Karena hegemoni semantik (penguasaan/dominasi makna) yang dilakukan oleh penguasa, perilaku berbahasa di era Orde Baru (Orba) cenderung mengalami kramanisasi, yaitu menghaluskan bahasa dengan menggunakan eufemisme. Ketika iklim keterbukaan merebak, perilaku berbahasa di era Orde Reformasi (Oref) mengalami vulgarisasi,yaitu menggunakan bahasa sebebas-bebasnya atau menggunakan bahasa dengan amat telanjang. Demikian dikatakan oleh mantan Kepala Pusat Bahasa, Dr. Hasan Alwi, (2003) pada sebuah seminar di Jakarta.
Masa paling subur berkembangbiaknya eufemisme adalah pada masa Orba. Korupsi kata-kata merajalela. Erosi dan manipulasi kata-kata tidak terbendung. Kejujuran dan keterbukaan dalam bertutur kata tidak tampak. Aroma hipokrisi tercium dari kata-kata yang direkayasa sedemikian rupa, sehingga stabilitas nasional dapat dikontrol dan dilestarikan.
Pada saat itu kata korupsi tidak populer seperti sekarang. Sebab para pejabat, baik di ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, telah menggantinya dengan penyalahgunaan wewenang dan komersialisasi jabatan. Benar-benar penyamaran bahasa yang sempurna. Supaya masyarakat tidak gusar, digunakan ungkapan kemungkinan kurang makan atau kurang gizi untuk menyebut kelaparan. Bila ada tarif listrik atau transportasi yang naik sehingga merepotkan masyarakat, pemerintah segera meredamnya dengan ungkapan “disesuaikan”.
Lembaga pelayanan publik, misalnya kelurahan, sering meminta biaya administrasi yang sesungguhnya merupakan pungutan liar, kepada masyarakat yang memerlukan pelayanan. Ini sebagai pengganti uang suap. Maka uangkapan yang senada dengan itu pun muncul, seperti uang semir, uang pelicin, uang pengertian, dan uang tutup mulut. Sementara itu, pegawai negeri sipil (PNS) yang melanggar hukum tidak ditindak, tetapi hanya ditertibkan atau dikenai sanksi administrasi.
Kekacauan Penalaran
Penggunaan eufemisme dapat mengakibatkan munculnya kekacauan penalaran. Kata dan ungkapan dilsalahgunakan, sehingga pengertian dan makna yang semula positif bisa berubah menjadi negatif. Misalnya kata diamankan sebagai pengganti kata ditangkap.
Pada kenyataannya, penjahat yang diamankan malah merasa tidak aman karena menerima siksaan. Akibatnya tidak aneh jika terbetik berita ada seorang terduga atau tersangka yang meninggal dunia di dalam penjara atau rumah tahanan (rutan) sehingga menjadi viral di media sosial. Ini terlebih lagi bagi penjahat yang diamankan oleh masyarakat. Sebab, kemungkinan meninggal dunia karena dikeroyok atau dihakimi massa bisa saja terjadi.
Pengertian lembaga pemasyarakatan (LP) untuk mengganti penjara juga semakin kehilangan makna yang sesungguhnya positif. Sebab, ketika dipenjara di dalam LP, si narapidana malah berbuat melawan hukum dengan mengendalikan transaksi narkoba dengan pengedar dan pemakai di luar penjara. Setelah keluar dari LP, mantan narapidana tidak dapat kembali ke tengah-tengah masyarakat dengan mulus. Bahkan cenderung lebih canggih dalam mempraktikkan tindak kejahatan. Maka LP sering dicap sebagi “sekolah narapidana”–biar lebih cerdas.
Kata kebijaksanaan juga sering disalahgunakan sehingga mengalami penyimpangan makna. Karena dipakai secara keliru, kata ini digunakan untuk mengiba dan mengemis belas kasihan. Orang yang meminta kebijaksanaan justru berbuat tidak bijaksana karena telah melanggar hukum. Ungkapan bahasa Jawa, jer basuki mowo beo (untuk mencapai kesejahteraan diperlukan pengorbanan), disalahgunakan untuk merampas tanah rakyat dengan dalih pembangunan.
Ungkapan mengencangkan ikat pinggang yang pernah populer pada masa Orba, digunakan untuk mengelabui rakyat. Sebab, hanya rakyat yang harus hidup berhemat, sedangkan para pemimpin dan pejabatnya berlomba-lomba mengumpulkan harta dan kekayaan dan bergelimang kemewahan.
Itu semua bisa terjadi–meminjam istilah dari psikolog Sarlito Wirawan Sarwono (1987)–karena adanya sungkanisme dan verbalisme. Sungkanisme yaitu rasa segan, hormat, dan tidak mau menyinggung perasaan orang lain terutama atasan, penguasa, atau orang yang dianggap tua. Verbalisme adalah menggunakan kata-kata lama yang diperbarui, mencipta kata-kata baru, memberi arti kepada kata-kata yang sudah ada, sedemikian rupa sehingga orang lain tidak tersinggung.
Cenderung Anarkis
Perubahan 180 derajat terjadi ketika Oref menggantikan Orba. Hasan Alwi menyebutnya sebagai perubahan yang ekstrem. Kata-kata atau ungkapan kasar atau sarkasme yang cenderung anarkis pada masa ini pun merebak di berbagai aspek kehidupan. Tengok dan lihatlah grafiti di tembok-tembok dan poster atau spanduk yang dibawa para demonstran. Kata-kata seperti usut, seret, gantung, bubarkan, turunkan, dan jebloskan, pun bertebaran.
Suasana konflik lembaga eksekutif dan legislatif juga mengondisikan munculnya sarkasme. Presiden Abdurrahman Wahid sebelum dilengserkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mengeluarkan pernyataan yang cenderung sarkastis dan provokatif, seperti biang kerok, balas menyerang, dan pemberontakan nasional (massal).
Hal itu tentu bertentangan dengan kata-kata dan ungkapan yang juga dilontarkan oleh mantan presiden tersebut, yaitu “begitu saja kok repot” dan “memangnya saya pikirin“. Ketua MPR waktu itu, Amien Rais, paling produktif menyampaikan kata-kata dan ungkapan yang cenderung sarkastis. Ini seperti begundal, ugal-ugalan, sok ampuh, sok sakti, mencla-mencle, dan plintat-plintut.
Belum lama ini, menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, yang sering disebut sebagai tahun politik, Presiden Joko Widodo melontarkan ungkapan politikus sontoloyo dan gendruwo. Di level akar rumput merebak ungkapan kampret bagi pendukung Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto dan kecebong bagi pendukung Capres Joko Widodo.
Provokasi dan Propaganda
Rupanya suasana di era Oref memiliki kesamaan dengan suasana menjelang meletusnya Gerakan 30 September (G 30 S) oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965. Pada masa Orla agitasi, provokasi, propaganda, dan demonstrasi menjadi mode dan tontonan sehari-hari. Konflik antara orang-orang PKI yang sangat agresif kemudian menciptakan kata-kata dan ungkapan yang cenderung sarkastis untuk menyerang lawan-lawan politiknya.
Dalam Prahara Buaya (1995: 414) penyair Taufiq Ismail mengatakan bahwa sudah satu ciri perilaku Lekra/PKI dan pengikut-pegikutnya adalah membenci dengan kuat, sesuai dengan perintah D.N. Aidit yang terdapat dalam sebuah pidato resminya. Kata sifat dan kata kerja yang dipakai, memang sudah pilihan untuk mencapai efektivitas rasa benci yang tinggi, yang terus-menerus diulang-ulang bertahun-tahun lamanya. Ini antara lain, misalnya kebudayaan keparat, kebinatangan, budak kapitalis, bandit Masyumi/PSI, anjing nekolim, dan setan desa.
Suasana menjelang pilpres yang tampak dalam gegap gempitanya para pendukung capres dan cawapresnya mengunggah postingan berbau politik di berbagai media sosial, menggambarkan gejolak dinamika politik di negeri ini. Namun, sebaiknya pasca hajatan nasional, 17 April 2019, Pilpres 2019–yang sudah kita ketahui pemenangnya–para elite politik tidak melontarkan kata-kata dan ungkapan yang cenderung sarkastis. Para pemimpin nasonal diharapkan tidak menciptakan perang kata-kata-kata dan ungkapan bernada provokatif yang cenderung membuat siapa pun menjadi miris.
Bukankah peribahasa Melayu mengatakan bahwa mulutmu harimaumu? Bukankah falsafah Jawa juga mengatakan bahwa ajining diri gumantung soko lati lan pakarti (harga diri seseorang bergantung pada ucapan dan perilakunya)?
Era Media Sosial
Pada saat ini kita menyaksikan dengan mata telanjang bagaimana orang-orang secara nekat, tanpa berpikir panjang, tidak rasional, dan asal menulis dan membagi sesuatu demi keterkenalan. Kebohongan, fitnah, ghibah, hingga kebencian yang menggunung dan tak terbendung, merajalela di media sosial. Mereka beranggapan bahwa apa yang mereka tulis dan bagikan di media sosial itu tidak terpantau oleh orang lain. Lempar pisau makan, sembunyi telunjuk kanan. Ketika smartphone telah diberhalakan oleh siapa saja, emosi, jiwa, pikiran, dan hati telah tersandera. Padahal, bukankah telunjukmu harimaumu?
Untuk itu, di era media sosial sekarang ini selayaknya kita melakukan tindakan pencegahan dengan mengendalikan diri secara bersungguh-sungguh. Saring sebelum sharing apa pun yang berseliweran di media sosial agar kita tidak terjebak dalam gelombang hoaks yang kini kian merebak. Selayaknya kita tidak asal membagi (share) setiap postingan yang ada Facebook, Instagram, atau Youtube sebelum kita meneliti dengan cermat kredibiltas dan akurasi isinya. Kita juga harus berhati-hati membagikan berita yang belum tentu kebenarannya, yang diekspos oleh media daring yang belum teruji kredibilitasnya.
Belum lagi komentar-komentar yang beraroma bullying dengan kata-kata kasar yang asal menuduh, asal bicara, asal njeplak, asal beda, asal tulis, asal menyudutkan, dan asal-asal yang lain. Namun, dari sekian asal itu, tidak ada satu pun pernyataan yang dilandasi oleh argumentasi, persuasi, eksposisi, deskripsi, dan narasi yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara akal sehat dan penalaran yang kuat.
Komentar dan postingan di media sosial digunakan untuk menyampaikan sesuatu yang menyerang orang lain atau pihak lain tanpa mengindahkan sopan santun dan tata krama. Sarkasme tentu saja mewarnai postingan dan komentar di Facebook, Instagram, dan Twitter. Padahal, bukankah semua itu telah diatur di dalam undang-undang?[]
Cibinong, Februari 2021