• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Senin, 25 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Sambatologi

Kehutanan yang Maha Hijau

Miftahul Huda by Miftahul Huda
20 November 2020
in Cangkem, Komentarium, Sambatologi
0
Gambar Artikel Kehutanan yang Maha Hijau

Sumber Gambar: http://www.creativeuncut.com/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Dulu, nenek moyang kita sering berlarian keluar-masuk hutan jika anak-anak mereka menderita sakit—apapun penyakitnya. Bukan memohon ilmu hitam seperti yang dituduhkan oleh ilmuwan abad ke-16, melainkan karena di hutanlah obat-obatan itu tersedia. Hingga muncullah revolusi ilmiah, sebagai tahap awal memblokade hutan, menghalangi langkah nenek moyang kita. Dan tindakan paling brutal adalah genosida terhadap dukun perempuan seperti yang dicatat Carolyn Merchant dalam The Death of Nature.

Kita perlu mengutuk pembantaian tersebut, sebab setiap ada satu kematian dukun perempuan, berarti ada satu perpustakaan obat menghilang.

Manusia tak mampu lagi menerjemahkan fungsi hutan: apa gunanya, apa manfaatnya, kenapa harus ada. Rimbun hijau yang membelukar jutaan hektar kemudian dianggap sebagai penghalang kemajuan dan simbol kegelapan (kemiskinan). Sapere aude! Seruan Immanuel Kant untuk menandari zaman pencerahan, sekaligus tanda dominasi manusia atas alam. Hutan sudah kehilangan tajinya. Ia dengan mudah digilas oleh kaki tangan modernisme yang berlindung di balik ideologi kemajuan (ideology of progress).

Lima abad telah lewat, dunia mengalami “perkembangan” pesat; phallotechnology menjadi eksekutor lingkungan-alam; bangunan meninggi menjadi tren, karena semakin menyempitnya tanah; dunia serba-cepat serta terlipatnya ruang dan waktu, adalah ciri kehidupan masyarakat modern (maju).

Semuanya maju, kecuali hutan!

Hutan (alam) ditempatkan di bawah manusia dalam hierarki kehidupan (antropomorfisme), bukan setara. Padahal, manusia adalah organisme yang berada di dalam ekosistem alam dan masuk ke dalam rantai makanan bersama organisme lainnya (radical-ecology).

Pertumbuhan hutan tidak bisa mengimbangi kecepatan manusia (antroposen) dalam menghancurkannya. Sementara itu, manusia menuntut kebutuhan pangan dan obat-obatan harus selalu terpenuhi. Setelah lelah dan terseok-seok akibat berjibaku dengan dunia yang serba cepat, dari mana pangan dan obat-obatan itu didapat?

Kita tak perlu rapat untuk menyetujui “dunia modern itu membenci warna hijau hutan”. Karena di Kalimantan sudah terbukti, bahwa dunia modern lebih mencintai warna hitam kecoklatan serta lubang menganga di tengah hutan. Asap yang menyelimuti satu provinsi berminggu-minggu adalah sisa pesta dunia modern dalam semalam.

Kita jadi mengerti kenapa Samin Surosentiko dan pengikutnya tidak mau menggunakan boso kromo versi Keraton Surakarta ketika Belanda sedang bertamu. Ya, karena mereka datang membawa misi modernisasi ke wilayah Kendeng. Sudah berapa ratus tahun berlalu, hingga sekarang masyarakat Kendeng masih memberi sikap yang sama terhadap modernisasi.

***

Manusia sering menganggap hutan (alam) sebagai benda, tidak mengakuinya sebagai subjek hidup. Terlebih ketika Judeo-Christian memerintahkan “fill the earth and subdue it”, negara Barat semakin gencar mendekonstruksi alam serta menganggap Pagan dan Nordik di Jerman sebagai kafir. Jika mau legowo membuka mata dan mendengarkan suara Pagan dan Nordik—juga aliran kepercayaan lokal—sebenarnya mereka adalah penjaga keberlanjutan alam (hutan).

Di zaman yang terlalu lanjut ini, agama-agama Semit perlu belajar dengan kepercayaan lokal soal hubungan manusia-alam. Stefanie Schnurbein telah menuntun melalui esai nya dalam buku Norse Revival berjudul Asatru – A Religion of Nature? untuk mempertimbangkan konsep aliran kepercayaan sebagai pemandu gerakan sosial. Asatru berpegang pada keseimbangan alam sebagai kesuksesan; dan menganggap modernisasi, industrialisasi, dan darwinisme sosial yang rasis sebagai bentuk kemunduran—ada sesuatu yang hilang dari diri mereka.

Ini berkaitan dengan bagaimana manusia menemukan Tuhan-nya. Asatru mengonsepkan kekuatan alam (forces of nature) sebagai perwujudan dewa. Dengan begitu, menghancurkan hutan adalah tindakan membinasakan dewa—Tuhan. Sebab, nature religion didasarkan pada pertukaran antara manusia dan alam. Alam sebagai jembatan menuju Yang Maha Agung. Jika hutan dihancurkan, maka mereka kehilangan ruang spiritual.

Manusia modern mungkin akan kesulitan menerima ini, atau menerima tapi diam-diam menghamba pada kemajuan: yang merusak biar diwakilkan orang lain saja, saya tinggal menikmati hasilnya. Tapi jalan untuk bersama-sama menyadari pentingnya fungsi hutan belum tertutup. Kita perlu sedikit merenungkan hal-hal kecil di sekitar kita sebagai instrumen memenuhi hak hutan untuk menghijau.

Misalnya, kehidupan yang lebih sehat dan alami adalah kebutuhan manusia saat ini, bukan mengencangkan sabuk industrialisasi; sebab ketersediaan air bersih ditentukan melalui itu. Kita dapat menengok pinggiran Jakarta selama pandemi yang mengalami kekurangan air bersih. Hal itu disebabkan adanya privatisasi air oleh perusahaan. Oleh karenanya, masyarakat sekitar harus mengeluarkan uang untuk bisa menikmati hanya seember air.

Garut baru saja diterjang banjir akibat praktik penggundulan hutan. Penggundulan tersebut menyebabkan serapan air hujan ke dalam tanah melambat. Lalu, krisis pangan yang kita alami sepanjang pandemi ini tak luput dari praktik deforestasi. Sementara itu deforestasi memberi dampak lanjutan, yaitu semakin dekatnya ruang hidup antara hewan dengan manusia; sekaligus menjadi awal dari zoonosis—virus Covid-19 adalah contohnya. Kemudian semua orang menganggap peristiwa tersebut sebagai bencana alam. Bukankah lebih tepat jika disebut human-made disaster? Bencana akibat ulah tangan (bikinan) manusia?

Sekarang tak ada yang bisa ditawarkan kecuali membiarkan hutan menghijau, memperbarui diri untuk kehidupan multiorganisme. Hijau melambangkan kesuburan, rimbun, dan mengandung udara bersih dan kesejukan. Ia Maha Hijau, bukan hijau layaknya terminologi revolusi hijau ala Orba; tetapi hijau sebagai kedaulatan alam dan masyarakat lokal—bukan hanya pusat dan elit. Ia juga berarti hutan yang menyediakan ruang spiritual bagi manusia, kebutuhan pangan, dan tempat rantai makanan berputar; bukan mengukuhkan pemangsa tunggal: manusia.[]

Tags: alamekologihutanisu lingkunganpelestarianpenggundulan hutansambatologi
ShareTweetSendShare
Previous Post

Pendidikan Virtual: Belajar Mandiri di Tengah Pandemi

Next Post

Serat Badar Lunar

Miftahul Huda

Miftahul Huda

Pernah jadi mahasiswa. Konsisten membuang sampah pada tempatnya.

Artikel Terkait

Belajar Mengitari Israel
Cangkem

Belajar Mengitari Israel

19 April 2023

Kebetulan tulisan saya kemarin di rubrik ini bertali-singgung dengan Israel. Kebetulan juga saya seorang pemalas akut. Daripada cari bahan nyangkem...

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku
Cangkem

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku

29 Maret 2023

Saya ini sekarang suka nulis, tapi kalau disuruh. Disuruh empunya web ini, contohnya. Tiga tahun lalu saya nulis kayak orang...

Dear Orang Tua: Tolong Jangan Perlakukan Anak Semena-mena!
Komentarium

Dear Orang Tua: Tolong Jangan Perlakukan Anak Semena-mena!

9 April 2022

Belum lama ini timeline media sosial saya sempat dilewati sebuah berita soal seorang ayah yang membanting laptop anaknya. Hal tersebut...

Bias Kontol dan Efek Sampingnya yang Menyebalkan
Cangkem

Bias Kontol dan Efek Sampingnya yang Menyebalkan

21 Maret 2022

Silakan kalau anda ingin memfitnah saya sebagai orang yang sedang misuh atau berkata kasar sejak dari judul. Tapi kontol sebagai...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Di Atas Sebuah Kertas

Di Atas Sebuah Kertas

13 September 2021
Rumit Melilit Silit

Rumit Melilit Silit

24 Januari 2022
Proses Menuju dan Lika-Liku Menjalani Hidup di Jerman

Proses Menuju dan Lika-Liku Menjalani Hidup di Jerman

17 Desember 2021
Bumi Rantau dan Hilangnya Pengharapan

Bumi Rantau dan Hilangnya Pengharapan

8 Desember 2021
Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

28 Juli 2025
Belajar Mengitari Israel

Belajar Mengitari Israel

19 April 2023
Rindu Bersaung di Senaru

Rindu Bersaung di Senaru

10 Maret 2021
Sebelum Lelap

Sebelum Lelap

29 Oktober 2021
Pekerja Malam

Pekerja Malam

28 April 2021
Gambar Artikel Jahm bin Shafwan: Sosok Ekstremis Klasik di Islam

Jahm bin Safwan: Sosok Ekstremis Klasik di Islam

28 Desember 2020
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (213)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (19)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.