Duhai… Aku tidak tahu siapa yang bisa kusebut.
Tidak mengapa PPKM diperpanjang. Barangkali hal itu memang teramat perlu demi keselamatan kami sebagaimana yang orang-orang bijak katakan perihal “itikad“. Pandemi ini sungguh nyata, dan konspirasi biarlah menjadi terkaan belaka. Bukankah kewajibanku sebagai rakyat biasa adalah sami’na wa atho’na?
Duhai, sungguh tidak mengapa. Barangkali keputusan itu pun diambil dengan hati iba yang berusaha ditegas-tegaskan. Meski aku bertanya, generasi emas yang digaung-gaungkan kemarin kemana? Bukankah diskusi-diskusi kemarin bicara soal metode ceramah yang kerap mendapat penghakiman membosankan? Lantas kenapa polemik ini menjadi sedemikian rumit? Bukankah video-video itu dulunya sebagai penunjang munculnya minat belajar? Tapi kenapa hari ini malah menjadi satu-satunya media pengajaran yang ditolak mentah-mentah?
Duhai, aku yang tidak tahu menahu mencoba untuk mencari tahu. Barangkali bapak/ibu guru di sekolah-sekolah itu telah berusaha seapik mungkin menata segala pernak-pernik pembelajarannya. Tapi sungguh, semuanya terasa serba salah. Meminimalisir tugas demi meminimalisir produksi kortisol dianggap tak pedulikan pendidikan anak didik. Memaksimalkan pembelajaran yang semaksimal apapun tetap berkutat pada pemberian video dan tugas, dianggap tidak menaruh iba pada anak didiknya.
Duhai, aku hanyalah gadis yang berada di transisi remaja menuju dewasa, yang hidup di era milenial serba digital, yang menyaksikan sendiri, seberapapun hebat dan canggihnya dunia digital, digitalisasi pendidikan teramat memilukan. Aku mendengar sedu sedan ibu yang terbirit-birit membagi waktu dan ponselnya, juga keluh anak cerdas perihal rindu berseragam dan membawa bekal.
Duhai, banyak yang kembali pada maqolah “Ibu adalah madrasah pertama.” Tapi barangkali beberapa ibu tidak mengenyam pendidikan memadai di waktu dulu. Barangkali sebagian besar ibu sebenarnya sudah menjadi bagian maqolah itu. Bukankah menggantikan popok, menyuapi makan sambil bilang “Aaa”, membimbing mengucap “Ibu”, dan hal lainnya bisa dikatakan pendidikan untuk anak? Bukankah berarti sudah ada ketuntasan bagi ibu untuk menjadi madrasah pertama bagi putra-putrinya? Lantas mengapa maqolah itu terdengar kurang bersahabat diucapkan di waktu genting seperti ini? Atau telingaku saja yang bermasalah? Tapi terangnya, mataku jelas melihat jatuh bangun para ibu yang berusaha mencukupi finansial anaknya, barangkali beberapa ibu yang tidak mampu menjadi madrasah pertama lagi. Tapi, duhai siapapun yang membaca ini, setiap dari ibu istimewa, bukan?
Duhai, aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Maka tolong jangan salahkan aku yang tidak tahu kenapa sulit menghentikan banyaknya “kenapa” di kepala, yang hampir tiada beda dengan rumah laba-laba yang mungkin mendiami atap sekolah dengan lega karena tidak ada yang mengusirnya. “Kenapa” yang mungkin bagi kebanyakan orang sederhana sekali jawabnya, “Memang demikian adanya.”
Duhai, aku juga teringat dengan pepatah lama, “Ignorance is bliss” (ketidaktahuan adalah kebahagiaan). Tapi sayang, aku melihat kenyataan bagaimana geliat pendidikan hari ini berjalan menyedihkan tanpa tahu jalan tengah untuk kembali melariskan “generasi emas” untuk Indonesia 2045. Aduhai, terlampau jauh aku berpikir ke sana. Sekadar membantu memperbaiki mindset anak sekolah tetangga rumah mengenai “Belajar itu ya sekolah. Sekolah itu ya pakai seragam” saja aku tidak memiliki kuasa. Maka, sebab pengetahuan maupun ketidaktahuanku adalah ketidakbahagiaan, aku mencoba cara ini, menulis. Meski cara ini pun rasanya seperti mempermalukan diri. Betapa secara agama, aku adalah hamba sia-sia sebab menyadari atau mungkin tidak mau menyadari bahwa seluruh detail kehidupan adalah kehendak-Nya.
Jangan pedulikan tulisan ini, Duhai. Meski penuh dengan “kenapa”, tapi jawabannya tak kalah sederhana dari “memang demikian adanya”. Tanpa jawaban. Itu jawabannya, Duhai. Tiada tuntutan jawaban untuk retorikaku yang lucu.
Biarlah tulisan ini tertangkap indera penglihatan pembaca, selintas hinggap di kepala, lalu mengudara pada Sang Maha.
Lantas, aku melihat diriku yang penuh tanya kembali tenggelam dalam barisan aksara serta suara tujuh pemuda asal negeri ginseng sana, karena menuliskan saja sudah cukup membuatku lega. Tanpa lupa menyampaikan hal paling penting; bahwa aku menyayangi siapapun pembaca tulisan yang aku tidak berharap akan berguna.
Dan semoga Sang Maha meridai segala derap langkah kita.