingin memfitnah saya sebagai orang yang sedang misuh atau berkata kasar sejak dari judul. Tapi kontol sebagai...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

24 Juli 2025
Menerka Kiblat Dakwah Generasi Muda di Masa Depan

Menerka Kiblat Dakwah Generasi Muda di Masa Depan

16 Februari 2022
Berteman dengan Kegagalan

Berteman dengan Kegagalan

7 Mei 2022
Penjual Susu dan Puisi Lainnya

Penjual Susu dan Puisi Lainnya

2 Juni 2024
Gambar Artikel Resensi Tuhan Maha Asyik : Mengasyiki Tuhan

‘Mengasyiki’ Tuhan

31 Oktober 2020
Pilih Masjid yang Tarawih 8 atau 20? Ada yang Dua-duanya lo!

Pilih Masjid yang Tarawih 8 atau 20? Ada yang Dua-duanya lo!

13 April 2022
Cerpenis Itu Bernama Raa

Cerpenis Itu Bernama Raa

15 September 2021
Gambar Artikel Kritik dan Karya adalah Sebuah Niscaya

Kritik dan Karya adalah Sebuah Niscaya

1 Desember 2020
Gambar Artikel Gurun Pasir di Indonesia: Pesona Gumuk Pasir Oetune

Gurun Pasir di Indonesia: Pesona Gumuk Pasir Oetune

20 Januari 2021
Rumit Melilit Silit

Rumit Melilit Silit

24 Januari 2022
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.