Selama bertahun-tahun para perokok pasif dan dokter kesehatan secara terang-terangan mengutuk rokok. Di samping menjadi penyebab berkurangnya kapasitas paru-paru, penyempitan arteri dan mandegnya aliran darah dan juga belum termasuk penyakit serius lainnya. Rasanya akal sehat normal manusia mengatakan jika sepak bola dan rokok adalah hal yang bertentangan.
Namun pendapat tadi, rasanya bisa dipatahkan oleh penelitian sederhana saya. Beberapa sumber literatur, baik blog maupun buku, membantu saya dalam menganalisis itu semua. Dan yang saya dapat adalah hal yang sebaliknya.
Hasilnya tidak dapat dipungkiri bahwa rokok dan sepak bola adalah dua kawan yang berjabat erat.
Faktanya beberapa atlet sepak bola, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, kecanduan merokok.
Untuk menyebut contohnya, kita mulai dari legenda sepak bola Negeri Kincir Angin dan klub FC Barcelona yaitu Johan Cruyff. Ia salah satu pemain sepak bola yang mengakrabi rokok sejak menjadi bintang lapangan. Setali tiga uang, kebiasaanya terus mengekor pada dirinya hingga menjadi pelatih.
Kisah serupa juga terjadi pada legenda klub Juventus, Gianluca Vialli. Yang ini mungkin lebih edan lagi, dia getol merokok selama ia masih aktif bermain. Bahkan ia pernah langsung menyulut rokoknya selepas ia ditarik keluar.
Meskipun demikian kedua legenda tadi tidak bisa dijadikan pembenaran bahwa pemain sepak bola profesional haruslah merokok atau harus leyeh-leyeh, melainkan mereka patut dijadikan contoh “profesionalisme” yang sebenarnya.
Meskipun kerap menghisap rokok yang diklaim berpengaruh kepada sistem pernapasan terutama paru-paru, namun faktanya performa Cruyff dan Vialli tidak terganggu. mereka berdua tetap saja memberikan performa terbaik setiap bertanding. Cruyff memenangkan La Liga bersama La Blaugrana, sementara Vialli memimpin skuad Si Nyonya Tua merengkuh Trophy Liga Champions Eropa di tahun 1996.
Selain mereka berdua, contoh perokok profesional di atas lapangan juga ada dalam diri Zinedine Zidane, Mesut Ozil, Gianluigi Buffon dan Andrea Pirlo. Tak ubahnya seperti kita, pemain sepak bola yang merokok juga barangkali ingin mendapat feeling “santuy”. Para pelatih profesional pun menggunakan rokok untuk bersantay.
Pelatih sepak bola yang mungkin jika kita lihat di layar televisi hanya teriak-teriak di pinggir lapangan adalah dalang yang memainkan lakon dalam bentuk strategi. Menang dan kalah klub erat kaitannya dengan si pelatih. Tak jarang permainan berlangsung dengan penuh tekanan dan pertaruhan hidup-mati membuat rokok menjadi ‘antidot’ mereka dalam mengusir ketegangan selama pertandingan.
Bukan sebagai antidot saja, rokok juga menjadi acungan jari tengah dan simbol pembangkangan. Praktik ini diperagakan oleh seorang pelatih nyentrik berkebangsaan Republik Ceko. Ia bernama Zdenek Zeman. Zeman memilihara kebiasaanya yang membuat ia semakin nyentrik, bukan hanya soal merokok di pinggir lapangan saat pertandingan berlangsung. Zeman dikenal sebagai pelatih yang dikenal dengan pendekatan yang selalu menguji taktik hingga “batas-batas realitas” dan menabrak pagar kelaziman dunia sepak bola.
Zeman menaikkan “dosis” penyerangan setotal mungkin. Secara sederhana, ada 8 pemain di daerah pertahanan lawan dengan menyisakan 2 pemain untuk bertahan dan seorang penjaga gawang.
Logika Zeman sangat sederhana: jika pemainnya lebih banyak di wilayah pertahanan lawan, maka lawan semakin tersudut dan kemungkinan untuk mencetak gol jauh lebih besar. Atau dalam ungkapan lain: “pertahanan terbaik adalah menyerang”.
Mungkin di balik taktik Zdenek Zeman yang mengedepankan imajinasi ketimbang taktik pada umumnya, ada puluhan puntung rokok yang berperan menjadi sugesti “inspiratif” dalam meracik stateginya sendiri. Nama Zdenek Zeman bukanlah satu-satunya pelatih yang gemar menyematkan rokok pada bibirnya. Sebut saja, Maurizio Sarri dan Carlo Ancelotti. Mereka berdua kecanduan akut rokok putih.
Naik kelas sedikit dari kaum rokok putih, pelatih tua legendaris se-Italia bernama Marcello Lippi lebih memilih cerutu. Sama seperti testimoni perokok pada umumnya, cerutu telah banyak membantu Lippi untuk bersikap lebih tenang dan berfikir jernih. Terutama saat Lippi mempelajari taktik Louis Van Gaal, hanya dengan rekaman video dan cerutunya, sebelum melakoni Final Liga Champions tahun 1996.
Dari masa ke masa, simbiosis mutualisme antara rokok, pelatih dan pemain sepak bola sudah banyak menghasilkan beragam sugesti seperti “perasaan tenang”, “berfikir secara jernih” hingga “stimulus kreativitas”. Rokok seolah menjadi bensin di setiap pertandingan. Meskipun ini semacam “sugesti”, namun bagi mereka sugesti pun sudah cukup. Karena itulah yang mereka cari.
Jika dilihat dari kacamata lain, hubungan antara rokok, pelatih hingga pemain sepak bola hanyalah buih-buih kecil di antara lautan yang luas. Dengan kata lain, hubungan rokok dan sepak bola jauh lebih luas ketika melibatkan fans atau supporter sepak bola.
Untuk membuktikannya, silahkan lihat teman–teman pembaca yang menyukai sepak bola. Kebanyakan dari mereka adalah perokok aktif bukan? Well, tak ada jawaban yang pasti kenapa bisa seperti itu. Satu-satunya jawaban ialah karena sepak bola adalah hiburan untuk kelas pekerja dan cara pekerja untuk bersantai adalah dengan merokok. Ini yang memungkinkan, bahwa sepak bola adalah ladang bisnis yang subur untuk produsen rokok.
Meskipun begitu, dari sini kita dapat simpulkan bahwa merokok bukan standar seseorang profesional atau tidak. Tokoh-tokoh di atas tadi membuktikan bahwa perokok pun dapat berprestasi beriringan dengan bekerja dan merokok.
Namun yang harus digarisbawahi adalah kita sebagai perokok tidak cukup berprestasi sampai menjadi penyumbang cukai rokok terbesar. Tapi mungkin harus lebih jauh dari itu. Seperti Cruyff, Vialli dan pelatih-pelatih yang gemar merokok.
Peranan rokok dan pemikiran yang bersatu padu melahirkan banyak prestasi dan sumbangsih bagi klub. Maurizio Sarri dengan Napoli dan Chelsea atau Carlo Ancelotti dengan Real Madrid. Lewat hisapan cerutu, Marcello Lippi mempersembahkan 5 Scudetto, 1 Coppa Italia, 1 gelar Liga Champions dan 1 Piala Dunia di tahun 2006.
Sampai di sini, mungkin mereka dapat dijadikan inspirasi kita sebagai perokok untuk lebih berprestasi atau lebih banyak berkarya. Bisa saja, dengan rokok kamu melahirkan beragam puisi. Dengan rokok, kamu menjadi semangat menulis dan melahirkan banyak kenangan. Tidak ada yang tidak mungkin, mereka semua telah membuktikannya.
Memang banyak alasan dalam konteks ini, baik diterima nalar maupun tidak, namun yang jelas rokok memberikan warna anomali tersendiri di dunia sepak bola yang seolah sangat bertolak-belakang dengan dunia olahraga. Salam sebat, kawan.[]