• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Senin, 25 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Cerpen

Calon Kepala Desa

Yusar Firmansyah by Yusar Firmansyah
5 Maret 2024
in Cerpen
0
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Rampung sepuluh tahun jadi pegawai desa, kini tugasnya selesai. Bukan ia tidak mau berjuang lagi. Tapi ini sudah di luar kemampuannya. Orang-orang jenis mereka akan melakukan apa pun demi mencapai tujuannya. Apa pun. Termasuk merubah aturan.

Ia tahu orang-orang ini akan datang. Ia dan Pak Kades sudah siap. Tapi waktu siapa yang tahu? Yang ia tahu, waktu bisa merubah seseorang—seharusnya ke arah yang lebih baik—namun siapa yang mengarahkannya. Ia tidak tahu.

Terkadang dirinya bertanya-tanya dengan lingkungan sekarang: bisakah lingkungan ini melahirkan satu saja pemimpin yang jujur?

***

Mahmud sudah mengenal Pak Kades dari umur empat tahun. Sejak SD hingga sekarang sudah memiliki istri dan anak.

Lima belas tahun yang lalu Pak Kades hanyalah warga biasa yang menggantungkan hidupnya dari kerja serabutan. Perjalanannya dimulai dari ketua RT lalu jadi ketua RW. Dan sekarang jadi Kepala Desa hingga dua periode.

Alasan ia mendukungnya adalah karena beliau merupakan orang yang berkarakter. Beliau sangat berambisi. Ambisi yang baik. Tapi yang terpenting adalah beliau orang yang jujur.

Tapi itu sembilan tahun yang lalu. Sekarang, ia tidak mengenalnya lagi.

Pertama, Pak Kades bilang kalau Rangib, anak pertamanya, akan kerja di sini untuk sementara. Mahmud tidak melihat ada yang salah. Ia setuju. Mahmud bahkan senang karena ada anak muda yang mau kerja di desa.

Tapi, belum seminggu Rangib bekerja, Pak Kades langsung menunjuknya jadi ketua bendahara. Melangkahi orang-orang berpengalaman. Orang-orang kompeten yang sudah lama di sana.

Ini tidak benar, pikir Mahmud. “Jika Rangib ingin bekerja, bekerjalah seperti orang lain. Berjuanglah seperti orang lain. Jangan karena dia anak bapak dia bisa seenaknya naik jabatan seperti itu.”

Jika Mahmud yang bicara, Pak Kades biasanya mendengarkan. Tapi hari itu, detik itu, untuk pertama kalinya ia sadar ada yang tidak beres dengan diri Pak Kades. Semakin hari, Mahmud semakin yakin. Ada banyak bukti. Pegawai-pegawai mulai dipecat tanpa alasan yang jelas. Posisi-posisi diisi oleh orang terdekat dan bukan tercakap. Izin-izin disetujui tanpa ada diskusi.

Puncaknya, 2 November 2023. Saat itu Mahmud sedang di rumah sedang menikmati akhir pekan bersama keluarga. Lalu, kabar itu muncul: Rangib, seorang anak muda, anak kepala desa, yang bahkan belum setahun jadi pegawai desa, mencalonkan diri sebagai kepala desa.

Jika ada berita penting, Mahmud adalah orang pertama yang akan mengetahuinya. Tapi hari itu tidak ada kabar sedikit pun. Tidak dengan telepon begitu pun dengan pesan. Semuanya sunyi lalu meledak seperti bom yang terinjak.

Keputusan ini jauh dari sikap Pak Kades yang ia kenal. Ia ingat betapa tegasnya beliau menindak pegawai-pegawai desa, hingga RT atau RW, yang korupsi atau tidak serius mengabdi. Tapi kini ia tidak paham lagi. Ia terkejut bagaimana seseorang bisa berubah begitu cepat.

Setelah berita itu sampai ke telinga Mahmud, hari itu juga ia langsung berangkat ke balai desa. Sesampainya di kantor desa, ia melihat begitu banyak wajah-wajah yang asing. Tapi, ketika ia mengamatinya satu per satu, ia mulai mengenali wajah-wajah itu.

Mereka adalah orang-orang kaya. Para konglomerat. Orang-orang yang ia dan Pak Kades selalu tolak selama sembilan tahun terakhir.

Mahmud berjalan menghampiri Pak Kades dan meminta waktunya. Yang diminta bilang sebentar. Tetapi hingga sore, sampai tidak ada lagi orang yang tersisa, Pak Kades tidak sedikit pun meliriknya. Ia memutuskan untuk menemuinya lagi besok.

Maka paginya pada pukul sepuluh ia menaiki motor dan berangkat ke kantor desa. Ia turun dari motor dan berjalan dan menuju ke lantai dua. Setiba di sana, Mahmud melihat dua orang pria besar sedang berdiri di depan pintu. Ia kebingungan, tapi ia tetap menghampiri.

“Saya ada janji dengan Pak Kades,” katanya.

Pria sebelah kiri menjawab, “Pak Kades sedang tidak menerima tamu.”

“Saya sudah janji dengan dia.”

Pria itu mengangkat tangannya dan menunjuk kursi yang ada di ujung. “Baik, silakan tunggu di sana.”

Mahmud melihat kursi itu dan melihat kembali pria besar tadi. Ia melihat kembali ke kursi dan berjalan ke sana dan duduk di sana.

Satu jam berlalu. Tidak ada kabar. Dua jam berlalu. Adzan Dzuhur berkumandang. Tidak ada tanda-tanda. Ia berdiri dan menghampiri pria itu lagi.

“Saya harus bicara dengan Pak Kades.”

Pria sebelah kanan menjawab, “Pak Kades sedang sibuk.”

Sebelum Mahmud membalas terdengar suara percikan di pintu dan pintu pun terbuka. Sosok yang ia tunggu-tunggu berdiri di sana memegang pegangan pintu.

“Mahmud,” sapanya, penuh antusias.

“Pak Kades,” Mahmud mengangguk. “Ada yang harus saya bicarakan.”

“Baik Mahmud. Tolong kalian berdua catat itu. Saya harus pergi makan siang.”

“Ini penting,”

“Makan juga penting, Mahmud.”

“Seorang Pak Kades lebih memilih makan daripada mendengarkan berita penting dari pegawainya. Baiklah. Maaf mengganggu waktu bapak.”

Mahmud mundur dan menepi ke tembok. Memberikan ruang agar Pak Kades bisa lewat.

“Lima menit,” katanya.

“Lima menit.”

Pak kades berjalan masuk dan Mahmud mengikutinya dari belakang. Pak Kades duduk di sofa hijau. Pintu menutup di belakang Mahmud. Ia masih berdiri. Ia melihat pintu di belakangnya dan melihat kembali ke depan.

“Sebahaya itukah jadi kepala desa?”

“Hanya jaga-jaga.”

“Kenapa sekarang?”

“Waktumu empat menit lagi.”

“Sepuluh tahun saya mendampingi bapak. Melawan orang-orang tidak jujur dan rakus. Saya tidak tahu kalau manusia bisa berubah secepat ini.”

“Itukah yang penting?”

“Taat. Itulah yang penting.”

“Menurutmu saya tidak taat?”

“Apa yang akan dilakukan diri bapak yang dulu jika ia melihat diri bapak yang sekarang?”

“Jangan bawa-bawa masa lalu. Saya melakukan ini untuk masa depan. Demi kalian semua.”

“Jika orang seberintegritas dan sejujur bapak bisa berubah sewaktu-waktu, saya tidak tahu harus berharap kepada siapa lagi. Apa yang harus saya ajarkan pada cucu dan anak saya. Kita ini contoh. Bapak itu pemimpin. Sepuluh tahun kita membangun ini dan setelah selesai bapak malah merusaknya kembali. Apa bedanya kita dengan penjajah?”

Pak Kades berdiri dari sofa. “Kamu ini tidak tahu apa-apa.”

“Apa yang saya tidak tahu?”

“Kamu pikir saya lakukan ini demi kepentingan saya? Ini demi desa. Semua ini demi masyarakat. Persetan etika. Yang terpenting itu bisa mendatangkan kesejahteraan.”

“Apa itu sejahtera?”

“Saya tidak perlu diingatkan.”

“Sebegitu takutkah bapak kembali ke pekerjaan bapak yang dulu? Hingga mengotori Rangib anak bapak sendiri.”

“Hati-hati kalau bicara.”

“Saya mengundurkan diri.”

Mahmud mundur dan berjalan ke pintu. Pintu itu terbuka. Ia keluar, lalu pergi dari sana.

Saat menaiki motor, ia tidak yakin kata-kata itu benar keluar dari mulutnya. Sesampainya di rumah ia turun dari motor dan melepas helm. Istrinya datang dan mencium tangannya. Mahmud mencium keningnya. Ia berjalan ke teras dan duduk di kursi. Istrinya duduk di sampingnya.

“Ada apa?”

Mahmud menceritakan semuanya.

Selesai mandi dan makan malam ia duduk menonton TV. Ia terus menonton meski anak dan istrinya sudah tidur. Tiba pukul sepuluh malam, ketika matanya sudah layu, ia memutuskan untuk beranjak dari kursi dan berjalan ke kamar.

Dalam perjalanan ia melihat pintu kamar putranya terbuka. Ia menghampirinya dan berdiri di sana. Sebelum menutup pintu ia memandang ke dalam. Ia berjalan pelan dan berhenti di samping putranya yang sedang tidur. Pelan-pelan ia mengusap rambutnya.

Jadilah anak yang jujur, Nak, yang memiliki etika. Bisik Mahmud disusul ciuman ke kening. Sekarang ia berjalan keluar, menyusul tidur.

***

Satu bulan kemudian

Mahmud turun dari motor, berjalan masuk ke kantor desa, menaiki tangga menuju ke lantai dua. Ia mengetuk pintu. Sebuah suara menyuruhnya untuk masuk. Ketika ia masuk, Pak kades berdiri dan mempersilahkannya duduk.

“Kopi?” Tawarnya.

“Tidak perlu. Tia sudah membuatkan saya tadi pagi.”

“Oh, Tia, bagaimana kabarnya?”

“Alhamdulillah, dia baik-baik saja.”

“Dan Agus?”

“Agus sangat baik.”

“Berapa tahun ia sekarang?”

“Lima.”

“Lima tahun?”

“Lima.”

Pak kades mengangguk. Ia melihat ke arah kaca lalu kembali dan memajukan badannya.

“Mahmud, Saya tidak tahu cara membalasnya. Jasamu. Saya tidak akan melupakannya,” Pak kades melihat Mahmud. “Saya sungguh-sungguh.”

“Terima kasih, Pak Kades.”

“Tidak usah formal seperti itu.”

“Baiklah.”

“Jika kamu butuh sesuatu, pintu saya selalu terbuka.”

“Terima kasih.”

“Saya hanya ingin hubungan kita tetap baik-baik saja.”

“Saya juga begitu,”

“Saya tidak tahu bagaimana meyakinkan kamu lagi. Ini bukan untuk saya. Ini untuk masyarakat. Untuk kesejahteraan. Untuk desa yang adil dan makmur.”

“Saya juga tidak tahu bagaimana meyakinkan bapak.”

Pak Kades memundurkan badannya. Ia melihat ke arah kaca lalu mendorong surat yang ada di meja.

Mahmud mengambil pulpen dari saku bajunya lalu menekannya satu kali dan menandatangani surat itu. “Saya tahu,” katanya.

“Apa yang kamu tahu?”

“Jika hati nurani bapak tahu itu salah, tapi tetap melakukannya, siapa yang akan bapak dengar?” Kata Mahmud, lalu berdiri dan mendorong kursinya.

“Terima kasih, Pak Kades. Ada banyak barang-barang yang harus saya bereskan.”[]

 

Tags: cerpenmetaforsastra
ShareTweetSendShare
Previous Post

Anak-anak Afrika Sedang Makan di Warung Tegal

Next Post

Temu Buku dan Sesi Bincang Editor di Yogyakarta

Yusar Firmansyah

Yusar Firmansyah

Penulis asal Bandung, Jawa Barat. Bisa dihubungi via Instagram: @yusar.firmansyah

Artikel Terkait

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
Cerpen

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

24 Juli 2025

Selain rindu, barangkali kau tak punya alasan untuk apa pulang ke Palpitu. Sebuah pertanyaan tentang keadilan bagi ibumu juga belum...

Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
Cerpen

Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab

11 Juli 2025

Sore seperti keliru membaca waktu, demikian orang-orang bilang tentang udara di desa Watu Rinding. Ia terlambat panas, tergesa dingin. Kabutnya...

Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
Cerpen

Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib

20 Mei 2024

“Ini sudah masuk bulan Agustus, Maemuna,” ucap Dae la One sembari membongkar perlengkapan sunat miliknya. “Aku ingat dua minggu lagi...

Perihal Wajah Asing di Kereta
Cerpen

Perihal Wajah Asing di Kereta

8 Desember 2023

Langit Jakarta sedang melayu sore itu, awannya yang mendung tak karuan diembus angin entah ke mana. Kadang ke timur, kadang...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Di Balik Senyum Warga Desa

Di Balik Senyum Warga Desa

13 Juli 2021
Minyak Goreng: Objek Doktrin Ekonomi Politik Klasik “Laissez-faire”

Minyak Goreng: Objek Doktrin Ekonomi Politik Klasik “Laissez-faire”

16 April 2022
Gambar Artikel Ketan Memang 'Keraketan'

Ketan Memang ‘Keraketan’

25 November 2020
Perbedaan Sikap dan Budaya Orang Jerman dan Indonesia

Perbedaan Sikap dan Budaya Orang Jerman dan Indonesia

24 Maret 2022
Gambar Artikel Wisata di Tarempa : Perjalanan Menuju Tarempa, Kepulauan Anambas

Perjalanan Menuju Tarempa, Kepulauan Anambas

30 April 2021
Manfaat Memiliki Daily to Do List

Manfaat Memiliki Daily to Do List

19 November 2021
Tadabbur via Momentum Hujan

Tadabbur via Momentum Hujan

6 Maret 2022
Promothean

Promothean

1 Februari 2021
Penjaring Ikan di Laut

Penjaring Ikan di Laut

2 April 2021
Mengapa Perlu Membaca Sastra?

Mengapa Perlu Membaca Sastra?

23 September 2022
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (213)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (19)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.