• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Kamis, 21 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Milenial Gaya Hidup

Tips Memakai Kacamata Kehidupan

Heri Bayu Dwi Prabowo by Heri Bayu Dwi Prabowo
20 Februari 2021
in Gaya Hidup
0
Tips Memakai Kacamata Kehidupan

https://unsplash.com/photos/N82NeNvf5DM

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Menangkap realitas kehidupan secara esensial adalah aktivitas penuh kebahagiaan. Yang menjadi pertanyaannya, apakah kita bisa dan mampu menangkap esensi dari realitas itu tersendiri? Kalaupun bisa, bagaimanakah caranya? Dan bagaimana pula jika kita tidak bisa menangkap sebuah realitas?

Tenang, janganlah khawatir dan jangan pula bersedih hati. Tuhan Seluruh Alam telah memberi sertifikasi khusus bagi kita –manusia– dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan-Nya. Secara eksplisit tertuang dalam kalimat cinta-Nya pada Qs. At-Tin (95): 4.

“Sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”

Contoh aplikatifnya seperti Rabi’ah al-Adawiyah (713-801 M), Ia rela hidup dalam keadaan miskin secara materi, bersikap zuhd, dan ungkapan-ungkapan penuh cinta kepada Tuhannya terlantunkan pada beberapa bait dari syair-syairnya (Jalaludin 2020)

“Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri. Aku gelisah, apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau tolak hingga aku merasa sedih. Demi Kemahakuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan selama aku Engkau beri hayat. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi, karena cintaku pada-Mu telah memenuhi hatiku”.

Struktur Kacamata

Analogi kacamata, yang saya rasa tepat untuk menggambarkannya. Kita tahu bersama, jika penderita rabun dekat (hipermetropi) dapat ditolong dengan kacamata berlensa positif (cembung), sedangkan penderita rabun jauh (miopi) dapat ditolong dengan kacamata berlensa minus (cekung). Apa jadinya jika penderita hipermetropi memakai lensa minus, atau sebaliknya penderita miopi memakai lensa positif? Bukan hanya blur, pusing kepala jadinya. Begitu pula jika kita memakai lensa kehidupan yang kurang sesuai, esensi kehidupan tidak bisa tertangkap dengan baik, dan atau kita yang tidak mampu menangkapnya dengan jelas, blur.

Di sisi lain, struktur kacamata bukan hanya sebatas lensa, ada bagian lain yang turut andil memfungsikan kegunaan kacamata sebagai alat bantu melihat. Namun, dari sekian banyak bagian yang membentuk kacamata, ada satu bagian paling urgen, vital dan tidak bisa tidak kehadirannya harus ada, yakni bagian lensa. Penggunaan lensa yang sesuai, berkualitas baik dan penggunaannya secara tepat dalam kacamata, akan memberikan efek penglihatan secara baik, jernih dan berkualitas terhadap objek penglihatan. Jadi, kehadiran lensa pada kacamata, mulai dari pemilihan, penerapan dan penggunaannya sesuai kebutuhan manusia adalah keniscayaan.

Nah, dalam diri manusia pun tak ubahnya struktur kacamata, terdapat sekian banyak bagian yang terkait atau terhubung satu sama lain. Dimana keterhubungan itu membentuk satu tujuan sebagaimana kacamata, yakni membidik objek secara baik, jernih dan berkualitas. Adapun bagian vital pada diri manusia adalah bagian yang biasa disebut dengan qalb (hati). “Jika qalb-nya baik, maka baiklah bagian lain pada diri manusia. Sebaliknya, jika qalb nya buruk, maka buruklah bagian lain pada diri manusa”

Begitu urgennya qalb ini, sampai terdapat kisah bahwa ada orang masuk surga (paradise) hanya berbekal qalb yang bersih. Lalu, bagaimanakah caranya agar qalb kita mencapai derajat demikian, qalbun salim (hati yang selamat) ? Jawabannya tentu banyak cara dan jalan yang dapat ditempuh kepadanya, salah satunya, bagi seorang akademisi haruslah dapat mengetahui, memahami dan memaknai betul terhadap wordview (pandangan alam) yang ada, terkhusus pada worldview yang kita pakai.

Varian Worldview

Pandangan alam (worldview), diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap objek pandangannya. Adapun lingkup objek pandangan meliputi alam, Tuhan dan manusia. Singkatnya, sebagian varian worldview dapat tergambarkan melalui konsep berikut

Pertama, worldview terhadap alam. Adapun dalam sejarah perkembangan manusia, alam sebagai objek kajian dapat terklasifikasikan menjadi tiga pandangan atau aliran, yakni pandangan monoisme, dualisme dan politeisme. Monoisme menganggap alam terbentuk dari satu unsur saja, entah unsur itu berupa air saja (Thales, 642-546 SM), api saja (Heraclitus, 540-480 SM) atau udara saja (Anaximenes, 490-430 SM). Sedangkan dualisme menganggap alam terbentuk dari dua unsur, terwakili oleh Plato (427-347 SM) dan Thomas Hyde (1700). Terakhir, politeisme menganggap alam terbentuk dari banyak unsur, yang terwakili oleh bangsa Yunani terhadap kepercayaan kepada berbagai macam dewa-dewa (Marliani 2014).

Kedua, worldview terhadap Tuhan. Hampir sama dengan worldview terhadap alam, hanya saja cara pandang terhadap Tuhan terklasifikasikan menjadi dua pandangan atau aliran, monoteisme dan politeisme. Monoteisme yang menganggap Tuhan itu satu, tanpa utak-atik dan campur tangan dari pihak lain, sedangkan politeisme menganggap Tuhan itu banyak, atau mempunyai keluarga, atau mempunyai titisan, dan term lain yang sepadan.

Ketiga, worldview terhadap manusia. Pada objek manusia, banyak konsepsi terhadapnya, diantaranya terdapat klasifikasi ketika memandang manusia menjadi empat pandangan atau madzhab, yakni

Madzhab fatalis-pasif, madzhab yang menyatakan bahwa jati diri seseorang sudah menjadi ketetapan Tuhan (‘ilmu azali), dimana jati diri dapat dialirkan kepada ketururannya secara kodrati, dan keberadaan seseorang di muka bumi bagaikan wayang dalam sebuah pentas pertunjukan;

Madzhab netral-pasif, menyatakan bahwa jati diri seseorang pada mulanya bersifat kosong, lingkungan luar lah yang mempengaruhi sekaligus membentuk jati diri seseorang, oleh karenanya jati diri seseorang dapat terdeteksi dari teman dekatnya dalam bergaul;

Madzhab positif-aktif, menegaskan bahwa jati diri seseorang itu sesuai fitrah (cenderung) kepada kebaikan (hanif), dan jika bersikap negatif, maka itu merupakan pengaruh dari luar dan bersifat aksidental; dan

Madzhab dualis-aktif, menyatakan bahwa jati diri seseorang bersifat ganda, yakni cenderung kepada kebaikan dan kejahatan, hal ini atas dasar seseorang diciptakan dari bahan dasar berupa tanah dan ruh (kedua unsur ini mempunyai daya tangkap sama-menyeluruh).

Alhasil, dua madzhab terakhir adalah pilihan logis dalam membentuk jati diri seseorang yang kuat dan positif, dikarenakan faktor hereditas, faktor lingkungan, faktor kebebasan seseorang sangat menentukan itu semua, dan menentukan pula nasibnya yang berawal dari mindset dan faktor hidayah Tuhan (Maragustam 2013).

Sikap Akademisi

Setelah mengerti bagian vital pada struktur kacamata dan diri seseorang, serta cara menuju qalbun salim dengan mengetahui berbagai macam worldview, maka aspek pelengkap dan memang harus ada pada seorang akademisi dalam menangkap realitas secara baik, jernih dan berkualitas, adalah akademisi yang mempunyai sikap bermoral, beretika, beradab, dan berakhlak. Jika dapat diringkas, sikap akademisi itu tertanam sebagai sosok muslim, mukmin, dan muhsin. Masing-masing term itu mempunyai dimensi serta tingkatannya secara berurutan.

Sosok muslim, mencerminkan seorang akademisi yang harus secara optimal dalam mengerahkan seluruh kemampuan dan kerja kerasnya demi menemukan, meyakini dan mengonfismasikan kalimat syahadat di seluruh dimensi akademisnya. Sedangkan sosok mukmin, menandakan seorang akademisi penuh keyakinan terhadap-Nya bahwa seluruh realitas terjadi atas kehendak, qadha dan qadar-Nya. Dan sosok muhsin, termanifestasikan bagi seluruh aktivitas hidup dan kehidupan seorang akademisi secara baik, sesuai aturan, mendahulukan orang lain, tanpa pamrih dan hanya berharap wajah-Nya semata.

Tags: kacamatakacamata kehidupanmemandang kehidupanworldview
ShareTweetSendShare
Previous Post

Anosmia Bukan Insomnia, Apalagi Amsenia

Next Post

Balada Mobile Legends

Heri Bayu Dwi Prabowo

Heri Bayu Dwi Prabowo

Mahasiswa ngapak asal Banyumas yang sedang menjalani studi tingkat lanjut Magister di UIN Sunan Kalijaga, konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam. Untuk berhubungan langsung dengannya bisa melalui akun medsos ig: @heribdp . 

Artikel Terkait

Film “Like & Share”, Ketidaksengajaan dan Trauma Kekerasan Seksual
Milenial

Film “Like & Share”, Ketidaksengajaan dan Trauma Kekerasan Seksual

8 Mei 2023

Peringatan: tulisan ini mengandung konten sensitif yang barangkali dapat mengganggu dan memicu trauma Anda. _ Pada tahun 2022 kemarin, Netflix...

Ada Nafas Sahara di Hutan Amazon
Gaya Hidup

Ada Nafas Sahara di Hutan Amazon

30 April 2023

Pernahkah kita terbesit secara sadar kalau udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita telan itu berasal...

Pilih Masjid yang Tarawih 8 atau 20? Ada yang Dua-duanya lo!
Gaya Hidup

Pilih Masjid yang Tarawih 8 atau 20? Ada yang Dua-duanya lo!

13 April 2022

Perdebatan tentang jumlah rakaat tarawih yang mewarnai jagat maya tampaknya tak berlaku di Masjid Al-Hikmah Kampung Islam Lebah, Klungkung. Pasalnya...

4 Suguhan Apik yang Ditawarkan Film “Don’t Look Up”
Gaya Hidup

4 Suguhan Apik yang Ditawarkan Film “Don’t Look Up”

27 Maret 2022

Pada Desember 2021 lalu, Netflix merilis film Don’t Look Up. Sebuah film fiksi ilmiah yang berbumbu komedi. Beberapa nama yang...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Nanda dan Kisah Pilunya

Nanda dan Kisah Pilunya

19 Juli 2021
Ihwal Mawat

Ihwal Mawat

7 Februari 2021
Doa Pengembara

Doa Pengembara

1 Juli 2022
Gambar Artikel Puisi Tentang Pandemi : Puisi-Puisi Fajar Sedayu (Yogyakarta)

Puisi-Puisi Fajar Sedayu (Yogyakarta)

31 Oktober 2020
Anna Maria

Anna Maria

20 September 2021
Gambar Artikel Bung Karno Di Ende, Remah remah kisah dari ende

Remah-remah Kisah dari Ende

7 Januari 2021
Gambar Artikel Cintaku Urusan Orang Lain

Cintaku Urusan Orang Lain

2 November 2020
Anosmia Bukan Insomnia, Apalagi Amsenia

Anosmia Bukan Insomnia, Apalagi Amsenia

18 Februari 2021
Gambar Artikel Bulan yang Lahir dari Penderitaan

Bulan yang Lahir dari Penderitaan

30 Desember 2020
Perihal Wajah Asing di Kereta

Perihal Wajah Asing di Kereta

8 Desember 2023
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.