Rampung sepuluh tahun jadi pegawai desa, kini tugasnya selesai. Bukan ia tidak mau berjuang lagi. Tapi ini sudah di luar kemampuannya. Orang-orang jenis mereka akan melakukan apa pun demi mencapai tujuannya. Apa pun. Termasuk merubah aturan.
Ia tahu orang-orang ini akan datang. Ia dan Pak Kades sudah siap. Tapi waktu siapa yang tahu? Yang ia tahu, waktu bisa merubah seseorang—seharusnya ke arah yang lebih baik—namun siapa yang mengarahkannya. Ia tidak tahu.
Terkadang dirinya bertanya-tanya dengan lingkungan sekarang: bisakah lingkungan ini melahirkan satu saja pemimpin yang jujur?
***
Mahmud sudah mengenal Pak Kades dari umur empat tahun. Sejak SD hingga sekarang sudah memiliki istri dan anak.
Lima belas tahun yang lalu Pak Kades hanyalah warga biasa yang menggantungkan hidupnya dari kerja serabutan. Perjalanannya dimulai dari ketua RT lalu jadi ketua RW. Dan sekarang jadi Kepala Desa hingga dua periode.
Alasan ia mendukungnya adalah karena beliau merupakan orang yang berkarakter. Beliau sangat berambisi. Ambisi yang baik. Tapi yang terpenting adalah beliau orang yang jujur.
Tapi itu sembilan tahun yang lalu. Sekarang, ia tidak mengenalnya lagi.
Pertama, Pak Kades bilang kalau Rangib, anak pertamanya, akan kerja di sini untuk sementara. Mahmud tidak melihat ada yang salah. Ia setuju. Mahmud bahkan senang karena ada anak muda yang mau kerja di desa.
Tapi, belum seminggu Rangib bekerja, Pak Kades langsung menunjuknya jadi ketua bendahara. Melangkahi orang-orang berpengalaman. Orang-orang kompeten yang sudah lama di sana.
Ini tidak benar, pikir Mahmud. “Jika Rangib ingin bekerja, bekerjalah seperti orang lain. Berjuanglah seperti orang lain. Jangan karena dia anak bapak dia bisa seenaknya naik jabatan seperti itu.”
Jika Mahmud yang bicara, Pak Kades biasanya mendengarkan. Tapi hari itu, detik itu, untuk pertama kalinya ia sadar ada yang tidak beres dengan diri Pak Kades. Semakin hari, Mahmud semakin yakin. Ada banyak bukti. Pegawai-pegawai mulai dipecat tanpa alasan yang jelas. Posisi-posisi diisi oleh orang terdekat dan bukan tercakap. Izin-izin disetujui tanpa ada diskusi.
Puncaknya, 2 November 2023. Saat itu Mahmud sedang di rumah sedang menikmati akhir pekan bersama keluarga. Lalu, kabar itu muncul: Rangib, seorang anak muda, anak kepala desa, yang bahkan belum setahun jadi pegawai desa, mencalonkan diri sebagai kepala desa.
Jika ada berita penting, Mahmud adalah orang pertama yang akan mengetahuinya. Tapi hari itu tidak ada kabar sedikit pun. Tidak dengan telepon begitu pun dengan pesan. Semuanya sunyi lalu meledak seperti bom yang terinjak.
Keputusan ini jauh dari sikap Pak Kades yang ia kenal. Ia ingat betapa tegasnya beliau menindak pegawai-pegawai desa, hingga RT atau RW, yang korupsi atau tidak serius mengabdi. Tapi kini ia tidak paham lagi. Ia terkejut bagaimana seseorang bisa berubah begitu cepat.
Setelah berita itu sampai ke telinga Mahmud, hari itu juga ia langsung berangkat ke balai desa. Sesampainya di kantor desa, ia melihat begitu banyak wajah-wajah yang asing. Tapi, ketika ia mengamatinya satu per satu, ia mulai mengenali wajah-wajah itu.
Mereka adalah orang-orang kaya. Para konglomerat. Orang-orang yang ia dan Pak Kades selalu tolak selama sembilan tahun terakhir.
Mahmud berjalan menghampiri Pak Kades dan meminta waktunya. Yang diminta bilang sebentar. Tetapi hingga sore, sampai tidak ada lagi orang yang tersisa, Pak Kades tidak sedikit pun meliriknya. Ia memutuskan untuk menemuinya lagi besok.
Maka paginya pada pukul sepuluh ia menaiki motor dan berangkat ke kantor desa. Ia turun dari motor dan berjalan dan menuju ke lantai dua. Setiba di sana, Mahmud melihat dua orang pria besar sedang berdiri di depan pintu. Ia kebingungan, tapi ia tetap menghampiri.
“Saya ada janji dengan Pak Kades,” katanya.
Pria sebelah kiri menjawab, “Pak Kades sedang tidak menerima tamu.”
“Saya sudah janji dengan dia.”
Pria itu mengangkat tangannya dan menunjuk kursi yang ada di ujung. “Baik, silakan tunggu di sana.”
Mahmud melihat kursi itu dan melihat kembali pria besar tadi. Ia melihat kembali ke kursi dan berjalan ke sana dan duduk di sana.
Satu jam berlalu. Tidak ada kabar. Dua jam berlalu. Adzan Dzuhur berkumandang. Tidak ada tanda-tanda. Ia berdiri dan menghampiri pria itu lagi.
“Saya harus bicara dengan Pak Kades.”
Pria sebelah kanan menjawab, “Pak Kades sedang sibuk.”
Sebelum Mahmud membalas terdengar suara percikan di pintu dan pintu pun terbuka. Sosok yang ia tunggu-tunggu berdiri di sana memegang pegangan pintu.
“Mahmud,” sapanya, penuh antusias.
“Pak Kades,” Mahmud mengangguk. “Ada yang harus saya bicarakan.”
“Baik Mahmud. Tolong kalian berdua catat itu. Saya harus pergi makan siang.”
“Ini penting,”
“Makan juga penting, Mahmud.”
“Seorang Pak Kades lebih memilih makan daripada mendengarkan berita penting dari pegawainya. Baiklah. Maaf mengganggu waktu bapak.”
Mahmud mundur dan menepi ke tembok. Memberikan ruang agar Pak Kades bisa lewat.
“Lima menit,” katanya.
“Lima menit.”
Pak kades berjalan masuk dan Mahmud mengikutinya dari belakang. Pak Kades duduk di sofa hijau. Pintu menutup di belakang Mahmud. Ia masih berdiri. Ia melihat pintu di belakangnya dan melihat kembali ke depan.
“Sebahaya itukah jadi kepala desa?”
“Hanya jaga-jaga.”
“Kenapa sekarang?”
“Waktumu empat menit lagi.”
“Sepuluh tahun saya mendampingi bapak. Melawan orang-orang tidak jujur dan rakus. Saya tidak tahu kalau manusia bisa berubah secepat ini.”
“Itukah yang penting?”
“Taat. Itulah yang penting.”
“Menurutmu saya tidak taat?”
“Apa yang akan dilakukan diri bapak yang dulu jika ia melihat diri bapak yang sekarang?”
“Jangan bawa-bawa masa lalu. Saya melakukan ini untuk masa depan. Demi kalian semua.”
“Jika orang seberintegritas dan sejujur bapak bisa berubah sewaktu-waktu, saya tidak tahu harus berharap kepada siapa lagi. Apa yang harus saya ajarkan pada cucu dan anak saya. Kita ini contoh. Bapak itu pemimpin. Sepuluh tahun kita membangun ini dan setelah selesai bapak malah merusaknya kembali. Apa bedanya kita dengan penjajah?”
Pak Kades berdiri dari sofa. “Kamu ini tidak tahu apa-apa.”
“Apa yang saya tidak tahu?”
“Kamu pikir saya lakukan ini demi kepentingan saya? Ini demi desa. Semua ini demi masyarakat. Persetan etika. Yang terpenting itu bisa mendatangkan kesejahteraan.”
“Apa itu sejahtera?”
“Saya tidak perlu diingatkan.”
“Sebegitu takutkah bapak kembali ke pekerjaan bapak yang dulu? Hingga mengotori Rangib anak bapak sendiri.”
“Hati-hati kalau bicara.”
“Saya mengundurkan diri.”
Mahmud mundur dan berjalan ke pintu. Pintu itu terbuka. Ia keluar, lalu pergi dari sana.
Saat menaiki motor, ia tidak yakin kata-kata itu benar keluar dari mulutnya. Sesampainya di rumah ia turun dari motor dan melepas helm. Istrinya datang dan mencium tangannya. Mahmud mencium keningnya. Ia berjalan ke teras dan duduk di kursi. Istrinya duduk di sampingnya.
“Ada apa?”
Mahmud menceritakan semuanya.
Selesai mandi dan makan malam ia duduk menonton TV. Ia terus menonton meski anak dan istrinya sudah tidur. Tiba pukul sepuluh malam, ketika matanya sudah layu, ia memutuskan untuk beranjak dari kursi dan berjalan ke kamar.
Dalam perjalanan ia melihat pintu kamar putranya terbuka. Ia menghampirinya dan berdiri di sana. Sebelum menutup pintu ia memandang ke dalam. Ia berjalan pelan dan berhenti di samping putranya yang sedang tidur. Pelan-pelan ia mengusap rambutnya.
Jadilah anak yang jujur, Nak, yang memiliki etika. Bisik Mahmud disusul ciuman ke kening. Sekarang ia berjalan keluar, menyusul tidur.
***
Satu bulan kemudian
Mahmud turun dari motor, berjalan masuk ke kantor desa, menaiki tangga menuju ke lantai dua. Ia mengetuk pintu. Sebuah suara menyuruhnya untuk masuk. Ketika ia masuk, Pak kades berdiri dan mempersilahkannya duduk.
“Kopi?” Tawarnya.
“Tidak perlu. Tia sudah membuatkan saya tadi pagi.”
“Oh, Tia, bagaimana kabarnya?”
“Alhamdulillah, dia baik-baik saja.”
“Dan Agus?”
“Agus sangat baik.”
“Berapa tahun ia sekarang?”
“Lima.”
“Lima tahun?”
“Lima.”
Pak kades mengangguk. Ia melihat ke arah kaca lalu kembali dan memajukan badannya.
“Mahmud, Saya tidak tahu cara membalasnya. Jasamu. Saya tidak akan melupakannya,” Pak kades melihat Mahmud. “Saya sungguh-sungguh.”
“Terima kasih, Pak Kades.”
“Tidak usah formal seperti itu.”
“Baiklah.”
“Jika kamu butuh sesuatu, pintu saya selalu terbuka.”
“Terima kasih.”
“Saya hanya ingin hubungan kita tetap baik-baik saja.”
“Saya juga begitu,”
“Saya tidak tahu bagaimana meyakinkan kamu lagi. Ini bukan untuk saya. Ini untuk masyarakat. Untuk kesejahteraan. Untuk desa yang adil dan makmur.”
“Saya juga tidak tahu bagaimana meyakinkan bapak.”
Pak Kades memundurkan badannya. Ia melihat ke arah kaca lalu mendorong surat yang ada di meja.
Mahmud mengambil pulpen dari saku bajunya lalu menekannya satu kali dan menandatangani surat itu. “Saya tahu,” katanya.
“Apa yang kamu tahu?”
“Jika hati nurani bapak tahu itu salah, tapi tetap melakukannya, siapa yang akan bapak dengar?” Kata Mahmud, lalu berdiri dan mendorong kursinya.
“Terima kasih, Pak Kades. Ada banyak barang-barang yang harus saya bereskan.”[]