Dor! Dor! Dor!
Suara tembakan berkeliaran di telinga kami. Aku, Sapar dan Poltak sontak langsung merunduk. Di balik bebatuan dan rerumputan yang mulai menguning. Mata kami mengintip desing peluru tajam yang mungkin sedang mengincar kepala kami satu demi satu. Kepala kami sudah dihargai puluhan juta rupiah. Peluru itu terus berdesing, kami mengendap masuk dan menyelam ke dalam parit lalu timbul, begitu seterusnya. Ah!
***
Bulu-bulu di mukaku mulai melebat. Beberapa hari ini aku tidak pernah cukuran. Pisau cukur yang dibelikan oleh sipir kenalanku hilang entah kemana. Mungkin dipakai oleh narapidana lain. Kami biasa berbagi pisau cukur disini. Kadang bulu-bulu sisa yang lengket di pisau cukur itu entah dari beberapa narapidana disini. Bukan hanya itu, mungkin bulu-bulu itu tidak hanya dari mencukur di wajahnya tapi bagian lain dari tubuhnya. Ah, persetan! Tapi yang jelas aku sedang memang tidak cukuran. Sipir yang biasa kumintai tolong untuk membelikan cukuran baru di luar pun tidak datang. Aku menduga ia sedang sakit keras sebab sudah tujuh hari aku tidak melihat batang hidungnya.
Aku satu sel dengan Sapar. Lelaki asal Siak yang terkena kasus yang tidak pernah ia lakukan. Kira-kira begitu pengakuannya kepadaku sepanjang kami berkenalan dan ngobrol ketika di dalam sel. Sapar begitu panggilannya, ia masuk belakangan setelah aku menghuni sel ini selama tiga tahun. Sapar dihukum atas kasus penggelapan dana desa. Ia sendiri merasa bahwa sedang dijebak oleh orang-orang yang tidak senang dengan kinerjanya. Sapar ini kepala desa yang tersohor. Tampak dari wajahnya yang teduh dan berwibawa. Ia adalah korban dari kejahatan sekelompok orang yang sedang ingin menggulingkan kekuasaan.
Sapar bercerita kalau uang yang 1 miliar itu sudah dibaginya sesuai dengan apa yang tertulis pada juknis. Kabar satu desa satu miliar dari pemerintah membuat Sapar semakin sibuk dari biasanya. Ia mengaku semenjak menjadi kepala desa dan bertepatan dengan naiknya anggaran untuk kas desa, banyak orang-orang baru yang mendekatinya. Dahulu orang-orang tersebut menganggap Sapar musuhnya, bahkan ada yang tak pernah datang ke rumah Sapar jika hari lebaran. Orang itu adalah tetangganya sendiri. Begitu bencinya dengan Sapar dahulu, kini malah hampir setiap hari datang bertamu dan bertukar pikiran dengan Sapar.
Sapar yang baru saja menjadi kepala desa tentu saja menerima masukan dari warganya. Begitu juga dengan saran-saran. Sapar yang baik memang bijaksana tidak pernah memandang dari agama apa atau suku apa. Uang 1 miliar itu digunakan untuk memperbaiki semua infrastruktur pembangunan desa. Mulai dari rumah ibadah sampai pembersihan kali-kali di desanya. Sampai pada suatu ketika dana di desa tersebut masih bersisa cukup banyak.
Sapar membawanya pulang ke rumah, tetapi di tengah perjalanan. Saat itu uang tersebut ia bawa di dalam mobil bersama warga lain yanga ia tidak curigai belakangan hari. Ia kaget, sesampainya di rumah uang tersebut sudah tidak ada di mobil. Satu pun tidak ada yang mengaku kemana raibnya uang tersebut. Sapar pun langsung masuk ke dalam sebuah jebakan dari orang-orang yang rakus dan gila kekuasaan. Sapar tidak sanggup mengganti uang tersebut dan semenjak itu ia pun bergabung denganku di hotel prodeo.
Sapar berkepala plontos, bentuk wajahnya bulat. Semakin bulat ketika ia sedang lapar dan bercerita.
“Woi, Sapar. Kau simpan rokok? Aku minta sebatang saja. Nanti kalau kita sudah keluar, aku ganti!”, terdengar suara dari luar sel.
Suara itu tak lain adalah suara Poltak. Seorang narapidana yang ditangkap karena membunuh selingkuhan istrinya. Wataknya sangat berbeda dengan Sapar. Poltak adalah orang yang tak perlu basa-basi. Semenjak dia masuk dalam jeruji besi, suaranya makin kencang. Apalagi kalau meminta rokok dengan Sapar.
“Tak ada Poltak. Lagian kalau ada, kapan pula kau ganti? kapan kita keluar dari sini? menyanyah saja kau. Besar ulok!”, balas Sapar.
Mendengar hal tersebut Poltak terpancing untuk menyusun sebuah rencana.
“Hai kalian kemari, mendekat! Aku ada rencana”
Poltak membuat rencana licik. Ia mengajari kami bagaimana untuk keluar dari sel ini. Ia menjelaskan seperti dosen di perguruan tinggi, sebab mulai dari alat dan bahan sampai metode penyelesaian. Kami pun takjub melihat apa yang ia sampaikan.
Caranya kita ajak kawan-kawan membuat kerusuhan di lapas ini. Modusnya kita kelaparan, dan tidak ada air bersih untuk mandi dan mencuci. Kita pegang satu orang sipir sebagai tahanan. Pasti lapas ini akan rusuh, api dimana-mana dan kita tinggal menyelesaikan permasalahan bagaimana caranya memanjat pagar-pagar berduri itu.
Poltak mahir dalam ahli strategi. Ia pun semakin yakin dengan apa yang telah dirancangnya. Semuanya harus berani dan siap mati.
Mendengar perkataan tersebut Sapar tidak bisa menjawab.
“Kenapa kau diam Sapar!”
“Aku tidak bisa menjawab karena istriku sedang hamil tua. Kalau aku mati nanti bagaimana?”
Poltak pun tertegun, “Ya sudah kau tinggal saja disini.”
Sapar merasa bahwa hidupnya dijebak. Hukuman yang ia jalani mendekam di penjara selama dua tahun pasti akan sangat lama. Terlebih istrinya sedang hamil tua. Sapar pun uring-uringan beberapa hari. Ia meminta pendapatku.
“Bagaimana? Apakah aku harus ikut dalam pelarian ini?”
“Ya tentu saja”, jawabku lunas.
Kami pun melakukan ide tersebut, cepat sekali informasi strategi dari Poltak sampai ke telinga narapidana lain. Semua itu terjadi ketika narapidana satu demi satu dikeluarkan untuk makan. Orang-orang mulai meneriakkan ‘lapar’. Mereka pun saling menyahut dan tentu saja rencana itu sudah dilakukan dengan matang. Poltak pun menyulut api, lapas pun menyala di malam hari. Api-api merambat dari dapur umum, sampai ke koridor tamu. Sipir yang ditunggu pun telah menjadi tawanan. Begitu rapinya Poltak menjadi komandan dalam pelarian ini.
Lapas rusuh, kursi dibakar, meja hancur, hampir seluruh narapida yang belum sempat keluar memukul-mukul besi selnya. Meminta untuk dilepaskan seperti yang lainnya. Sipir-sipir lain langsung keluar dari lapas. Narapidana semakin brutal. Dibawah komando Poltak, semuanya mulai menjalin tali dari kain untuk memanjat pagar. Mereka berhasil menjalin tali dan menyuruh Poltak untuk naik pertama kali. Poltak pun berhasil melewati pagar berduri yang sangat tinggi. Ia jatuh ke semak-semak di samping lapas.
Selanjutnya giliran Sapar yang naik. Ia pun dengan semangat melilit badannya ke kain tersebut. Semangat dan amarah yang membara membuat Sapar juga berhasil menaklukkkan ketinggian. Setelah Sapar, barulah aku yang memanjat. Kain itu pun aku lilitkan tanpa ada cela. Aku pun sampai di semak-semak. Poltak sudah menunggu. Kami masih menunggu yang lainnya naik satu demi satu. Namun, suara sirine polisi dan pemadam kebakaran telah sampai di depan lapas. Polisi cepat datang dan memadamkan api. Lapas berhasil dikuasai kembali. Kami bertiga tak bisa berbuat apa-apa. Kami masuk ke dalam semak-semak tanpa diterangi apapun. Suara sirine polisi itu semakin kuat. Mereka berada di sekeliling kami. Kami berjalan sangat pelan. Langkah-langkah kecil dengan suara pijakan air rawa, kami berharap tidak ada yang mendengar suara langkah itu.
“Cari disana! Jangan sampai ada yang lolos!”
Mendengar suara itu hati kami pun kecut. Walaupun gelap, namun aku bisa melihat wajah Poltak begitu pucat, apalagi wajah Sapar. Kami terdiam beberapa saat, lalu mengganti langkah dengan menyelam dan timbul. Kami merangkak dengan menyisakan setengah wajah tidak masuk air untuk bernafas. Suasana semakin tegang, beberapa laser dari senapan berkeliaran di atas kepala kami. Mereka terus menyisir dan mencari.
Kepalaku sudah mulai pecah. Ada banyak ingatan-ingatan yang muncul seketika. Aku ingat bahwa keluargaku pasti tidak lagi menerimaku. Mereka sadar bahwa aku adalah anak yang tidak tahu diuntung dan tak diperlukan lagi di rumah. Lain lagi dengan Sapar, ia disadarkan dengan diorama istrinya yang sedang hamil tua. Menunggu di rumah dengan segenap rasa bahagia. Andai saja ia pulang lebih cepat dan memberikan sebuah kejutan untuk istri dan calon anaknya. Sementara Poltak, ia tidak memiliki siapa-siapa lagi. Ia santai saja dan cuek. Matanya liar melihat senjata-senjata polisi itu dari kejauhan.
Kami melihat suasana batin yang bergemuruh di dada kami. Kami pun memutuskan untuk mencari batu yang agak besar dan bersembunyi disana. Kami ingin ngobrol dengan syahdu dari hati ke hati tentang pelarian ini. Kemana kaki ini akan melangkah selanjutnya, menyusuri ruang gelap atau akan ada cahaya yang terang benderang menyambut di suatu tempat.
“Bagaimana? Apa yang harus kita lakukan?”, ucapku lirih.
“Lakukan seperti biasa, seperti yang kita rencanakan”, ucap Poltak.
“Ini tidak mungkin dilakukan, kita akan mati sia-sia. Harus ada yang mengalihkan dan menjadi korban”, ucap Sapar.
Lalu mata kami pun saling menatap tajam. Di dalam bola mata kami seolah ada pisau yang siap menikam satu sama lain. Gejolak ingin lepas dari kungkungan membuat kami tidak ingin menjadi persembahan. Kami diam tak bersuara. Hanya ada suara siulan angin di sela-sela tubuh kami. Kami menyimpan api masing-masing di dalam hati.
“Kau saja Poltak. Kau tidak memiliki siapa-siapa lagi disini. Kalau kau masuk penjara lagi, tidak ada yang menangisimu.”, ucapku tegas.
“Aku tidak mau! Semua ini aku yang rencanakan. Jadi kebebasan ini sebenarnya milikku.”
Sapar terdiam. Ia pun tidak bisa berkata apa-apa setelah mendengar jawaban dari Poltak. Ia dan aku menatap dalam. Aku tahu betul di dalam hatinya ada rasa cemas yang bergemuruh tak henti. Persis seperti apa yang ada di dalam hatiku. Kami sama-sama merasakan kegetiran dan menolak kenyataan.
“Ayolah! Siapa dari kalian berdua yang berkorban untuk menjadi pengalih dan masuk kembali ke dalam lapas”, ucap Poltak menyeringai.
“Aku saja!”, ucap Sapar.
“Tapi…”
“Tidak apa-apa. Lagipula waktu hukumanku masih dua tahun lagi. Kalau pun yang kalian pikirkan adalah istriku yang sedang hamil. Ia pun sudah ikhlas jika aku masuk ke dalam lapas. Ia tahu bahwa aku masuk karena dijebak. Biar aku saja yang melakukan ini.”
“Tidak mungkin Sapar, kita bertiga…”, ucapku
“Ah sudahlah! Sapar sudah menerima. Apa boleh buat. Ayo kita cari jalan lain dan biar kan Sapar menyerahkan dirinya.”, ucap Poltak.
Lantas Poltak langsung menarik tanganku. Ia genggam dengan kuat. Matanya memaksaku untuk melangkah meninggalkan Sapar. Aku melihat betul mata Sapar malam itu. Ada kepiluan yang tak bisa ia ungkap, air itu pun mengalir jelas di matanya. Di dalam gelapnya malam, ada rembulan di bola matanya. Ada ingin yang tak bisa disampaikan. Ada pesan yang hanya bisa dilukiskan oleh angin. Langkah kami pun menjauhinya. Ia pun dengan tegap persis seperti seorang kepala desa melangkah ke luar dari persembunyian. Ia gariskan wajah wibawa dan bijaksana sambil mengangkat kedua tangannya. Ia menyerah dalam pelarian. Langkah demi langkah yang terseok, ia dekatkan ke arah aparat. Moncong senjata yang puluhan jumlahnya sudah mengarah ketubuhnya. Laser senapan laras panjang sudah menyatu dengan kulitnya. Tubuhnya penuh dengan titik-titik hijau dan merah. Ia melambai ke belakang, persis ke arah kami dari kejauhan. Aku melihat tatapan Sapar. Tatapan keikhlasan.
Dor! Dor! Dor!