dari nafas malamku, bumi terbakar menjadi tujuh bagian, patung cahayamu menari-nari saling menyusun retakan tanah yang kesepian, bukit bagi gerbang kerajaan tuhan
menghabiskan banyak perekat foto, pesawat kertas dibalik jendela hatiku menebarkan benih bunga, menampakkan dirinya yang melontarkan air mata juga, sehabis musim yang berbalik arah, kaki-kaki basah meninggalkan rerona matahari
dan kampung-kampung meninggalkan sepasang mata pisau telah habis mengiris jantungmu yang memompa waktu, hutan-hutan patah sedang lenganku terulur mengirim kaki seribu pada sekumpulan puisi
lalu memanjat ke atas dinding, langit-langit bagi kesendirianku, menggerutup sedang kau tak sanggup berulang kali membunuhku, meski gerakanku mistis menyerbak wewangian ke tubuhmu, aku meledakkan diri bagai bom waktu
Surabaya, 2021
Adakah Udara
adakah udara menghampar pertemuan, malam buta dalam bayanganku, sembari berceloteh menguliti embun-embun, pemabok antropolog, beburung terbang melalui celanamu
tumpukan sampah, dan sesaji aroma harum, rimbun di wajahmu yang mengubah kota-kota, dibalik mantra yang diam di sudut-sudut jendela; adakah itu aku?
kau petik kabut bahasa yang hening di putih angkasa, kata-kata membangun burung-burung dari embun, mayat-mayat berjalan menuju hulu dan memutihkan mataku seiring perjalanan
Surabaya, 2020
Lari ke Dalam Lirik
kupu-kupu tumbuh dalam kakiku, meninggalkan hujan dan mendesak ke dalam tubuhmu, kenangan muda yang mengantarkan matahari hitam tumbuh
bersarang dipohon malamku, kau berputar-putar, berebut lari seperti orang-orang pergi
wajahmu tercetak dalam sembulan asap jaman, mungkin lampu tak padam, tumbuh dalam kakiku, meninggalkan hujan dan mendesak ke dalam tubuhmu, kenangan muda yang mengantarkan matahari hitam tumbuh
Surabaya, 2020
Lelangit Sorga
seekor burung memecahkan telur dari mataku, dada yang terseret ke arus jaman kini dalam reklame iklan bergambar
ada peradaban yang paling purba hinggap dalam kaus berwarna merah, seorang lelaki dengan palu bergambar abu, berkeliling dengan dagingmu di belakang pintu
kupandangi fotomu dari sebuah menara tertinggi, anak-anak tertawa dengan keras, seperti hidup— dari dongeng yang mereka tulis sendiri
sungai mengenalkan lumpur dari ribuan tahun lalu, menyimpan suara pada pecahan kaca, kau menyuarakan kegelapan lelangit sorga
Surabaya, 2020
Bermimpi dan Bernyani Setiap Hari
kereta api adalah kepompong kecil, sepucuk perjalanan yang menumpahkan serbuk-serbuk gairahku, udara menggeletar, tapi di bawah jantungmu sajak-sajak kita berangkatkan
adalah laut dari potongan-potongan baju, gigil disamarkan kabut juga hantu berkepala pelontos, membunyikan jenguk yang menyala-nyala di bintang tak berlangitku
kematian mabuk dalam dzikirku, dari pintu ketidak mungkinan, kau mencair dalam tulisan, mencair dalam lukisan;
yang bermimpi dan bernyanyi setiap hari
Surabaya, 2020