“A work of art which did not begin in emotion is not art.”
-Paul Cezanne-
Kalimat tersebut seolah mempertegas bahwa sebuah karya seni bukanlah sekadar hasil meng-copy objek untuk kemudian dijadikan sebuah karya. Lebih dari itu, aktivitas berkarya seni melibatkan serangkum perasaan yang tertangkap oleh sang kreator. Baik itu gejala eksternal, maupun internal batin sang pembikin. Di samping itu, dapat juga berasal dari ide-ide non-visual, salah satunya, berupa tulisan.
Dalam hal ini saya pernah diajak kolaborasi oleh Madno Wanakuncoro untuk mengalihwahanakan karya cerpennya menjadi suatu ilustrasi visual. Ini sebuah tantangan tersendiri–yang sebelumnya belum pernah saya coba dan ini momentum perdana saya. Awalnya saya ragu, namun lantaran demi nama proses dan sedikit ‘paksaan’ dari Madno, maka saya mengiyakan saja.

Mengejawantahkan suatu tulisan menjadi karya visual-grafis, apalagi ilustrasi, ternyata cukup memforsir energi. Namun yang asyik adalah bahwa saya ikut menerjemahkan perasaan penulis–dalam konteks ini terwakili pada cerpen–menjadi anasir yang wujudnya berbeda dan dengan sentuhan saya pribadi. Dengan kata lain, saya sekaligus bertindak menjadi semacam ‘mufassir’, atau penafsir perasaan yang produknya termanifestasikan ke dalam karya ilustrasi.

Saya jadi teringat ungkapan seorang seniman (almarhum):
“One eye sees, the other feels.”
-Paul Klee-

Yang menjadi pembeda dari ucapan Paul Klee tersebut adalah bahwa saya sebagai ilustrator tidak cuma merasakan–tulisan yang kata penulisnya sendiri belum bagus dan masih amatir–namun juga ikut mengkreasi ulang suatu perasaan. Proses berkesenian semacam ini setidaknya menambah pengalaman saya, minimal, untuk mengatasi rasa sungkan dalam berkarya. Saya menyadari bahwa keberanian dan ketidakmandegan dalam berkarya itu penting, sekaligus menyehatkan dan membahagiakan.[]



NB : yang ingin membaca buku sekumpulan cerpen beserta ilustrasinya, bisa didapatkan di Penerbit Bakbuk.ID dengan Judul “Kepala Negara Babi“.