Puisi Qudsen Blues
“Li annahum jahilu wa jahhalu, fakun Ya ‘Alimu mu’allimi…”
Tujuh helai daun singkong mengandung sebelas dimensi. Kitab konon dan firman-firman trotoar mengencingi jalanan dengan ilmu hikmah. Tidak sekali dua kali kudengar suara knalpot rombeng dari dalam aortamu. Seperti penempuh sunyi yang tak berhenti memaki, kulipat mati jauh ke dalam saku celanaku.
Ssst, lebih baik Blues. Jangan katakan apa-apa, sayang. Bibirmu sedang sariawan dan Indonesiaku belum sembuh dari sakit tuli berkepanjangan. Lihat, awan retak dan rembulan penyok. Seperti bentuk televisi milik tetangga.
Aku pamit pulang ke selokan. Mengurai guru dari sampah pembalut dan sisa makanan yang dilemparkan orang. Kuberitahu. Di lorong panjang ini (fantasi diskoria), pengalaman dan pemahaman tak pernah berhenti mengalir seturut gerak air comberan yang berakhir di qalbu manusia.
Indonesiaku terus melenggang sementara aku berangkat tidur. Mengaliri abad dengan telapak tangan kanan menekan dada dan telapak tangan kiri menekan perut. Bergoyang ke kiri dan ke kanan, mengulang-ulang ayat Tuhan: ‘allamal insaana maa lam ya’lam.
Terus menerus kuhindari Indonesia, sampai pun di mimpi. Sampai pun ke mimpi!
SP, Juni 2020.
Puisi Blues Zaqqum
Satu tetes minyak dari pohon busuk itu menjaga nyala api neraka. Terkencing-kencing pasti, siapapun! Kecuali aku: ulat di pohon itu. Sejengkal demi sejengkal, numpang makan dan melubangi kehidupan.
Tuhanku, sudah lama aku pergi tapi tidak ke mana-mana. Aku di pohon itu, berak kencing kapan saja, semau-mau. Seperti katamu, di dalam tubuhku neraka juga. Bau mulutku aroma asap krematorium, tulang hangus, dan debu rangka manusia.
Amat mudah juga untuk tinggal di daging manusia. Aku, ulat pohon Zaqqum, senang makan yang busuk dan mati. Seperti aku sendiri.
Ilmu, hati, lagu, cakrawala, nurani, mampet di pembuluh darah manusia. Kebodohan adalah sarang lembab bagi kelahiran aku yang lain. Aku kenyang, aku tak pernah kelaparan selama hidup di sini. Lihatlah sampah-sampah di ginjal dan puisi manusia. Mengular sampai jauh ke tak terhingga.
Aku ulat pohon Zaqqum, kepada setiap kebebalan yang meranggas di jantung hidup manusia, aku ucapkan: assalamu’alaikum!
SP, Juni 2020.
Syahadat 12 Bar
Di regangan jarak yang memisah ufuk harapan dan putus asa, kita berjalan terhuyung, membentur tiang-tiang listrik, kesendirian, protokol kesehatan, dan sabun cuci tangan tumpah tersampar ke atas nasib kumal.
“Saudara-saudaraku yang menakutkan bagi kita bukan kematian”, kata sahabatku. Tapi jiwa kikir yang takut esok tak lagi bisa memakai sepatu lux, melihat barisan angka di kartu atm, atau sekadar memandang wajahmu, kekasih.
Abad megatron ini sudah lama kita hidupi. Sampai ikut daging kita jadi lempengan perak. Pecahan beling dari botol-botol bir yang memabukkan masa silamku, tak lebih menggores dari hilangnya cinta. Tak lebih perih dari melihat sesama manusia memakan manusia.
Tuhanku, dengan Blues yang sungguh aku ucapkan kembali syahadatku. Tiang-tiang pasak antara tulang belulang dan poros inti bumi. Harus tegak! Aku tak bisa loyo dalam kegelapan, walau mustahil cahaya menjemput. Tapi sujudku pada-Mu tak kurang Blues! 12 bar atau lebih, aku ingin terus.
SP, Juni 2020.
Puisi Blues Kerupuk Ames dan Gorengan Dingin
Setiap hari aku belajar memahami ragam bahasa. Bukan karena ingin sejajar Baginda Sulaiman yang mampu berunding dengan Hud Hud, Jalak Bali, atau Mockingbird Blues. Kepada bahasa kerupuk ames dan gorengan dingin saja susahnya setengah mati. Bahkan terengah-engah aku memahaminya. Lihat, sedemikian dingin mereka mengungkapkan diri di hadapan abad glamor yang berlenggak-lenggok. Tak bergeming mereka kepada penjajahan dan penindasan. Aku ingin sekali bisa mengucapkan bahasa kerupuk ames dan gorengan dingin!
Kalau kepadamu mesti kuciptakan empat ratus lorong bahasa yang gagap dan sempoyongan, berapa kali lipat mesti kubangun lorong lain untuk menyentuh ruang hening?
Ay ay ay…berhati-hatilah saudaraku. Di atas bahasa ada makna, tetapi yang berada di balik makna itu apa namanya? Kau pasti bertanya sama sepertiku. Bahasa bisa dirakit, tetapi tidak dengan makna. Ia polos dan jujur, seperti ubun-ubun bayi.
Tentu sajau kau tidak akan serta merta percaya kepada bahasa. Apalagi bahasa yang muncrat dari ludah negara. Kau pasti akan dengan cepat menangkap bahwa pembangunan hanyalah bahasa baru dari apa yang dulu Nabi sebut sebagai penindasan. Hahaha! Beton jembatan layang berdiri di atas nasib lusuh orang-orang kecil. “Berdikari-berdikari!”, kata aktivis ham dan eunonia. “Berdiri di atas kakus sendiri, berdiri di atas kakus sendiri!”, sahut tukang nasi goreng.
Hihihi, kau kecut membaca puisi ini. Tapi aku diam. Seperti kerupuk ames dan gorengan dingin.
SP, Juni 2020
Puisi Pak Cempluk Memasak Blues di Atas Wajan yang Ngantuk
Pak Cempluk memasak Blues di atas wajan yang ngantuk. Api di kompor berdzikir pelan, merapal qasidah Ibrahim agar iman matang sempurna. Butuh waktu empat belas abad untuk sepiring nasi goreng dan mimpi yang netes dari kening coklatnya.
Tapi ini Pak Cempluk. Siapa tak kenal dia? Seorang reot yang saban malam mengencingi diktat-diktat ekonomi dari balik pohon sengon. Bawakan padanya semangkuk Adam Smith, John Maynard Keynes, sampai Harland Sanders atau Sri Mulyani dan Jack Ma. Ia akan balik bertanya kepadamu: “telurnya diceplok atau didadar?”
Sambil tetap ngantuk dan membenahi sarungnya yang mlongsor, Pak Cempluk meniti detik demi detik. Menanti Tuhan dengan arloji dan matematika yang aneh. Ini nasi, ini mie, ini kwetiau, dan ini diorama yang bergoyang-goyang!
Pak Cempluk kelewat berani ketika memasak Blues di atas wajan yang melayang-layang. Bahkan kepada satu pelanggan terakhir ia berani bilang: “karet satu atau karet dua, hidup tidak pernah sespesial itu!”
SP, Juni 2020.
Logika Blues Paling Sederhana
Kadang Tuhan benar-benar sengaja tidak menghadirkan apapun,
Untuk mengajari logika Blues paling sederhana:
Kau tidak pernah mencari, Tuhan yang mendatangkannya padamu.
SP, Juni 2020
Puisi Jejak Walking Blues di Belahan Rambut Pak Lurah
Melihat jejak walking blues di belahan rambut Pak Lurah
Seorang warga membawa ‘If Trouble was Money‘ di bibirnya, dengan sedikit Albert Collins yang gagap
Ia sampaikan, “jadi begini, pak”
Tidak bisa, kata Pak Lurah yang klimis
Pak Lurah melenggang ke dalam kantor dengan menjanjikan sekeranjang B Minor untuk dikonsumsi warga
“Nanti kita obrolkan lagi”, “kapan pak?”
Midnight Blues!
Ah, masa sih. ‘Wonderful Tonight’ yang kemarin saja belum ditepati
Kita masih ingat Eric Clapton kok
Bahkan setiap tidur semua warga selalu memeluk ‘Old Love’ dalam napasnya, dalam tidurnya, dalam mimpinya
Malah sebagian lain selalu merapal ‘Samba Pa Ti‘
Samba pa ti, samba pa ti, samba pa ti
Republik Sambat Sampai Mati
Oh Santana, oh Frank Zappa
Innallaha ma’asshobirin
Gak papa namanya juga kehidupan.
SP, Januari 2021