• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Sabtu, 18 Oktober 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Sambatologi

Kehutanan yang Maha Hijau

Miftahul Huda by Miftahul Huda
20 November 2020
in Cangkem, Komentarium, Sambatologi
0
Gambar Artikel Kehutanan yang Maha Hijau

Sumber Gambar: http://www.creativeuncut.com/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Dulu, nenek moyang kita sering berlarian keluar-masuk hutan jika anak-anak mereka menderita sakit—apapun penyakitnya. Bukan memohon ilmu hitam seperti yang dituduhkan oleh ilmuwan abad ke-16, melainkan karena di hutanlah obat-obatan itu tersedia. Hingga muncullah revolusi ilmiah, sebagai tahap awal memblokade hutan, menghalangi langkah nenek moyang kita. Dan tindakan paling brutal adalah genosida terhadap dukun perempuan seperti yang dicatat Carolyn Merchant dalam The Death of Nature.

Kita perlu mengutuk pembantaian tersebut, sebab setiap ada satu kematian dukun perempuan, berarti ada satu perpustakaan obat menghilang.

Manusia tak mampu lagi menerjemahkan fungsi hutan: apa gunanya, apa manfaatnya, kenapa harus ada. Rimbun hijau yang membelukar jutaan hektar kemudian dianggap sebagai penghalang kemajuan dan simbol kegelapan (kemiskinan). Sapere aude! Seruan Immanuel Kant untuk menandari zaman pencerahan, sekaligus tanda dominasi manusia atas alam. Hutan sudah kehilangan tajinya. Ia dengan mudah digilas oleh kaki tangan modernisme yang berlindung di balik ideologi kemajuan (ideology of progress).

Lima abad telah lewat, dunia mengalami “perkembangan” pesat; phallotechnology menjadi eksekutor lingkungan-alam; bangunan meninggi menjadi tren, karena semakin menyempitnya tanah; dunia serba-cepat serta terlipatnya ruang dan waktu, adalah ciri kehidupan masyarakat modern (maju).

Semuanya maju, kecuali hutan!

Hutan (alam) ditempatkan di bawah manusia dalam hierarki kehidupan (antropomorfisme), bukan setara. Padahal, manusia adalah organisme yang berada di dalam ekosistem alam dan masuk ke dalam rantai makanan bersama organisme lainnya (radical-ecology).

Pertumbuhan hutan tidak bisa mengimbangi kecepatan manusia (antroposen) dalam menghancurkannya. Sementara itu, manusia menuntut kebutuhan pangan dan obat-obatan harus selalu terpenuhi. Setelah lelah dan terseok-seok akibat berjibaku dengan dunia yang serba cepat, dari mana pangan dan obat-obatan itu didapat?

Kita tak perlu rapat untuk menyetujui “dunia modern itu membenci warna hijau hutan”. Karena di Kalimantan sudah terbukti, bahwa dunia modern lebih mencintai warna hitam kecoklatan serta lubang menganga di tengah hutan. Asap yang menyelimuti satu provinsi berminggu-minggu adalah sisa pesta dunia modern dalam semalam.

Kita jadi mengerti kenapa Samin Surosentiko dan pengikutnya tidak mau menggunakan boso kromo versi Keraton Surakarta ketika Belanda sedang bertamu. Ya, karena mereka datang membawa misi modernisasi ke wilayah Kendeng. Sudah berapa ratus tahun berlalu, hingga sekarang masyarakat Kendeng masih memberi sikap yang sama terhadap modernisasi.

***

Manusia sering menganggap hutan (alam) sebagai benda, tidak mengakuinya sebagai subjek hidup. Terlebih ketika Judeo-Christian memerintahkan “fill the earth and subdue it”, negara Barat semakin gencar mendekonstruksi alam serta menganggap Pagan dan Nordik di Jerman sebagai kafir. Jika mau legowo membuka mata dan mendengarkan suara Pagan dan Nordik—juga aliran kepercayaan lokal—sebenarnya mereka adalah penjaga keberlanjutan alam (hutan).

Di zaman yang terlalu lanjut ini, agama-agama Semit perlu belajar dengan kepercayaan lokal soal hubungan manusia-alam. Stefanie Schnurbein telah menuntun melalui esai nya dalam buku Norse Revival berjudul Asatru – A Religion of Nature? untuk mempertimbangkan konsep aliran kepercayaan sebagai pemandu gerakan sosial. Asatru berpegang pada keseimbangan alam sebagai kesuksesan; dan menganggap modernisasi, industrialisasi, dan darwinisme sosial yang rasis sebagai bentuk kemunduran—ada sesuatu yang hilang dari diri mereka.

Ini berkaitan dengan bagaimana manusia menemukan Tuhan-nya. Asatru mengonsepkan kekuatan alam (forces of nature) sebagai perwujudan dewa. Dengan begitu, menghancurkan hutan adalah tindakan membinasakan dewa—Tuhan. Sebab, nature religion didasarkan pada pertukaran antara manusia dan alam. Alam sebagai jembatan menuju Yang Maha Agung. Jika hutan dihancurkan, maka mereka kehilangan ruang spiritual.

Manusia modern mungkin akan kesulitan menerima ini, atau menerima tapi diam-diam menghamba pada kemajuan: yang merusak biar diwakilkan orang lain saja, saya tinggal menikmati hasilnya. Tapi jalan untuk bersama-sama menyadari pentingnya fungsi hutan belum tertutup. Kita perlu sedikit merenungkan hal-hal kecil di sekitar kita sebagai instrumen memenuhi hak hutan untuk menghijau.

Misalnya, kehidupan yang lebih sehat dan alami adalah kebutuhan manusia saat ini, bukan mengencangkan sabuk industrialisasi; sebab ketersediaan air bersih ditentukan melalui itu. Kita dapat menengok pinggiran Jakarta selama pandemi yang mengalami kekurangan air bersih. Hal itu disebabkan adanya privatisasi air oleh perusahaan. Oleh karenanya, masyarakat sekitar harus mengeluarkan uang untuk bisa menikmati hanya seember air.

Garut baru saja diterjang banjir akibat praktik penggundulan hutan. Penggundulan tersebut menyebabkan serapan air hujan ke dalam tanah melambat. Lalu, krisis pangan yang kita alami sepanjang pandemi ini tak luput dari praktik deforestasi. Sementara itu deforestasi memberi dampak lanjutan, yaitu semakin dekatnya ruang hidup antara hewan dengan manusia; sekaligus menjadi awal dari zoonosis—virus Covid-19 adalah contohnya. Kemudian semua orang menganggap peristiwa tersebut sebagai bencana alam. Bukankah lebih tepat jika disebut human-made disaster? Bencana akibat ulah tangan (bikinan) manusia?

Sekarang tak ada yang bisa ditawarkan kecuali membiarkan hutan menghijau, memperbarui diri untuk kehidupan multiorganisme. Hijau melambangkan kesuburan, rimbun, dan mengandung udara bersih dan kesejukan. Ia Maha Hijau, bukan hijau layaknya terminologi revolusi hijau ala Orba; tetapi hijau sebagai kedaulatan alam dan masyarakat lokal—bukan hanya pusat dan elit. Ia juga berarti hutan yang menyediakan ruang spiritual bagi manusia, kebutuhan pangan, dan tempat rantai makanan berputar; bukan mengukuhkan pemangsa tunggal: manusia.[]

Tags: alamekologihutanisu lingkunganpelestarianpenggundulan hutansambatologi
ShareTweetSendShare
Previous Post

Pendidikan Virtual: Belajar Mandiri di Tengah Pandemi

Next Post

Serat Badar Lunar

Miftahul Huda

Miftahul Huda

Pernah jadi mahasiswa. Konsisten membuang sampah pada tempatnya.

Artikel Terkait

Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
Komentarium

Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti

26 September 2025

Ada sebuah kawasan yang tampak biasa di peta, namun warganya hidup dalam kepungan janji palsu yang manis. Mereka mendapat iming-iming...

Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
Sambatologi

Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung

30 Agustus 2025

Tiap hari, selalu saja ada berita yang buat perut sakit. Aktornya tiada lain tiada bukan adalah pihak pemerintah. Dari hulu...

Belajar Mengitari Israel
Cangkem

Belajar Mengitari Israel

19 April 2023

Kebetulan tulisan saya kemarin di rubrik ini bertali-singgung dengan Israel. Kebetulan juga saya seorang pemalas akut. Daripada cari bahan nyangkem...

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku
Cangkem

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku

29 Maret 2023

Saya ini sekarang suka nulis, tapi kalau disuruh. Disuruh empunya web ini, contohnya. Tiga tahun lalu saya nulis kayak orang...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Truk Berlin: Bincang Cerpen Karya Hassan Blasim

Truk Berlin: Bincang Cerpen Karya Hassan Blasim

26 Mei 2023
Gambar Esai Advaitam Tagore dan Anasir Subtil D. Zawawi Imron Advaitam Te

Advaitam Tagore dan Anasir Subtil D. Zawawi Imron

14 Januari 2021
Gambar Artikel Wartawan Ala Cak Rusdi

Wartawan Ala Cak Rusdi

30 April 2021
Gambar Artikel Wahdatul Wujud: Sebuah Dialog Singkat Islam-Kristen

Wahdatul Wujud: Sebuah Dialog Singkat Islam-Kristen

10 Januari 2021
Gambar Artikel Puisi Solilukoi Seorang Koruptor

Solilokui Seorang Koruptor

31 Januari 2021
Cerpenis Itu Bernama Raa

Cerpenis Itu Bernama Raa

15 September 2021
Nanda dan Kisah Pilunya

Nanda dan Kisah Pilunya

19 Juli 2021
Gambar Artikel Tabiat Arunika dan Kotak Pandora

Tabiat Arunika dan Kotak Pandora

24 November 2020
Serba-serbi Kali

Serba-serbi Kali

1 Maret 2021

Jalan Sunyi dengan Ribuan Bunyi

24 Oktober 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (216)
    • Cerpen (54)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.