• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Senin, 13 Oktober 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Sambatologi

Ketipu Diri Sendiri Saat Bermedsos

Nadiatul Khusnah by Nadiatul Khusnah
12 September 2021
in Cangkem, Sambatologi
0
Ketipu Diri Sendiri Saat Bermedsos

Sumber: https://smeyersu.wordpress.com/category/portfolio/electronic-media-portfolio/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Saya percaya bahwa sejak semula kita diciptakan dengan rancangan sebaik-baiknya, seindah-indahnya. Namun, keberadaan media sosial laksana negara api yang menyerang. Melalui fitur-fiturnya, kita bisa melihat hijaunya rumput tokoh ini atau selebritas itu. Sembari membandingkan keberuntungan orang lain, batin justru memandang iba terhadap diri sendiri. Padahal Tuhan sudah begitu rahman kepada kita, tapi manusia memang tak pernah puas hatinya.

Setiap kali membuka jagat maya, entah mengapa jemari saya seolah hilang kendali. Hal tersebut diperparah dengan pikiran yang gemar memanipulasi diri: lima menit lagi, ah scrolling twitternya atau lima belas menit lagi, deh, buka instagramnya. Eh, nyatanya layar ponsel masih menyala sampai dua jam kemudian.

Tidak jarang saya dibuat takjub oleh kemampuan akal dalam mengelabui diri sendiri ini. Boleh jadi, handphone memang lepas dari genggaman dan pikiran juga telah menyusun skala prioritas kegiatan untuk dirampungkan. Namun, ada saja persoalan lain—yang meski tidak penting—saya kerjakan terlebih dahulu. Seolah-olah persoalan tersebut harus diselesaikan saat itu juga, seakan jika tidak begitu, maka bumi akan berhenti berputar pada porosnya.

Kurang ajarnya, ketika perkara tersebut selesai, saya tidak lantas beranjak ke rencana awal, melainkan justru mencari kesibukan lain layaknya orang gabut. Kurang kerjaan. Padahal, tugas yang ini deadline-nya sebentar lagi. Pekerjaan yang itu mestinya diselesaikan hari ini. Kewajiban yang lain idealnya dicicil sedari sekarang sebab ada banyak capaian yang harus dituntaskan. Tetapi, agaknya pikiran memang suka ke sana kemari tanpa ada niat berhenti.

Ia terus mengada-ada, membual dengan alasan payahnya jika semua tetek-bengek itu tidak memerlukan waktu lama untuk diselesaikan. Realitanya, berulang kali saya menyadari bahwa dengan menuruti pola pikir tersebut maka napas kerja terasa memburu. Oleh karena itu, saya mencoba menarik benang merah apa penyebab dari kebiasaan buruk itu. Kesimpulannya, paling tidak ada dua hal sebagai pemicu, yaitu: stres dan gelisah.

Perihal rasa gelisah ini, saya memiliki parameter pribadi. Sederhana saja, bila saya terlalu banyak menonton story WhatsApp atau begitu lama bermain media sosial tanpa tujuan berarti, maka besar kemungkinan saya sedang tidak baik-baik saja. Dengan membuka media sosial, melihat bagaimana kehidupan orang lain berjalan, itu tandanya saya butuh hiburan agar perhatian teralihkan.

Ringkasnya, saya hanya sedang menghindar dari kecamuk batin. Yaps, sebentuk pelarian!–atau dalam bahasa ‘noraknya’ disebut “eskapisme”. Saya belum mampu (baca: mau) untuk menghadapi diri sendiri sehingga pelarian paling mudah dan cepat adalah dengan bermedia sosial tadi. Bisa dikatakan, keberadaan media sosial dewasa ini tak ubahnya pil ekstasi: membikin candu dengan kebahagiaan semu.

Paradoks sekali. Menghindari rasa gelisah dengan obat yang efek sampingnya bisa membuat semakin gundah.

Pelarian—apapun bentuknya—tidak baik jika berlebihan. Sejauh apapun berlari, kaki memiliki kapasitas sendiri. Sekeras apapun kita mengelak, hati tetap mempunyai kehendak. Ia akan mengirim sinyal, mengajak kita berbicara meski mulut kehilangan kata-kata. Ironisnya, di dunia serba digital seperti sekarang kita semakin mudah mencari pelarian. Dan, media sosial bisa menjadi ruang membahayakan bila tidak ada kontrol diri dari masing-masing pribadi.

Upaya yang saya lakukan untuk mengurangi intensitas bermain medsos salah satunya dengan menghapus beberapa aplikasi. Twitter, contohnya. Kalau Instagram, wah, saya belum bisa. Saya masih senang mainan filter jeh, hehe. Cara lainnya yang biasa saya terapkan adalah dengan menanyai diri sendiri apa tujuan saya membuka suatu aplikasi. Misalnya, saya hendak membuka WhatsApp.

Sebelum jempol beraksi, saya akan bertanya ke diri sendiri apa yang hendak dilakukan pada aplikasi tersebut. Mungkin untuk membalas pesan tadi malam, sekadar melihat beberapa story teman, atau bahkan cuma memastikan apakah si dia sudah melihat status saya (eghmm!). Apapun tujuannya, saya harus patuh aturan: jika tujuan tersebut telah terpenuhi, otomatis saya kudu hengkang dan kembali ke dunia nyata.

Tidak dipungkiri, gawai dan internet sangat memudahkan kita dalam beraktivitas. Sekarang jika ingin memesan tiket, menonton film, menulis, berjualan, membaca, belajar, dan sebagainya, bisa dilakukan hanya melalui ponsel pintar. Begitu praktis dan efisien. Sangat canggih sampai tak jarang sang pengguna kelabakan dibuatnya. Saya yakin jika segala fasilitas ini hadir tidak lain untuk memudahkan manusia.

Hanya saja, pengendalian diri juga perlu diperhatikan agar hidup tetap seimbang. Kita mempunyai kuasa penuh dalam mengarahkan serta memanfaatkan fasilitas yang ada. Dengan begitu, semoga tidak ada waktu yang terlewat dengan sia-sia, bukan?

***

Nah, menyiasati diri sendiri memang tidak mudah. Apalagi jika kaitannya dengan mengambil jarak terhadap gawai dan internet. Namun, setidaknya mari biarkan pikiran kalap sejenak tatkala lepas dari dunia maya. Biar saja ia ditarik oleh realita. Ia perlu mengambil jeda agar bisa mendengarkan, memahami, menerima, lantas menuntaskan hal-hal yang selama ini ia khawatirkan. Jika tidak begini, dengan kecanggihan teknologi mungkin kita hanya pandai bersembunyi tanpa berani menantang persoalan itu sendiri.[]

Tags: candu media sosialdopamine detoxiri karena medsoskegelisahanKetipu Diri Sendiri Saat Bermedsosnadiatul khusnahsambatologithe social dilemma
ShareTweetSendShare
Previous Post

Menjadi Perempuan Berparas Cantik, Prioritas-kah?

Next Post

Di Atas Sebuah Kertas

Nadiatul Khusnah

Nadiatul Khusnah

Perempuan asal Malang, Jawa Timur. Bisa disapa via Instagram @nadiatulkhusnah

Artikel Terkait

Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
Komentarium

Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti

26 September 2025

Ada sebuah kawasan yang tampak biasa di peta, namun warganya hidup dalam kepungan janji palsu yang manis. Mereka mendapat iming-iming...

Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
Sambatologi

Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung

30 Agustus 2025

Tiap hari, selalu saja ada berita yang buat perut sakit. Aktornya tiada lain tiada bukan adalah pihak pemerintah. Dari hulu...

Belajar Mengitari Israel
Cangkem

Belajar Mengitari Israel

19 April 2023

Kebetulan tulisan saya kemarin di rubrik ini bertali-singgung dengan Israel. Kebetulan juga saya seorang pemalas akut. Daripada cari bahan nyangkem...

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku
Cangkem

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku

29 Maret 2023

Saya ini sekarang suka nulis, tapi kalau disuruh. Disuruh empunya web ini, contohnya. Tiga tahun lalu saya nulis kayak orang...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Khaled Abou El Fadl: Islam Puritan atau Islam Moderat?

Khaled Abou El Fadl: Islam Puritan atau Islam Moderat?

16 Juni 2021
Gambar Artikel Mengapa Jamie Vardy Layak Jadi Guru Untuk Kaum Pekerja?

Mengapa Jamie Vardy Layak Jadi Guru untuk Kaum Pekerja?

20 November 2020
Mengenal Thasykubro Zadah: Sejarawan Penulis Ensiklopedia Islam

Mengenal Thasykubro Zadah: Sejarawan Penulis Ensiklopedia Islam

10 Maret 2022
Gambar Artikel Aliran Sungai Maya

Aliran Sungai Maya

10 Desember 2020
Dismorfia Kehidupan

Dismorfia Kehidupan

1 Februari 2022
Hikayat Seorang Lelaki yang Bersikejar dengan Matahari

Hikayat Seorang Lelaki yang Bersikejar dengan Matahari

16 Februari 2021
Tips Menjaga Kesehatan Mental Anak Muda di Masa Pandemi

Tips Menjaga Kesehatan Mental Anak Muda di Masa Pandemi

7 Desember 2021
Perjalanan Wahyu Nirwaktu

Perjalanan Wahyu Nirwaktu

11 Januari 2022
Ode untuk Martir Pengetahuan: Puisi-puisi Moch Aldy MA

Ode untuk Martir Pengetahuan: Puisi-puisi Moch Aldy MA

11 Januari 2023
Gambar Artikel Syahadat 12 Bar, Puisi Blues

Syahadat 12 Bar

22 Januari 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (216)
    • Cerpen (54)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.