Di sini, saat sore semakin menggelap dan gelayut mendung siap menetaskan benih-benih air bernama hujan, anak-anak muda malah berseliweran di jalanan. Seolah berpesta. Yang bujang sumringah, seperti bahagia bisa memboncengi seorang gadis berambut pirang dan berkulit belang. Putih di wajah dan warna sawo terlampau matang di badan.
Sedang si perawan seolah bangga, dibonceng pria kejepang-jepangan menggunakan motor bersuara khas: breng! breng! Semua mata akan tertuju pada mereka yang di jalanan. Komat-kamit menyumpahi puluhan atau mungkin ratusan pasang sejoli yang saling susul, saling pamer pasangan, saling adu kecepatan, saling adu kegagahan, mencari pengakuan. Mungkin saja. Bukankah ingin diakui adalah sebuah kebutuhan?
Aku tengah duduk-duduk di sebuah warung kopi yang agak jauh dari tempat tinggal ayahku. Sengaja. Agar bisa leluasa menyalakan rokok. Sebab istrinya begitu terhormat dan membenci asap rokok. Kopi Lanang tanpa gula kupesan beberapa menit yang lalu. Seorang pelayan sigap menyuguhkan. Tak lama kopi nampak di depan mata. Masih ngebul. Cangkir mungil, putih susu, pisin mungil, putih susu, serta sendok mungil, perak tanpa susu.
Aroma khas kopi. Kuciumi, lalu kutiup sebelum akhirnya kucicipi. Rasanya? Entahlah, bagiku kopi itu rasanya sama saja: pahit.
Beep…beep. Satu pesan masuk.
17:15
Di mana?
“Teh, hapenya bunyi. Berisik!” Anak baru gede yang teteknya pun belum tumbuh nyolot. Ia sengaja menghampiriku yang duduk bersebelahan dengan mejanya.
Perasaan kaget, aneh, sekaligus ingin marah berkecamuk. Aku hanya bisa memandanginya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambut keriting, baju model kekinian yang bolong di bagian pundak, kalung ketat belang-belang yang mencekik leher, celana jeans yang pas di badan, serta sepatu yang bawahnya penuh dengan sisa tanah.
Ini memang musim hujan. Orang-orang yang tinggal di kaki gunung terbiasa dengan sepatu penuh lumpur. Bila ada kesempatan ke kota dan menemukan aspal, dengan sigap akan menggosok-gosokan alas kaki ke aspal. Atau orang-orang akan mencari sesuatu dengan permukaan datar dan kotak, semisal tangga atau batu, untuk kemudian membersihkan sepatu dari tanah yang menempel tebal.
“Matiin! Bukannya diliatin!” Si anak baru gede melengos pergi ke mejanya sambil terus menggerutu. Kawanan yang berdandan serupa dengannya hanya cekikikan menyambut keberhasilannya meng-KO-ku.
Aku hanya bisa menarik napas panjang menahan kesal. Tidak lucu bila harus melayani anak seusianya. Aku ini kan perempuan dewasa. Begitulah aku menghibur diri sendiri. Menghindari emosi yang meledak. Sebab selain keras kepala, ketika kalap melanda, aku termasuk orang yang bisa merusak segala hal dalam sekejap mata.
***
18 panggilan tidak terjawab…
Aku kembali dikagetkan, kali ini oleh tulisan di layar handphone. Delapan belas? Ghani? Kapan ponsel ini berdering? Pantas saja anak baru gede itu nyolot bukan main.
17:49
Di mana?
18:10
Di mana, woy?!
18:59
Kunyuk! Di mana? Angkat teleponnya!
19:03
Sayang.. Cantik.. Kamu di mana? Aku di caffee tempat biasa kita nongkrong. Hampir dua jam aku nunggu di sini. Udah mau bakaran nih!
19:47
Kinar, sayang.. Kamu di mana? Ini udah mau jam delapan, sayang. Kamu janji datang ke sini jam empat sore.
19:48
Kinar! Kinara! Kinara Larasati!
20:00
Ya, udah.. Kalau kamu emang ga niat ketemu aku kali ini. Aku pulang ya.. Mumpung hujannya udah mulai reda.
20:13
Kinar, sayang? Kamu sibuk ya? Sampai ga sempat bales pesan dari aku. Sampai ga sempat angkat telpon dari aku?
20:15
Padahal hari ini aku ingin kasih kabar gembira..
20:15
Lamaran aku diterima. Tari terima lamaran dariku! Aku benar-benar bahagia. Dan ingin membaginya denganmu.
20:17
Seharusnya kamu di sini, Kinar.. Seharusnya kamu ada di sini.. Aku tidak mungkin punya keberanian untuk melamarnya, bila tidak ada dukungan dari kamu.
***
Hampir malam. Aku masih menggelandang. Siapa sangka, hanya karena asmara aku menjadi gila. Sejak pernikahannya dua hari yang lalu, aku masih belum bisa mendiamkan kalut yang terus menggelayut di kepala dan dada.
Hujan turun. Aku mematung di depan sebuah warung kopi sederhana. Aku diam, lalu merebahkan tubuh. Beberapa pelanggan yang hendak masuk ke sana nampaknya agak risih bercampur jijik dan takut melihatku terlentang tepat di teras warung kopi. Beberapa ada yang melanjutkan masuk dan memesan. Beberapa ada yang pergi. Dan beberapa lagi ada yang dengan baik hati melempariku uang recehan. Seratus, lima ratus, dan seribu rupiah. Aha, tapi itu bukan yang aku butuhkan.
Ada baiknya bertanyalah sebelum hendak berbuat baik dan menolong, Nona. Supaya niat dan kebaikanmu tidak salah sasaran dan sia-sia.
Gemuruh hujan. Bunyi mesin motor dan mobil yang berseliweran. Bunyi cekikik pemuda dan pemudi yang memesan kopi. Lagu Barat yang beat-nya membuat jantung setiap pendengar berjingkrak. Dan sepasang matamu yang menangkap kesunyian di dadaku. Kau tengah berdiri di pinggir jalan. Memandang lurus ke depan. Matamu berkedip jarang sekali.
Lama. Sepasang matamu menahanku untuk diam. Hanya mengijinkanku menarik dan mengeluarkan napas tersengal. Dan kau masih terus berdiri di pinggir jalan. Memandang lurus ke depan. Air matamu menetes, bercampur hujan.
Suara adzan di mesjid besar bersahut-sahutan. Dengan suara adzan di mesjid-mesjid kecil. Dengan deru kendaraan. Dengan gemuruh hujan. Dengan napasku yang kian tak beraturan. Sebab engkau nampak terburu menerjang hujan yang kini kian lebat. Beberapa mobil membunyikan klakson dan umpatan si pengendara.
“Setan!”
Tid! Tiiid!
“Anjing!”
Tid-diiiiiiiiid!
“Nyebrang lihat-lihat, woy!”
Tiiiiiiddddddddddddd!
***
20:30
Panggilan Masuk : Ghani Abdul Khodir
Layar handphone di atas meja terus berkedip. Mati. Dan berkedip kembali selang beberapa waktu. Aku hanya bisa menatap layar itu lekat-lekat. Mengeja nama yang tertera di layar. Ghani Abdul Khodir. Terus mengulang nama itu lambat, cepat, lambat lagi, cepat lagi, sampai bibirku belepotan oleh ludah.
Aku hendak meraih handphone dan memasukannya ke saku jaket, namun tubuhku mulai menegang. Ada sesuatu yang mengalir deras dan panas, dari dalam perut naik begitu cepat ke atas kepala. Aku terus mengulang nama. Layar handphone terus berkedip. Namamu terus berkedip. Mataku ikut berkedip. Namamu terus berkedip. Bibirku semakin rumit.
“Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Kodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir.”
Seseorang dengan tiba-tiba mengguyur tepat di wajahku dengan air jus. Sisa air jus kurasa. Sebab saat cairan itu masuk tertelan ke mulut, rasa manisnya sudah tidak terasa begitu manis. Aku mencari sosok yang mengguyurku. Namun aku kehilangan pandangan. Segala hal yang kulihat hanyalah layar handphone dan sebuah nama yang terus berkedip.
“Pak, ini orang kesurupan kali! Tolong panggil ajengan!” Kurasa itu suara si gadis kampung yang teteknya belum sempat tumbuh.
“Teh, nyebut, Teh… Istighfar!” Itu tidak terdengar seperti suara si gadis kampung. Suara itu terdengar lebih lembut. “Ini, saya ada tasbih, Teteh pegang ini sambil ucapkan istigfhar ya.. Ayo Teh, Teteh lawan jin yang ada di dalam sana…” Perempuan itu terdengar begitu sabar dan berusaha terus menolong, mengeluarkan jin atau makhluk halus sejenisnya dari dalam diriku. Aha, tapi ini bukan jin.
Ada baiknya bertanyalah sebelum hendak berbuat baik dan menolong, Nyonya. Supaya niat dan kebaikanmu tidak salah sasaran dan sia-sia. Di dalam sini hanya ada aku. Tidak ada yang perlu dikeluarkan. Selain emosi yang belasan tahun mengendap di dalam dada.
Seseorang nampak terburu dengan langkahnya yang tegas. Suaranya terdengar semakin mendekat.
“Awas! Jangan diriung begini! Nanti dia tambah setres! Biar saya saja yang urus!” Tangan yang kasar menyeretku ke luar dari kerumunan orang. Udara teras lebih longgar.
Tangan yang kasar dan lebar itu mulai menyentuh kepala. Suaranya yang nyaring mulai melengking-lengking membaca. Entah apa. Aku penasaran, dan mencoba mencari tahu. Memutar-mutar kepala, melihat apakah yang sesungguhnya terjadi. Namun sia-sia. Yang kulihat masih tetap sama. Layar dan nama yang berkedip-kedip. Terus-menerus.
Sebelah tangan itu masih tetap di atas kepala. Namun, pelan-pelan tangan satunya lagi mulai merayap. Ke pundak. Ke punggung. Ke kaitan di BH. Dan terus ke pantat. Lalu sesuatu yang mengganjal dengan tiba-tiba menusuk-nusuk.
“Anjing! Apa yang kamu lakukan?” Seseorang yang barangkali menyadari pengobatan gadungan itu bereaksi. Aku masih tak bisa melihat apa-apa selain layar dan nama yang berkedip. Selain mengucap nama itu berulang-ulang.
Menyadari pengobatan gadungannya terbongkar, laki-laki itu semakin mempercepat gerakan menusuk-nusuknya. Semakin cepat, semakin cepat. Sampai sesuatu yang basah terasa rembes dari celananya. Aku masih tak bisa melihat apa-apa selain layar dan nama yang berkedip. Hanya mendengar cekikikan dan bunyi video disimpan di handphone.
Seseorang sepertinya mulai menarik pria bertangan kasar itu. Aku masih belum melihat apa pun. Sesuatu yang panas kini makin deras naik ke atas kepala. Aku makin lincah mengucap nama itu. Layar dan nama itu makin kuat berkedip. Orang-orang terdengar makin riuh. Ada pula suara yang berdebam, seperti suara tubuh seseorang yang tumbang.
Udara mulai pengap. Aku melangkah menjauhi suara yang riuh. Satu dua langkah terseok. Tiga empat langkah kakiku mulai terbiasa. Aku masih tak bisa melihat apa pun.
***
Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Kodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir. Ghani Abdul Khodir.
Tengah malam. Angin mulai kencang memainkan rok dan rambutku. Suara-suara mulai tak banyak terdengar. Hanya ada beberapa jenis. Suara kodok. Suara mobil yang sesekali lewat. Suaraku yang terus melafalkan nama itu. Dan suara getar handphone di saku jaketku.
Beep. Beep.
00:54
Kinara, aku melamarnya. Tari. Seperti saranmu, aku tidak meninggalkannya dan memilih menjadi pengecut. Memendam perasaan dan membiarkan kesempatan berlalu begitu saja. Kau harus bangga pada kakakmu ini.
Kalau tak sibuk dan kebetulan libur, datanglah kemari. Kita nongkrong dan mari mencuri-curi waktu menghisap rokok seperti biasa.
01:15
Selamat istirahat. Sampaikan kangenku pada Ibu. Bulan depan aku datang ke sana dengan Tari.
***
“Setan!”
Tid! Tid!
“Anjing!”
Tid-diiiiiiiiid!
“Nyebrang lihat-lihat, woy!”
Tiiiiiiddddddddddddd!
Suara adzan di mesjid besar bersahut-sahutan dengan suara adzan di mesjid-mesjid kecil. Dengan deru kendaraan. Dengan gemuruh hujan. Dengan napasku yang kian tak beraturan. Sebab engkau nampak terburu menerjang hujan yang kini kian lebat. Beberapa mobil membunyikan klakson dan umpatan si pengendara.
“Kinar?” Matamu merah.
Ghani Abdul Khodir.
“Dari mana saja?” Bibirmu basah.
Ghani Abdul Khodir.
“Lama kami mencarimu.” Kau mulai terisak. Dan bibirmu basah.
Aku mulai melafalkan nama itu lagi. Pandanganku mulai berkedip lagi. Layar. Nama. Layar. Nama. Berkedap-kedip.
“Ghani Abdul Khodir…” Aku melumat bibirmu yang basah. Entah kau tahan atau tidak dengan bau busuk yang keluar dari mulutku. Hanya saja aku menikmatinya.
Hujan masih turun. Pun deru mobil yang masih terus bergemuruh. Di dalam sana cekikikan orang terdengar samar. Lalu-lalang pemuda di atas aspal yang tak kenal hujan menambah semarak malam. Dan sepasang matamu menangkap kesunyian di dadaku. Kau tengah berjongkok di depan muka. Memandang lurus ke depan. Matamu berkedip jarang sekali.[]
Tasikmalaya, 250417
23:53