Sejak kecil, kata “harapan” selalu ada dan terus berlipat ganda. Entah di bangku sekolah, di kamar lusuh, di pelacuran, di pinggiran jalan, bahkan di kedua selangkangan orang yang telah selesai menembakkan cairan kental ke rahim pasangannya.
Seberapa kuatnya harapan? Harapankah yang membawa kita, ataukah kita yang dibawa oleh harapan? Mari beromongkosong, sekosong-kosongnya!
Adakah di dunia ini orang yang hidup tanpa harapan? Suatu hil yang mustahal nampaknya. Selama masih bernafas, selama itu pula harapan selalu bernas. Seandainya saja kata ‘harapan’ tak ada di muka bumi ini, mungkin saja manusia menjadi apatis dalam level akut. Tapi, seapatis-apatisnya seseorang, dia masih punya harapan, lho. Harapan untuk ini, itu, atau ani dan anu. Itulah senjata pusaka manusia sejagad raya: “harapan”.
Menurut ‘keformalan’ KBBI−yang berasal dari harapan orang-orang terdahulu agar bahasa kita menjadi rapi dan baku−harapan adalah suatu keinginan, supaya mewujud kenyataan. Keinginan adalah harapan; harapan adalah keinginan. Lho, kok sama? Iya, memang sepatutnya sama. Jika ada yang mengatakan berbeda pun tak masalah. Sudah jelas, bukan, bahwa perbedaan adalah rahmat?
Harapan sejak dahulu kala memang romantis sekaligus tragis. Lihat saja orang tua yang memiliki anak, mereka mengharapkan anak mereka kelak menjadi anak yang baik, maka mereka menghujani kasih sayang terhadap anaknya. Namun terkadang sang anaklah yang menghindar dari hujan tersebut dengan payung kenakalan dan kecerobohan. Tak cukup itu, demi mewujudkan harapan mereka terhadap anak, keringat dan sakit bukan suatu hal yang diperhitungkan lagi bagi mereka. Sebab, harapan terhadap anak adalah segala-galanya dan kalau perlu sehabis-habisnya.
Selain romantis, harapan juga menyimpan nuansa tragis. Serupa dengan revolusi Bolshevik, berdarah-darah, kebak adegan saling tusuk. Darah dan air mata bertukar kisah dengan tanah. Harapan kaum revolusioner yang ingin menumbangkan rezim Tsar yang dikenal diktator otoriter memang berhasil, namun apakah darah dan nyawa manusia yang teregang juga bagian dari harapan? Kalau iya, sebanal itukah harapan? Kalau tidak, tak bisakah darah dan nyawa manusia dijaga seketat mungkin, agar tak ada yang tercerabut dengan isak haru dan tak ada kucuran merah yang berakhir dungu? Mampus dalam kesia-siaan.
***
Dalam kamus kehidupan, harapan sudah seperti bagian dari tubuh manusia. Ke arah manapun orang melangkah, di dalamnya selalu ada harapan. Harapan itu pula yang terkadang melegitimasi kejahatan. Sebut saja Si A, demi mewujudkan harapannya agar lulus tepat waktu dengan nilai memuaskan, saat ujian dia menyontek dan membuka catatan kecil yang berisi materi-materi pelajaran yang sedang diujikan. Bukankah itu sebuah tindakan korupsi dalam skala kecil? Korupsi jawaban agar mendapat nilai baik.
Sekarang kita meluncur ke rumah sakit. Tengoklah sejenak, adakah dari satu pasien saja yang tak ingin sehat? Kalau tak ingin sehat, ngapain pergi ke rumah sakit, hehehe…. Sudah gamblang, ‘kan, di sana adalah tempat orang-orang yang memiliki satu harapan, satu tekad, dan satu tujuan: sehat.
Tapi ada juga orang yang sudah tak memiliki harapan. Hidupnya sudah dianggapnya selesai dari segala tetek-bengek. Orang semacam itu biasanya melepaskan nyawa dari raga secara paksa dan brutal. Mungkin karena bosan dengan meminum kopi. Atau bisa juga sudah tak memiliki persediaan kopi di dapurnya. Kok bisa kopi? Iya, kopi. Albert Camus saja pernah bilang: “haruskah aku bunuh diri, atau minum secangkir kopi?” Bagaimana dia tidak bunuh diri, wong cangkir saja tak punya, apalagi kopi. Tak heran jika dia lebih memilih langkah pamungkas dengan bunuh diri.
Lagi-lagi sebab harapan. Punya harapan, gelisah. Tak punya harapan, salah. Lantas, harus bagaimana? Sepertinya manusia harus benar-benar bisa memakai pakaian yang tepat. Pakaian serupa dengan harapan. Jika pergi ke gunung tapi menggunakan pakaian kondangan, pasti tak akan sinkron. Ora matching. Seperti itu pula harapan, harus diposisikan sesuai dengan kenyataan.
Memang, mari kita akui, bahwa tak ada yang mustahil di dunia ini. Tuhan Maha Segalanya. Maha Berkehendak. Maha Pengatur yang tak akan luntur. Tapi, manusia juga dianugerahi akal untuk berpikir. Sah-sah saja jika ingin memasrahkan segalanya pada Tuhan, sebab beberapa abad silam juga ada aliran dalam Islam yang masyhur kita sebut dengan Jabbariyah, yang meyakini bahwa segala-galanya sudah diatur takdir. Namun bukan suatu hal yang perlu dan wajib untuk kita amini. Apapun itu, manusia diberi akal untuk berpikir, bukan untuk menjadi sampah yang hanyut di sungai kesengsaraan.
Eksistensi harapan memang suatu waktu perlu ditampilkan. Agar apa? Agar memiliki kualitas hidup yang lebih luhur. Dalam filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre, eksistensi mendahului esensi. Tapi tidak berlaku dalam bab harapan. Adanya harapan bermula dari esensi yang kemudian menimbulkan eksistensi. Eksistensi tampak sebagai usaha dan perjuangannya dalam mewujudkan harapan.
Dalam meng-eksistensikan harapan, jangan lupa terhadap jeda. Pause sejenak, mengambil nafas dan meminum kopi, lalu benturkan harapan dengan kenyataan yang ada. Di situlah mulai lagi proses meng-esensikan segala harapan itu. Agar tak berhenti sia-sia dan basi menjadi sisa-sisa.
Jadi, bagaimana manusia dengan harapan-harapannya? Cukup gampang. Carilah kertas lusuh dan berdebu, bungkus harapanmu dalam kertas itu dengan pena-pena yang kurang gizi. Usai dibungkus, suatu saat bungkusan itu akan berbunyi dan bergerak. Menggerakkan hati, pikiran, dan tindakan manusia yang alpa dari spiritual.
Oleh karenanya, sesekali harapan perlu juga digantungkan pada Tuhan. Sebab, menggantung harapan pada manusia hanya menjadikan harapan itu jatuh terlempar sia-sia, lalu terkubur sedalam-dalamnya tertindih oleh harapan baru yang tak pernah selesai. Jika tak mampu lagi berharap, santai saja. Tuhan menciptakan kedua mata dengan airnya yang bersumber dari kegelisahan. Jadi, merataplah! Menangislah! Tanpa ratap, harap hanyalah omong-kosong yang berserakan di tong sampah. Tanpa ratap, harap hanyalah anjing kerempeng yang berdecak keras beringas.
Sampai sini, inti dari tulisan di atas adalah: AKU KESAL DENGAN HARAPAN!