Oktober tahun ini rasanya menjadi bulan paling bergejolak dalam pergerakan pemuda. Kalangan generasi penerus itu tumpah dalam wadah Mahasiswa dan Pelajar, yang turun ke jalan untuk menyuarakan dan menuntut ketidakadilaan versi mereka–utamanya demi merespon rentetan pengajuan Undang-Undang. Undang-Undang yang disahkan terkesan membawa situasi negeri ke dalam kesengsaraan bahkan di masa pandemi. Sempitnya upaya pemerintah dalam melibatkan partisipasi publik terkait perancangan UU ini, hingga kesan terburu-buru dalam mengesahkannya, mengisyaratkan bahwa kondisi nasional kini sedang berada di titik nadir.
Melansir Tempo.co, Aksi demi aksi yang dilakukan itu muncul karena pemerintah dan DPR dianggap tak menggubris masukan publik. Masyarakat menilai, dalam pembuatan UU tersebut, pemerintah hanya mengacu pada kepentingan segelintir kelompok. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja misalnya, pemerintah terang-terangan menyebutkan bahwa aturan ini akan menguntungkan pengusaha. Sebaliknya, kelompok buruh merasa tertindas lantaran sejumlah hak yang sudah diatur dalam undang-undang sebelumnya dipangkas dalam aturan baru ini.
Selama pembahasan, pemerintah dan DPR terlihat sangat tertutup dan tergesa-gesa. Indikasinya, hanya segelintir kelompok yang diundang oleh DPR untuk memberikan pendapat. Ada kecurigaan bahwa begitu para buruh menyampaikan rencana unjuk rasa selama tiga hari pada 6-8 Oktober lalu, rapat paripurna pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang mulanya dijadwalkan pada 8 Oktober, mendadak dimajukan menjadi 5 Oktober.
Jutaan orang yang turun ke jalan pada Gerakan #MosiTidakPercaya itu bisa menjadi potret representatif kepedulian mereka terhadap nasib bangsa yang sedang dihunjam permasalahan belakangan ini. Kepedulian dalam bentuk nasionalisme dengan gaya yang berbeda, bukan sebagai pengabdi negara, dokter, guru, melainkan pemuda yang mempunyai rasa kepemilikan luar biasa terhadap tanah airnya.
Aliansi gerakan yang juga terdiri dari kalangan buruh, nelayan dan petani itu semata-mata untuk menuntut hak mereka sebagai warga negara. Dengan dalih “kewajiban” yang telah ditunaikan pemerintah melalui dukungan suksesi program pembangunan infrastruktur strategis nasional, tidak sedikit juga memberi imbas, misalnya, kepada pihak-pihak yang merasakan tanahnya dirampas negara untuk pembangunan bandara dan gedung institusi negara. Belum lagi soal tambak ikan yang mati karena aktivitas PLTU yang terlalu dekat dengan pemukiman warga–dan bisa diurut sendiri potret kesengsaraan lainnya.
Tentunya aksi yang dilandasi dengan nasionalisme ini menjadi pembuktian bahwa masyarakat masih bertindak sebagai warga negara yang baik. Nasionalisme sendiri memiliki pengertian menurut Soekarno (dalam Yatim, 1999: 72) yang diartikan sebagai rasa ingin bersatu, persatuan perangai dan nasib, serta persatuan antara orang dan tempat.
Sedangkan menurut Buwono X (2007: 85), nasionalisme selalu melibatkan dimensi emosional atau rasa seperasaan, sepenanggungan, seperantauan dan senasib serta memuat faktor historis yang cenderung membangun untuk menumbuhkan perasaan bersatu dalam sebuah konsep kebangsaan tertentu. Konsep nasionalisme tidak lepas dari faktor historis yang menimbulkan perasaan yang sama untuk bersatu. (Dalam Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan oleh Pipit Widiatmaka).
Keberlangsungan aksi yang tidak diseret oleh kepentingan politik tertentu ini pada akhirnya bisa dinilai mewarnai peringatan Sumpah Pemuda tahun ini. Peringatan yang berlangsung pada 28 Oktober kemarin bisa merangsang siapa saja, yang merasa berahi nasionalis-nya meninggi dan memuncak akan rasa muak pada negara (pemerintah), yang selanjutnya diekspresikan melalui aksi turun ke jalan.
Peringatan Sumpah Pemuda tahun ini juga dapat menjadi titik perjalanan tuntutan aksi terhadap pemerintah yang dianggap abai dan bobrok dalam menjalankan amanah untuk tuannya, yaitu rakyat. Maka situasi psikologis masyarakat, terutama kalangan muda, di masa yang begini tentu akan mencapai momentum yang khas dan mendapat gemanya tersendiri jika isi bait Sumpah Pemuda diteriakkan.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Resolusi melalui Sumpah Pemudah juga dapat lahir di tengah sikap pesimistis terhadap perekonomian yang tenggelam dalam resesi, di kala kesehatan sedang dikepung oleh monster bernama Covid-19 dari segala penjuru, dan di masa ketidakpercayaan begitu merebak melalui #mositidakpercaya terhadap pemerintah. Bagi saya, inilah wujud nasionalisme tertinggi pemuda dari semua kalangan hari ini!