• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Kamis, 21 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Cerpen

Perihal Wajah Asing di Kereta

Nuzul Ilmiawan by Nuzul Ilmiawan
8 Desember 2023
in Cerpen
0
Perihal Wajah Asing di Kereta

Sumber gambar: pinterest.id

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Langit Jakarta sedang melayu sore itu, awannya yang mendung tak karuan diembus angin entah ke mana. Kadang ke timur, kadang pula ke barat, lalu tak berselang lama, awan bergerak ke utara. Langitnya sedang tidak baik-baik saja. Pakaian serta rambut para pejalan kaki yang hendak berjalan menuju stasiun MRT di Dukuh Atas tampak berkibar. Beberapa orang yang sudah membuka payung tampak kewalahan mengendalikannya.

Sepertinya badai akan segera tiba, entah saat makan malam, atau menjelang pagi. Azan magrib terdengar redup, meski hanya beradu suara dengan angin. Untung Jalan Sudirman sedang macet, bila tidak, magrib akan tidak terasa seperti biasanya. Barat sedang duduk di dalam stasiun, di bawah sana, tidak ada sesuara apa pun yang didengarnya, kecuali tapak kaki, orang berbicara, suara pengumuman, dan detak jantungnya sendiri. Sudah sepuluh tahun dia tidak pernah melihat wajah yang asing sekali, nyatanya wajah itu tengah berdiri di pojok kanan, tepat di samping rel kereta.

Sedari lahir, Barat dianugerahi oleh sebuah otak yang mampu mengingat dengan sangat baik. Atau ia dikutuk untuk tidak akan pernah dapat melupakan masa kenangan kecilnya yang begitu pahit. Ia bisa mereka ulang dengan amat detil peristiwa di mana ibunya dibentak, bahkan dipukul oleh ayahnya. Ia kerap menyaksikannya, bahkan hampir setiap hari.

Sayang sekali, otak Barat lebih senang menayangkan kenangan pahit ketimbang hal-hal yang membahagiakan dalam hidupnya. Terkadang ingatan menyedihkan itu menghantuinya sepanjang malam, terutama saat hujan dan petir sedang menjamah tubuh ibukota. Karena di saat yang seperti itulah, Barat melihat ibu menyilet pergelangan tangannya sendiri di dapur dan meninggal secara perlahan.

Barat tidak pernah senang dengan kemampuannya itu, terutama segala hal jadi begitu membosankan baginya. Seakan-akan tidak ada hal lagi yang mampu menyegarkan otaknya yang brilian itu. Karena sehari-hari, Barat selalu melihat hal yang sama dan di mana saja ia pergi. Ia tak lagi menemukan sesuatu yang baru. Seakan semuanya adalah benda yang diduplikat berkali-kali.

Dia sudah ke Jogja, Bandung, Papua, Bali, bahkan beberapa negara di luar sana sempat ia kunjungi, meskipun dalam rangka urusan kerja. Tapi, baginya, tak ada satu yang menggairahkan. Bagi Barat, semua tempat adalah serupa. Hanya berbeda secara skala dan geografis. Dan yang paling menyebalkan adalah roman-roman yang mirip satu dan lainnya. Seakan ia merasa bahwa Tuhan kurang kreatif.

Barat sudah melihat milyaran wajah dari beragam ras: Arab, India, Cina, Kaukasia, Negro, Latin. Ada yang ia lihat di layar kaca atau buku-buku. Ada yang ia lihat secara langsung. Dan yang paling menyebalkan adalah, kian tahunnya, semuanya kian terlihat mirip satu sama lain. Semua yang ia temui setiap hari adalah wajah-wajah yang familiar seperti kemarin, dan wajah-wajahnya yang ditemuinya kemarin itu familiar dengan minggu kemarin, dan begitupun seterusnya. Seakan dunia menjadi suatu tempat yang sangat hangat, namun di saat bersamaan, dia merasa begitu lekat olehnya hingga berharap untuk dapat bersembunyi. Atau apabila mungkin, menghilang.

Barangkali sudah ada ratusan wajah yang ia lihat hari ini, adalah orang yang sama seperti yang ia lihat kemarin. Bahkan Barat ingat betul gaya berpakaian masing-masing orang yang dilihatnya. Seperti pria kepala botak yang di sebelah kanan Barat, setiap hari sudah pasti pria itu memakai penyuara telinga setiap kali pulang kerja, menggandeng ransel hitam, hanya pakai kaus dan jeans apabila cuaca baik, dan menambah jaket tebal apabila hari hujan. Dan selalu menghubungi video istrinya sesampainya di ruang tunggu. Atau perempuan yang duduk di samping Barat, selalu memegang cup plastik yang berisi kopi susu. Suatu hari ia sempat melihat ada tahi lalat di tengah-tengah dadanya, yang mana tak akan pernah ia lupakan.

Namun hari ini, ada satu wajah yang benar-benar terasa asing. Ia merasa tidak pernah melihat sosok yang serupa itu sepanjang usianya yang menjelang tiga lima. Jiwanya bergetar. Sosoknya adalah perempuan berperawakan tinggi, rambutnya pendek, dicat warna pink dengan garis-garis pirang di beberapa helai.

Matanya asing saat gadis itu melirik ke kiri dan menemukan mata Barat sedang melintas ke pandangannya. Berwarna coklat, dan ada bercak seperti abu-abu, tapi bukan abu-abu, lalu ada garis-garis hitam yang mempertegas tatapannya. Matanya kian menyendukan sore yang berkabung hari itu.

Barat meyakini bahwa manusia adalah kotak-kotak misteri yang di dalamnya tersimpan rahasia Tuhan, dan tiap-tiap orang harus membayar berapa pun harganya untuk mengungkap segala rahasianya sebelum mereka mati. Pikiran bahwa itu adalah kotak terakhir yang ia harus pecahkan sebelum kematian menjemputnya berkelebat di kepala Barat.

Ada satu perasaan menggugah, seperti hendak mencicipi sup iga kambing setelah berhari-hari berpuasa. Sudah bertahun-tahun Barat terjebak oleh apa yang dinamakan orang-orang itu sebagai kehidupan yang merdeka. Sejatinya ia tidak pernah menemukan kemerdekaannya, selain terjebak di dalam genangan waktu yang kian hari mempersingkat ajal menjadi dua jengkal dari urat leher. Kini apa yang gurunya sebut cita-cita sewaktu sekolah dasar, muncul di hadapannya seperti dendalion yang entah datang dari mana tiba-tiba mendarat di pahanya.

Saat kereta tiba, dan orang-orang bergumul di samping rel, Barat masih santai di dudukannya, sembari matanya terus mengawasi secara diam-diam kepada gadis itu yang kini memasangkan penyuara jemala berwarna hitam. Saat pintu kereta dibuka, barisan orang-orang masuk dengan tertib, dan ketika dilihatnya gadis itu masuk ke gerbong lima, Barat berpusing ke sana. Dan menemukannya di dalam kereta, tengah duduk di depan sebuah poster restoran bergambarkan ramen yang kuah kuningnya terlihat begitu kental.

Barat mengambil duuk di barisan kursi yang sama dengan gadis itu, mereka hanya terpisah beberapa kursi kosong. Sengaja ia mengambil tempat duduk itu, supaya Barat dapat melihat perempuan itu dengan aman melalui pantulan kaca di depannya. Karena Barat merasa canggung, jantungnya kian berdebar cepat, maka ia mengeluarkan buku dari dalam tas. Hingga ia terlihat seperti sedang membaca kertas, tapi sebenarnya, dengan sudut matanya yang tajam, Barat sedang membaca gadis itu.

Dia tidak percaya apa yang disaksikannya. Melalui pantulan itu, ia melihat gadis itu menggoyang-goyangkan kakinya yang disilangkan. Ia memakai celana jeans, tidak terlalu ketat, tapi cukup ketat untuk memperlihatkan bahwa struktur kakinya yang ideal itu membuatnya tampak anggun dari apa pun yang dilakukannya, dan dari sudut mana pun Barat menatapnya.

Barat menemukan sebatang hidung yang membelah muka perempuan itu menjadi dua. Ini adalah apa yang disebutnya sempurna. Apabila mulutnya tertutup oleh masker, gadis itu tetap memancarkan kecantikannya yang utuh. Dan apabila bagian atas pada mukanya yang ditutup, gadis itu akan terlihat seksi oleh kontur bibir yang seperti ombak di laut merah yang mengalun pelan.

Dia mencoba menerka wajah itu, apakah ia seorang wanita Asia? Tapi matanya serupa Rusia. Bila ia seorang Rus, kulitnya cokelat serupa orang Meksiko. Bila dia berdarah Latin, hidungnya serupa orang Yahudi Eropa. Dicari-carinya kata yang tepat untuk menjelaskan gadis itu, dan satu-satunya yang ia temukan adalah unik. Hanya sebuah kata biasa, tapi benar-benar menggetarkan jiwanya.

Hanya, kata itu juga sebenarnya bagi Barat belum dapat dipakai untuk mendefinisikannya secara sempurna. Ini adalah pengertian dari wajah yang tidak familiar bagi Barat, di belahan dunia mana pun Barat merasa tidak ada yang serupa dengan perempuan itu.

Kereta sedang tidak terlalu ramai. Tapi dibandingkan dengan gerbong yang lain, gerbong lima menjadi tempat yang paling ramai. Orang-orang itu wajahnya mirip di dalam ingatan Barat, jelas Barat pernah melihat salah satu di antara mereka di suatu tempat, atau menemukan orang yang mirip dengan mereka di suatu waktu.

Mereka hanya diam sepanjang perjalanan. Mengawasi jendela luar yang memperlihatkan kota Jakarta yang mulai dibasahi rintik-rintik hujan. Bintang tidak terlihat bertebaran malam itu, tapi lampu pada jendela gedung-gedung terlihat seperti bintang yang menghiasi selimut kabut. Suasana jadi begitu damai, dan dalam kedamaian gerbong kereta yang orang-orangnya seperti mematung, ada satu manusia yang sedang dijamah oleh cinta dan mitos-mitosnya.

Barat melihat dengan mata yang berbinar-binar ke arah jendela, ditemukannya perempuan itu juga sedang menatap ke arahnya melalui biasan kaca jendela. Barat tidak merasa gugup, karena ia yakin betul bahwa apa yang dilihatnya hanya sebatas perasaannya saja. Adalah mustahil cinta menemukan dirinya dalam dua tubuh orang asing di dalam satu gerbong kereta, aliran listriknya tak akan sampai hanya melalui tatapan bias. Tapi, cinta selalu datang secara tidak sengaja. Dan kenyataannya, gadis itu benar-benar mencermati Barat sedari tadi. Hanya saja dia menunggu Barat untuk bertindak. Karena secara tidak diduga, perempuan itu juga merasakan sesuatu.

Seumur-umur Barat menjadi laki-laki, tak pernah disadarinya bahwa perempuan itu serupa burung merak jantan yang mengembangkan ekornya lebar-lebar. Mereka selalu menanti, dan itulah kegemaran seorang perempuan. Oleh sebab itulah perempuan tak pernah merdeka. Bahkan dalam perjuangan kemerdekaannya pun, perempuan menantikan laki-laki menjadi bodoh dan usang.

Begitupun dalam persoalan mereka tentang cinta. Bagi perempuan, adalah suatu penghinaan bagi dirinya apabila mereka duluan yang menyatakannya. Berjuta-juta perang sudah dimenangkan oleh laki-laki, namun yang tak pernah dimengerti oleh wanita adalah bahwa peperangan selalu dimenangkan oleh tindakan, bukan penantian. Dan sesaat kereta berhenti di Lebak Bulus, dua manusia, laki-laki dan perempuan di gerbong lima itu, kalah dalam peperangannya. Orang-orang keluar, begitupun Barat dan perempuan asingnya yang sedari tadi sebenarnya tidak memutar musik apa pun di penyuara jemalanya, melainkan sibuk mendengar detak jantungnya sendiri.

Ketika dilihatnya gadis itu bertemu dengan seorang laki-laki dan memeluknya di luar stasiun, Barat lekas mengalihkan pandangannya, memesan taksi dan pulang dengan hati yang robek. Begitupun dengan gadis itu, sesaat pelukan dilepas, sekilas dia melihat ke belakang dan menemukan Barat sedang menudukkan kepalanya mengurusi pemesanan taksi di gawai, hatinya sedih. Hari itu baginya adalah kegagalan ekor meraknya yang terbesar, karena ia tak pernah terbentang sempurna serupa hari itu.

Malam jadi begitu muram bagi keduanya. Di sebuah restoran, gadis itu menyantap makanannya sembari pura-pura tertawa dan sesekali melihat keluar dan terus menanyakan perihal laki-laki yang melihatnya dengan penuh cinta kasih. Di sebuah apartemen, Barat memberi makan kucingnya, namun dirinya tidak di sana. Badan dan pikirannya masih tertinggal di kereta.

Tapi ia yakin, besok ia akan menemukan gadis itu kembali di stasiun yang sama pada jam yang sama. Namun semesta benar-benar kecewa, semula mitos yang menjadi kenyataan itu kini berpaling menjadi sebuah berita bahwa gadis itu akan berangkat ke Amerika esok hari untuk menempuh pendidikannya kembali. Dan Barat tidak tahu itu.

Saat dilihatnya besok gadis itu tidak ada di sana, ia merasa baik-baik saja, tidak kecewa, mungkin ia hanya terlambat beberapa menit, atau terlalu cepat beberapa menit. Satu-satunya yang menjadi penting bagi Barat adalah, ia menemukan motivasinya untuk terus hidup, karena ia tahu, suatu saat, mereka akan bertemu lagi. Entah dalam pertemuan yang seperti apa, namun misteri tentang wajah itu adalah sesuatu yang harus dipecahkannya.[]

Tags: cerpennuzul ilmiawansastra
ShareTweetSendShare
Previous Post

Truk Berlin: Bincang Cerpen Karya Hassan Blasim

Next Post

Di Bandara Boston ke Jenewa dan Puisi Lainnya

Nuzul Ilmiawan

Nuzul Ilmiawan

Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia di Universitas Andalas, Padang. Lahir di Bireun, 19 Oktober 2001. Instagram: @nuzul_ilmwn19

Artikel Terkait

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
Cerpen

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

24 Juli 2025

Selain rindu, barangkali kau tak punya alasan untuk apa pulang ke Palpitu. Sebuah pertanyaan tentang keadilan bagi ibumu juga belum...

Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
Cerpen

Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab

11 Juli 2025

Sore seperti keliru membaca waktu, demikian orang-orang bilang tentang udara di desa Watu Rinding. Ia terlambat panas, tergesa dingin. Kabutnya...

Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
Cerpen

Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib

20 Mei 2024

“Ini sudah masuk bulan Agustus, Maemuna,” ucap Dae la One sembari membongkar perlengkapan sunat miliknya. “Aku ingat dua minggu lagi...

Cerpen

Calon Kepala Desa

5 Maret 2024

Rampung sepuluh tahun jadi pegawai desa, kini tugasnya selesai. Bukan ia tidak mau berjuang lagi. Tapi ini sudah di luar...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Gambar Artikel Pengarang Feminis

Pengarang Feminis

9 Januari 2021
Perjalanan dan Jarak

Perjalanan dan Jarak

19 April 2021
Seni Memahami (Diri)

Seni Memahami (Diri)

11 April 2022
Ihwal Mawat

Ihwal Mawat

7 Februari 2021
Islam Emang Boleh Lucu?

Islam Emang Boleh Lucu?

28 Februari 2021
Gambar Artikel Senyuman Malaikat Maut

Senyuman Malaikat Maut

20 Desember 2020
Gambar Artikel Sali dan Suli.

Sali dan Suli

6 November 2020
Sekala Niskala

Sekala Niskala

18 April 2022
Di Balik Bilik Kamar

Di Balik Bilik Kamar

12 Maret 2021
Hikayat Seorang Lelaki yang Bersikejar dengan Matahari

Hikayat Seorang Lelaki yang Bersikejar dengan Matahari

16 Februari 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.