Dunia yang itu-itu saja, ternyata menghasilkan sesuatu yang begini, begitu, ini, itu dan anu. Sama halnya perihal patah hati. Patah hati pasti ya itu-itu saja. Tapi, output-nya? Jelas banyak cerita yang begini, begitu, bahkan sangat anu. Fenomena yang sangat unik sekaligus miris.
“Yang bergerak jarinya, yang menyala gawainya, eh, yang sakit malah hatinya.” Ada pula “Yang dilihat gawainya, yang melihat air matanya.” Sial bin mampus kau dibuatnya.
Patah hati banyak disebabkan oleh kehilangan yang kawin dengan waktu untuk menyuburkan janin yang bernama kenangan. Patah hati lalu menyebabkan lenyapnya kesenangan; kebahagian yang lapar; dan senyuman yang usang. Ugal dan janggal.
Manusia-manusia yang mengalami patah hati sering kali terjebak pada banjir yang bersumber dari matanya sendiri. Selain itu, jebakan yang sangat mendominasi adalah ruang kenang yang ada di balik kening manusia itu sendiri. Jebakan-jebakan yang lebih tepatnya disebut fatamorgana. Fatamorgana kekasih; fatamorgana mantan lebih tepatnya.
Pada fase patah hati ini, manusia benar-benar ditelanjangi akan kebodohannya. Banyak yang mendadak goblok karena patah hati. Hal ini pula yang membuat kita semakin mengamini bahwa sebagai manusia, kita hanya bisa mencintai, bukan memiliki, apalagi menguasai. Betapa lemahnya manusia.
Seiring berjalannya waktu, manusia banyak yang berhasil menjahit luka pada patah hatinya dengan rajutannya sendiri maupun lewat bantuan orang lain. Namun, lagi-lagi yang namanya kenangan selalu datang tanpa kenal ruang dan waktu. Kenangan hadir dengan tawa angkuhnya. Kenangan hadir dengan membawa garam untuk ditaburkan di atas luka yang belum benar-benar sembuh. Kenangan itu pula yang menjadikan istilah “gagal move on” menjadi mantra agung bagi para pelaku patah hati.
Jalan panjang manusia yang menapaki rimba patah hati memang sangat suram. Belum lagi jika terjerat oleh akar pohon kesedihan−yang jika diputus justru semakin menjerat. Hingga pilihan terakhir adalah memberikan jiwa kita seutuhnya pada akar itu, lalu memberi jeda pada nafas kesengsaraan agar ia pernah menjadi salah satu bagian penting dalam roda hidup manusia.
Jika saja di dunia ini ada yang membuka “Jasa Pengobatan Patah Hati” atau “Jasa Menjahit Luka”, bisa dipastikan para pekerjanya tak akan memiliki waktu luang sedikit pun. Sebab luka, patah hati, kesedihan, dan kenangan adalah makhluk yang melampaui waktu dan sarat akan rindu. Ya, rindu terhadap siapa saja yang ingin disasarnya. Tak pandang usia dan besaran dosa. Mereka semua adalah lawan cinta yang paling sukar untuk ditaklukkan. Bahkan, dalam keadaan tak sadar (tidur) saja mereka masih sempat-sempatnya hadir melalui kembang yang mekar di saat senja ketidaksadaran (mimpi).
Parahnya, hal itu akan berkelanjutan ketika manusia bangun dari tidurnya. Tak jarang lelehan air mata meluap di saat-saat wajah masih kusut dan mata masih belum purna menyala.
Lantas, akankah patah hati terus abadi menghantui manusia-manusia yang yang sedang meramaikan jagat asmara?
Sebelum mekar cinta menjadi nyenyak dibunuh waktu, alangkah baiknya cinta itu segera dijerat oleh rindu. Jangan biarkan asmara ringkih ditendang rasa hampa. Jika terlanjur patah hati, ya sudah. Mau diapa-apakan, patah hati, ya, tetap patah hati.
Patah hati terkadang menjadi kanvas yang terbentang luas. Manusia-manusia yang baru saja mampus diputus cintanya seketika menjadi pelukis yang membawa kuas, dengan ragam warna catnya, yaitu: luka, kenangan, kesedihan, dan ingatan tentang mantan. Tak heran jika seseorang yang sedang mengkhidmati kehilangan banyak yang menjadi seniman. Karena kehilangan merupakan seni mengelaborasikan luka, kenangan, kesedihan, dan ingatan tentang mantan dengan gradasi waktu yang semakin pilu menjadi sebuah masterpiece di atas kanvas patah hati.
Anehnya, hingga saat ini obat patah hati yang benar-benar mujarab belum ditemukan. Padahal sejak ribuan abad lalu teramat banyak manusia-manusia yang telah mengalami patah hati dan kehilangan. Meski ada yang mengaku patah hatinya telah terobati oleh datangnya orang baru, hal itu bisa saja jenis cinta yang termasuk dalam kategori “Eros”. Sebuah cinta yang berdasarkan ketertarikan fisik. Sedangkan fisik sendiri rawan punah ditelan takdir.
Ada pula yang hadir untuk menjadi penjahit luka dengan membawa sekantong cinta. Tapi lagi-lagi cinta yang dibawanya hanyalah cinta yang “Ludus”. Hanya untuk bersenang-senang tanpa komitmen. Patah hati yang berasal dari cinta “Agape” (cinta yang tulus) memang rawan menjadikan manusia seketika bodoh. Rawan menjadikan manusia terperangkap pada jurang kesedihan yang tak berujung.
Jika memang begini adanya, alangkah baiknya patah hati perlu dijadikan sebuah perayaan rutin. Entah kapan perayaannya, patah hati adalah hari raya bagi kenangan dan kehilangan. Merayakan patah hati juga sebuah seni, yaitu seni menikmati kesedihan dan keterpurukan. Jadi, siapkah kita menikmati patah hati? Siapkah kenangan dan kehilangan kita berhari raya? Selamat merayakan, selamat menggetarkan mantan.[]