• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Sabtu, 16 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Sambatologi Komentarium

Memahami Puisi Instan “Malam Lebaran” Sitor Situmorang

Syukur Budiardjo by Syukur Budiardjo
2 Maret 2021
in Komentarium
0
Memahami Puisi Instan “Malam Lebaran” Sitor Situmorang

https://unsplash.com/photos/vFrhuBvI-hI

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Kurang lebih tiga bulan lagi umat Islam merayakan Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri pada tahun 2021 atau 1442 Hijriah ini. Sebuah puisi yang menarik perhatian banyak orang terkait dengan peristiwa atau momen ini adalah puisi karya Sitor Situmorang berjudul “Malam Lebaran”.

Banyak pembaca puisi yang sulit memahami makna dan pesan yang terkandung di dalam puisi “Malam Lebaran” karya Sitor Situmorang ini. Termasuk saya. Ini puisi terpendek karyanya yang pernah dimuat di majalah Zenith dan terkumpul dalam buku Dalam Sajak (1955). Banyak orang memujinya. Namun, banyak pula orang yang mencemoohnya.

MALAM LEBARAN
bulan di atas kuburan

Banyak tafsir yang ditulis oleh pembaca mengenai isi, makna, atau pesan puisi tersebut. Mereka mendasarkannya atas teks puisi tersebut semata. Entah dengan pendekatan struktural ataupun semiotik.

Semula saya pun demikian. Hanya membaca kata per kata kemudian menafsirkannya begitu saja. Dalam benak bertanya: Mana mungkin pada tanggal 1 Syawal tepat “malam lebaran” terlihat bulan mengambang di langit yang menaungi kuburan? Sesuatu yang musykil. Tak masuk akal.

Penanda 1 Syawal adalah hilal, bulan sabit “njlirit” nan kecil yang terlihat hanya sangat sebentar. Tetapi, di dalam puisi Sitor Situmorang tersebut digambarkan “bulan” yang meski tidak purnama, terlihat oleh mata telanjang. Nonsens, itu logikanya!

Jika puisi tersebut kita anggap menggunakan metafora dan bersifat simbolik, maknanya menyiratkan aura positif. Begini kurang lebih. Ketika umat islam di seantera bumi merayakan malam Lebaran (lebih tepat dikatakan malam takbiran karena esok paginya umat Islam melaksanakan shalat Idul Fitri), kebahagiaan dan kesejahteraan itu datang bersamanya.

Latar Belakang

Rupanya kita melupakan latar belakang proses penciptaan puisi tersebut. Itu sebabnya, banyak interpretasi terhadap puisi tersebut meskipun itu sah-sah saja. Bukankah pembaca memiliki kebebasan dalam menemukan dan memberikan makna atas puisi yang telah dibacanya?

Inilah latar belakang proses penciptaan puisi “Malam Lebaran”, yang merupakan pengakuan Sitor Situmorang, saya kutip dari buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang II (Editor Pamusuk Eneste, Jakarta: Gramedia, 1984, halaman 1-2).

 

“Tahun 1954, Jakarta. Beberapa hari sesudah Hari Raya Idlfitri umat Islam.                                                                   

Suatu sore saya berniat pergi bertamu ke rumah Pramoedya Ananta Toer, untuk kunjungan hala lbihalal. Apa lacur, rumah (gubuk)-nya di daerah Kober sepi orang dan hari sudah malam ketika saya sampai. Kecewa amat rasanya!

Pulang dari daerah perkampungan tempat tinggalnya, yang berselokan-selokan mampet yang bau busuk, saya kesasar ke suatu tempat yang penuh pohon-pohon tua dan rimbun, serta dikelilingi tembok. Ada bulan. Karena kepingin tahu ada apa di balik tembok yang seperti tembok loji di Jawa itu, saya mendekatinya. Berdiri berjingkat, di atas seonggok batu, saya berhasil melongok mencari tahu ada apa di balik tembok itu: ternyata pekuburan berisi berbagai ragam bentuk kuburan berwarna putih, tertimpa sinar bulan di sela-sela bayangan dedaunan pepohonan! Pekuburan tua orang Eropa penuh tanda salib!

Saya terpesona, sejenak saja, mungkin hanya beberapa detik, mengamati tamasya itu! Bahkan terpukau seperti tersihir. Saya lalu berpaling, turun dari onggokan batu. Rasa kecewa ini diharu biru oleh kesan bulan di atas kuburan (rekaman ingatan dalam kata-kata).

Kesan yang terumus dalam kata-kata secara spontan itu, terucap dalam hati berulang-ulang, terus-menerus memburu ingatan, kemudian melemah, tapi tidak lenyap sama sekali, di saat saya mendekati jalan raya, yang penuh keriuhan lalu lintas.

Saya merasa terasa terasing dari bunyi kesibukan, walaupun jelas tetap mampu bergerak melakukan apa yag harus dilakukan: mencegat oplet tumpangan pulang.

Pulang? Tujuan rutin, ke rumah sendiri, terasa hilang arti. Bulan itu, kuburan itu. Kematian, sedang di atas dan di sekelilingnya: dunia, ya, jagad yang berjalan dan beredar terus, di hari baik, di bulan baik orang percaya!”

Puisi Instan

Jadi, masuk akallah jika bulan tampak mengambang di langit di atas kuburan. Sebab, seminggu setelah 1 Syawal (Idul Fitri) bulan tampak setengah purnama, belum purnama penuh. Bulan yang tampak itu rupanya dikaitkan oleh penyairnya dengan situasi Idul Fitri atau Lebaran yang masih terasa auranya.

Sekali lagi kita baca puisi “Malam Lebaran” karya Sitor Situmorang tersebut.

MALAM LEBARAN
bulan di atas kuburan

Sangat terasa dan jelas bahwa puisi di atas belum mengalami proses pengendapan. Apa yang terekam melalui panca indera, terutama mata, langsung ditumpahkan ke dalam kata-kata; bulan, di, atas, kuburan. Sungguh gamblang bahwa puisi tersebut merupakan puisi instan, bukan puisi sublim.

Puisi tersebut terlihat hanya permainan kata-kata yang sengaja ditulis untuk membuat pembaca, terutama pembaca Muslim, disesaki pertanyaan yang menuntut kelogisan dan keakurasian dalam memilih dan menggunakan diksi di dalam puisi. Keinginan berhalal bilhalal Sitor Situmorang pada malam lebaran dengan sahabatnya yang memeluk agama Islam, memaksanya menulis puisi yang dangkal dan main-main.

Ini sesuai dengan pengakuannya bahwa puisi tersebut lahir karena kesan sesaat atau impresi yang merayu jiwa, hati, dan batinnya. Bisa jadi kesan itu malah menerornya hingga lahirlah puisi yang membuat banyak pembaca tergelincir menafsirkannya.

“Tahun 1954, Jakarta. Beberapa hari sesudah Hari Raya Idul Fitri umat Islam.”

Waktu Sitor Situmorang menulis puisi “Malam Lebaran” adalah beberapa hari setelah Hari Raya Idul Fitri saat umat Islam merayakan kemenangannya setelah sebulan penuh berpuasa. Frasa beberapa hari bisa bermakna dua-tiga hari atau bahkan seminggu.

Pulang dari daerah perkampungan tempat tinggalnya, yang berselokan-selokan mampet yang bau busuk, saya kesasar ke suatu tempat yang penuh pohon-pohon tua dan rimbun, serta dikelilingi tembok. Ada bulan

….

Kesan yang terumus dalam kata-kata secara spontan itu, terucap dalam hati berulang-ulang, terus-menerus memburu ingatan, kemudian melemah, tapi tidak lenyap sama sekali, di saat saya mendekati jalan raya, yang penuh keriuhan lalu lintas.

Selain itu, puisi “Malam Lebaran” ciptaan Sitor Situmorang tersebut dapat saya modifikasi dengan menggunakan tipografi seperti ini tanpa mengubah makna atau pesannya.

bulan

di atas

kuburan

Bandingkan dengan puisi berikut.

Tuhan, kami sangat sibuk. (“Keluhan”, K.H. A. Mustofa Bisri)

Meski cuma satu larik, puisi “Keluhan” karya K.H.A. Mustofa Bisri di atas terlihat melalui proses pengendapan. Ini sebuah puisi yang ditulis melalui proses perenungan dan penghayatan yang dalam. Betapa manusia itu sangat egois sehingga ia merasa sangat sibuk dalam mengurus dan mengelola kehidupannya di dunia ini.

Tak ada waktu sekejap pun untuk Tuhan, untuk berdoa memohon apa pun kepada-Nya. Ini sebuah puisi yang menggambarkan keangkuhan atau kesombongan manusia. Puisi yang meledek dan mengkritik manusia yang sangat beranfsu memburu nikmat dunia sehingga karena kesibukannya manusia mengeluhkannya kepada-Nya.

Puisi “Keluhan” karya K.H.A. Mustofa Bisri jika saya ubah tipografinya, tampak seperti berikut ini.

Tuhan,

kami

sangat sibuk.

Meskipun maknanya tak juga berubah, greget dan semangat mengeluh yang diungkapkan oleh penyair sangat terlihat ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Menerima Keluhan. Tipografi vertikal juga menggambarkan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan

Jadi jelaslah bagi kita bahwa puisi “Malam Lebaran” karya Sitor Situmorang ini merupakan puisi instan yang ditulis spontan, tanpa pengendapan, dan hanya sesaat menarik perhatian orang. Kontradiksi judul dengan larik puisi, menandakan bahwa puisi tersebut tidak bisa diterima oleh akal sehat. Padahal, karya sastra, termasuk puisi tentunya, juga ditulis dengan bertolak dari kenyataan hidup ini, namun tetaplah dalam koridor logika yang wajar.

Meskipun  saya percaya bahwa tidak ada puisi yang hampa makna atau nihil arti, puisi “Malam Lebaran” bukanlah contoh puisi yang baik. Kesan yang menyelinap di hati adalah bahwa puisi ini merupakan puisi impresi yang sekadar memanfaatkan momentum perjumpaan secara indrawi tanpa perenungan yang sungguh-sungguh. Demikianlah.

Cibinong, Februari 2021

Tags: bulanidul fitrilebaranmalam lebaranpuasasitor situmorang
ShareTweetSendShare
Previous Post

Serba-serbi Kali

Next Post

Kopi yang Tumpah Sebelum Diangkat

Syukur Budiardjo

Syukur Budiardjo

Penulis dan Pensiunan Guru ASN di DKI Jakarta. Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Jakarta. Menulis artikel, cerpen, dan puisi di media cetak dan daring. Menulis buku kumpulan puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu Lelaki Datang (2018), Demi Waktu (2019), Beda Pahlawan dan Koruptor (2019), buku kumpulan esai  Enak Zamanku, To! (2019), dan buku nonfiksi Strategi Menulis Artikel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan Sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018). Akun Facebook, Instagram, dan Youtube menggunakan nama Sukur Budiharjo.

Artikel Terkait

Dear Orang Tua: Tolong Jangan Perlakukan Anak Semena-mena!
Komentarium

Dear Orang Tua: Tolong Jangan Perlakukan Anak Semena-mena!

9 April 2022

Belum lama ini timeline media sosial saya sempat dilewati sebuah berita soal seorang ayah yang membanting laptop anaknya. Hal tersebut...

Kenapa Lagu Jawa Trending Terus Di Youtube? Ini Jawabannya
Komentarium

Kenapa Lagu Jawa Trending Terus Di Youtube? Ini Jawabannya

17 Maret 2022

Dalam kategori musik di Youtube, ada banyak sekali lagu Jawa, entah itu genrenya dangdut, pop, atau koplo. Mungkin lagunya baru...

Menerka Kiblat Dakwah Generasi Muda di Masa Depan
Komentarium

Menerka Kiblat Dakwah Generasi Muda di Masa Depan

16 Februari 2022

Fenomena ‘hijrah’ bukan hal yang asing lagi bagi kita. Saya sendiri kurang begitu paham kapan awal-mula munculnya fenomena hijrah ini....

Jenis-Jenis Garangan Paling Berbahaya bagi Kaum LDR
Komentarium

Jenis-Jenis Garangan Paling Berbahaya bagi Kaum LDR

9 Januari 2022

Istilah LDR tentu sudah tak asing lagi di telinga. Ada banyak alasan mengapa orang menjalani LDR, seperti pekerjaan atau pendidikan...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Perbedaan Sikap dan Budaya Orang Jerman dan Indonesia

Perbedaan Sikap dan Budaya Orang Jerman dan Indonesia

24 Maret 2022
Balada Mobile Legends

Balada Mobile Legends

22 Februari 2021
Para Pengungsi Peradaban (1)

Para Pengungsi Peradaban (1)

23 Januari 2021
Alam Pikiran

Alam Pikiran

9 Juni 2021
Mawar Hitam Praja Buana

Mawar Hitam Praja Buana

29 April 2021
Gambar Artikel Jembatan Lamper

Jembatan Lamper

2 November 2020
Mencintaimu Bagi yang Mampu

Mencintaimu Bagi yang Mampu

16 Maret 2021
Diam dan Merapal Hujan

Diam dan Merapal Hujan

6 Juli 2022
Surat dari Eretria

Surat dari Eretria

7 Februari 2021
Membakar Usia

Membakar Usia

4 April 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.