Bagi warga negara yang pernah punya memori traumatis terhadap umat Muslim, kiranya bagaimana tanggapan mereka jika musti berjumpa kembali dengan sesuatu yang ‘berbau’ Islam? Terlebih, jika mereka punya pengalaman beberapa warganya pernah diculik dan dibunuh oleh Taliban di Afganistan dan menghadapi gelombang Islamophobia beberapa tahun terakhir. Dan inilah yang sedang dialami Korea Selatan. Di negeri gingseng itu, untuk pertama kalinya Museum Nasional Korea di Seoul menyelenggarakan pameran seni Islam jangka panjang yang mencakup perkembangan 1400 tahun dari abad ke-7 hingga abad ke-19: “Islamic Art: A Journey of Splendor” (“Seni Islam: Sebuah Perjalanan Gemilap”).
Terbesit pertanyaan di benak saya. Bagaimana menampilkan seni Islam bagi warga dari negara yang kurang mengenal Islam, minim interaksi dengan orang Muslim, dan tidak terpengaruh di dalam kehidupan sehari-harinya? Apakah seni Islam akan cukup menarik minat warga disela-sela kesibukan kerja dan tuntutan dunia modern? Belum termasuk kenangan traumatis dan prasangka kolektif sekian tahun belakangan ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memunculkan gaung lebih lanjut: apakah seni bisa menjadi jembatan guna membangun dialog lebih jauh?
Menariknya, peristiwa kesenian ini adalah juga pertama kalinya di Korea Selatan memakai ruang pameran permanen dengan isi pameran bertema Islam. Pameran yang berlangsung sejak 22 November 2025 hingga 11 Oktober 2026 ini adalah hasil kerjasama dengan Museum Seni Islam Doha, Qatar. Isinya menampilkan 83 karya, termasuk naskah Al-Qur’an awal, sejumlah manuskrip, perhiasan, dan keramik.
Keindahan Sejarah 1400 Tahun

Pameran seni Islam 1400 tahun ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama, “Seni Dunia Islam” menampilkan inti-sari seni Islam, yaitu agama Islam itu sendiri. Di sini ditampilkan naskah Al-Qur’an dan unsur-unsur arsitektur yang menghiasi masjid, misalnya: panel mihrab, lampu masjid, karpet dan sajadah, serta seni kaligrafi.

Bagian kedua, “Berkembangnya Budaya Islam” menyoroti bagaimana budaya Islam, yang berasal dari jazirah Arab, berpadu dengan budaya lokal di sejumlah wilayah dan berkembang menjadi tradisi budaya yang dinamis. Bagian ini menampilkan sejumlah peralatan pengetahuan yang dikembangkan oleh cendekiawan Islam, seperti peralatan yang digunakan untuk mengamati langit dan bintang. Terdapat pula sejumlah barang keramik dan logam yang dibuat oleh para perajin ulung dari berbagai tempat. Ini menunjukkan keselarasan seni Islam dengan tradisi dan teknis artistik lokal yang membentuk budaya khas dunia Islam.


Bagian terakhir, “Manuskrip Kerajaan dan Budaya Islam”. Isinya menampilkan beberapa manuskrip yang mengangkat tema dunia seni dan keilmuan yang berkembang pesat di lingkungan kerajaan-kerajaan Islam. Sebagai contoh, di dalam kekaisaran Safawi di Iran ada banyak karya manuskrip yang menggambarkan kehidupan di lingkungan istana. Manuskrip-manuskrip yang dibuat di bawah pesanan dan perlindungan kekaisaran tersebut merupakan catatan pengetahuan yang menggambarkan warisan budaya yang memadukan agama, sastra, sejarah, dan ilmu pengetahuan.

Pameran juga menampilkan “Ruang Tamu Damaskus”, yang merupakan replika digital dari ruang tamu sebuah rumah milik keluarga berada, yang tinggal di Damaskus (Suriah) pada abad ke-19. Damaskus pada masa itu adalah kota pusat budaya yang menjadi titik temu beragam tradisi budaya Islam.


Pameran ini tentu penting dalam memperkenalkan perkembangan seni Islam lewat 83 karya yang ditampilkan. Karya-karya tersebut dari berbagai wilayah, seperti dari Iran, Tiongkok, Eropa. Sayangnya, dari 83 karya itu tidak ada satu pun yang dari wilayah Asia Tenggara, terutama Indonesia. Barangkali untuk berikutnya, Museum Nasional Indonesia perlu bekerja sama dengan Museum Nasional Korea untuk menampilkan karya-karya seni khas Indonesia di Korea.
Meskipun Islam masih asing bagi banyak orang Korea, kehadiran budaya Islam perlahan berkembang di dalam masyarakat Korea. Dari sekitar 2 juta warga negara asing di negara ginseng, diperkirakan sekitar 300 ribu adalah Muslim, termasuk di dalamnya warga negara Indonesia. Di Korea, ada 5 masjid utama di 5 kota besar: Seoul, Busan, Gwangju, Jeonju, dan Ansan. Juga ada puluhan masjid lainnya yang tersebar di kota-kota kabupaten. Sejumlah masjid didirikan dan diurus oleh orang Indonesia, yang sebagian besar adalah buruh migran yang bekerja di sektor manufaktur, pertanian, dan perikanan. Jadi, kehadiran orang Indonesia lumayan penting di Korea. Kiranya mereka bisa menjadi wakil yang memperkenalkan budaya dan seni khas Indonesia, di dalam interaksi kehidupan sehari-hari di Korea.[]














