Setiap orang mungkin sudah dari sana-Nya ditakdirkan berbeda. Tidak bisa dipungkiri ini juga berlaku pada kegemaran atau kesenangan. Ada yang menggemari grup K-pop seperti BTS dan EXO. Lalu penggermar karya seni seperti seni lukis maupun sastra, atau jika mau debat, yang paling banyak saat ini: menggemari sepak bola.
Meskipun kelihatannya hanya menendang bola ke sana kemari, berusaha mencetak gol dan seterusnya, namun tetap saja sepak bola selalu menyimpan banyak cerita. Baik di dalam maupun di luar lapangan. Jadi meskipun teman-teman tidak menggandrungi olahraga ini, tapi mungkin orang yang kutulis ini bisa menginspirasi ketika sobat metafor sedang putus asa, insecure atau hanya gabut.
Seperti yang sudah saya tulis, bahwa setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing. Tak terkecuali pemain sepak bola profesional sekalipun dan Jamie Vardy adalah contohnya.
Jamie Richard Vardy lahir di Sheffield, 11 Januari 1987. Ia lahir di tengah keluarga kelas menengah atau lebih tepatnya “pas-pasan”. Vardy muda menjalani masa pertembuhannya dengan penuh lika–liku, mungkin itulah yang membuat Vardy bermental baja.
Tak seperti kebanyakan pemain sepak bola top yang bakatnya sudah tercium sejak dini oleh akademi-akademi sepak bola dan di masa mendatang digadang-gadang menjadi pemain berlabel “Megabintang”, seperti Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Bisa dibilang tanda-tanda Jamie Vardy bakal menjadi pemain top tidak terlihat sama sekali.
Bahkan ketika berusia 16 tahun, Vardy didepak oleh Akademi Shelffied Wednesday. Kemudian pada 2007, ia pindah ke tim amatir Stocksbridge Park Steels–sebuah klub di Divisi Satu Selatan.
Di Klub inilah, bakat Vardy yang berposisi sebagai penyerang cukup moncer. Ia menorehkan 66 Gol dalam 106 penampilan. Namun meskipun torehan gol yang ia cetak tidak membuat Vardy mendapat bayaran tinggi, Vardy hanya mendapatkan bayaran sebesar 30 Ribu Poundsterling atau setara 600 ribu per pertandingan. Sementara di sisi lain, biaya kehidupan cukup mencekik Vardy. Ini yang membuat Jamie Vardy “nyambi” menjadi pekerja / buruh pabrik alat-alat penyangga patah tulang untuk menyambung hidup.
Di siang hari, Vardy bekerja berjam-jam sebagai teknisi serat karbon, tugasnya memasukan fiber ke dalam cetakan tungku panas, lalu di malam harinya ia bermain sepak bola. Dua aktivitas fisik yang berat terkadang membuat Vardy bohong kepada atasannya, ia berpura-pura cidera sehingga tidak perlu bekerja.
Selain pekerjaan kasar yang menyita fisik itu, ia juga tidak kuat membagi waktu. Akhirnya di tahun 2010 membuat Vardy mulai menata kembali masa depan di lapangan hijau dengan pindah ke sebuah klub bernama FC Halifax Town.
Efek pekerjaan kasar yang digelutinya, berdampak besar pada performa Vardy diatas lapangan hijau, di Halifax ia hanya bertahan semusim dan harus menerima pil pahit kontraknya diputus. Menyerah mungkin bisa jadi pilihan Vardy saat itu. Namun diputus kontrak atau menjadi pekerja / buruh kasar pabrik tidak membuat luntur semangat dan kegigihan Jamie Vardy.
“Kesabaran itu buahnya manis.”
Mungkin itu yang bisa dikatakan Vardy saat ini, atau jutaan orang di luar sana yang sedang menikmati hasil meniti karir dengan kepahitan dan penuh lika–liku.
Bisa dibilang di tahun 2011, semuanya menjadi lebih mudah bagi Vardy . Di tahun itu ia hijrah ke Fletwood Town. Vardy mendapat gaji sebesar 850 pounds per minggu, itu pula yang membuat Vardy makin nyaman menjalani setiap pertandingannya. Total Vardy mencetak 31 gol dari 36 penampilan dan mengantarkan Flootwood promosi naik kasta liga sepak bola. Bahkan di titik itu, setiap ia melakoni pertandingan selalu dihadiri para pemandu bakat yang tengah mengawasi perkembangan Vardy.
Permainan Vardy yang trengginas dari hari ke hari, membuat klub divisi dua liga Inggris yaitu Leicester City kepincut untuk menggunakan jasa Vardy dengan mahar 1 Juta pounds. Sebuah mahar termahal untuk pemain amatir. Namun harus disadari oleh kita semua, jika tantangan dan masalah hidup selalu mengikuti kita dan menjadi paket ke manapun kita berada.
Vardy pun sama seperti kita, tidak lepas dari masalahnya. Jika dulu soal urusan financial dan beratnya pekerjaan, maka sekarang Jamie Vardy bergelut dengan performanya yang inkonsisten.
Di tahun 2012, pada musim pertama Vardy berseragam Leicester City seakan-akan Vardy kehilangan performa apiknya. Selain rasa mindernya, karena hanya ia yang pemain amatir sedangkan yang lain berlabel professional, kondisi ini juga diperparah oleh serangan kritik suporter di sosial media. Hingga Ia bahkan mempertimbangkan untuk mengakhiri kariernya.
Namun di musim berikutnya, Vardy menjawab keraguan semua orang dengan mencetak 16 gol dan turut membawa Leicester City finish di puncak klasemen, sekaligus mengantarkan Leicester City naik ke divisi teratas Liga Inggris. Puncaknya Vardy terlibat dalam kesuksesan klub Leicester City di tahun 2015- 2016, dengan menyumbangkan 24 Gol dan membawa Leicester City untuk pertama kalinya mengukir sejarah menjuarai Liga Primer Inggris.
Nampaknya bukan sebuah dongeng lagi jika semua cita–cita dan harapan dibarengi dengan usaha keras, semua pasti akan tercapai. Jamie Vardy telah membuktikannya dengan terbang dari kompetisi amatir setara level 7 hingga saat ini ia berkompetisi di liga level satu, salah satu liga terbaik di tanah Eropa dan kiblat sepak bola sejagat raya.
***
Kisah karir Jamie Vardy yang serupa cerita Cinderella terulang kembali. Ada banyak kisah serupa seperti Vardy. Salah satunya cerita seorang pemain sepak bola bernama Andy Robbertson, pria kelahiran Glasgow, Skotlandia pada 11 Maret 1994.
Orang-orang saat ini mengenal Andy Robertson sebagai salah satu bek kiri terbaik di dunia. Andy sangat berkontribusi dengan raihan gelar klub Liverpool di masa kini. Tercatat Andy sudah tampil 2 kali di Final Liga Champions dan puncaknya Andy menuntaskan dahaga fans Liverpool di seluruh dunia dengan memboyong trofi Liga Inggris setelah 30 tahun penantian.
Namun siapa sangka, di balik itu semua perlu waktu cukup lama bagi Andy untuk mencapai level sekarang. Di tahun 2009, Andy pernah didepak oleh klub Celtic dikarenakan posturnya dianggap terlalu kecil. Tak patah arang Andy masih menekuni sepak bola di klub bernama Queen’s Park Rangers sambil kerja menjaga toko Mark & Spencer.
Vardy dan Andy tak beda jauh seperti kita, mereka berdua juga pernah mengalami quarter life crisis. Vardy pernah berniat mengakhiri kariernya. Sementara Andy pernah mencuitkan keresahannya di akun Twitternya. “Hidup di usia sekarang seperti sampah jika tak memiliki uang”.
Namun meskipun mereka berdua berhasil melewati fase itu dan bahkan saat ini sedang dalam puncak kariernya. Mereka berdua saat ini enggan terlena dengan popularitasnya yang kian menjulang. Vardy saat ini mendirikan sebuah agensi pencarian bakat untuk pemain semi-profesional. Sementara Andy menghadiahi Jersey ke seorang anak yang menyumbangkan uangnya ke bank makanan dan aktif dalam kegiatan sosial lainnya. Ini yang membuat mereka berdua tetap dianggap ‘berbeda’ dan memiliki respect tersendiri dari pemain lainnya.
Selain dari perjalanan karir, kerja kerasnya, keteladanan dan sikap rendah hari mereka, mereka berdua mewakili mimpi besar orang–orang untuk tak pernah putus asa mengejar impian. Wabil-khusus, mereka berdua mewakili mimpi masyarakat kelas menengah ke bawah. Sebuah kelompok masyarakat yang tak wangi, tempat saya, kamu atau jutaan lainnya di luar sana.
***
Setidaknya dari kisah Vardy dan Andy kita jadi tau, bahwa kisah–kisah hebat bisa diciptakan di mana saja, terutama di tempat yang tidak pernah kita duga. Teori ini tidak berlaku hanya untuk calon pemain bola saja, berlaku untuk kita semua yang terus menerus berusaha dengan kemampuan, keyakinan dan semangat tak pernah menyerah untuk mengejar semua cita-cita.
Dari kisah Vardy dan Andy, kita tak boleh berpikir bahwa seseorang akan menjadi juara dan hebat jika tumbuh di bawah bimbingan universitas terkemuka atau keluarga yang kaya sekalipun.
Vardy dan Andy menjadi seperti sekarang karena pernah mengalami masa buruk, menjadi buruh pabrik dan seorang penjaga toko. Mungkin kamu akan menjadi penulis “best-seller” setelah naskah–naskah kamu ditolak ratusan kali oleh penerbit, mungkin kamu akan menjadi pelukis hebat dengan latihan dari kanvas dan tinta yang dibeli dari gaji hasil kamu bekerja siang dan malam.
Jadi mungkin terkadang ada benarnya juga, ”Apa yang dirasa buruk, meskipun itu pahit, selalu ada manfaatnya, meskipun butuh waktu lama”. Dan mungkin kejadiannya persis seperti membeli jamu, yang pahit diminum duluan lalu diberi manisnya.
Yang membuat saya terkesan dari cerita mereka berdua adalah kita percaya bahwa bakat akan mengikuti pemiliknya, terutama untuk orang–orang yang mau mengasahnya.
Jadi setelah sejauh ini, saya kira, itulah kenapa Jamie Vardy dan Andy layak menjadi guru dan teladan bagi kaum pekerja. Sosok Jamie Vardy dan Andy mewarisi semangat kelas pekerja untuk gigih mengejar cita-cita. Dari keduanya kita dapat melihat harapan dan impian bisa tumbuh dari mana pun. Bahkan dari seorang buruh pabrik kasar dan seorang penjaga toko.[]