Langkah kakinya begitu lemah, wajah pucat kemerahan tertutupi topi bundar berwarna putih, matanya memandangi satu nisan tanpa berkedip. Tangan kanannya digenggam oleh seorang gadis berambut pirang. Beberapa saat, nenek bertopi bundar itu mendongak kepada gadis manis penuntunnya. Telunjuk rapuhnya menunjuk nisan usang bertuliskan.
RIP
Harald Morscheck
Dengan ucapan terbata-bata, nenek di samping gadis berbadan gemuk mulai mengucapkan sepatah kata
“Nak…Siapa nama orang itu?” Telunjuk tangan kanannya gemetar menunjuk nisan putih di sebelah kanannya.
“Almarhum Harald Morscheck, Nek,” tukas gadis tersebut sambil tangannya mengelus pundak sang nenek.
Nenek lalu menundukkan kepalanya ke bawah, banyaknya keriput di kelopak matanya menandakan usia si nenek tinggal menghitung hari lagi.
“Nak, nenek punya wasiat,” suara kelu menggetarkan meluncur dari bibir tipis lembek nenek.
“Apa itu nek?” Sambil tangan halus gadis itu mengelus-elus telapak tangan yang sudah banyak keriput dan urat-urat yang telah mencuat itu.
“Nenek punya cerita, nenek ingin kamu mengingat semuanya.” Ucap nenek sambil terbatuk-batuk.
“Kenapa nenek tidak menceritakan hal itu padaku sejak dulu?” tanya gadis tersebut dengan hati-hati.
“Nenek sudah berjanji pada diri nenek,” tak sanggup menyesuaikan tempo karena usia, nenek berhenti sejenak.
“Nenek sudah janji, selagi nenek masih kuat, cerita ini tetap nenek pendam dalam-dalam. Mungkin sekarang nenek rasa adalah waktu yang tepat untuk nenek ceritakan padamu, Nak,” mata sayu nenek mulai berkaca-kaca.
“Baiklah, Nek, ceritakan semuanya.”
“Semua tentang prinsip hidup dan arti jalinan kasih, yang mengubah pandangan nenek tentang dunia ini.”
Nenek memejamkan matanya dan mengulang semua ingatan-ingatan lama yang tersimpan selama 79 tahun yang lalu. Waktu di mana nenek masih cantik jelita, seperti cucu di sebelahnya. Setiap paras orang terkasih nenek, sangat terpampang jelas dalam ingatan lamanya yang tersimpan dalam arsip pikirannya. Lidah kelu nenek dipaksakannya bercerita guna peristiwa-peristiwa manis masa mudanya yang manis tersebut tetap abadi bersama waktu.
“Harald Morscheck, seorang pemuda gagah dan tinggi, dulu nenek bertemu dengannya di gedung parlemen, waktu itu…”
Ingatan nenek saat tahun 1943.
Aku masih muda, rambut gelombang berwarna coklat muda menghiasi setiap jengkal lekuk tubuhku. Hidup di dalam keluarga harmonis, menjadikanku wanita anggun dan tidak kekurangan kasih sayang dari orang tua.
Ketika usiaku tujuh belah tahun, hal tersebut bukannya masa-masa indah yang terjadi, melainkan masa yang diliputi dengan segala ketakutan, kekhawatiran, dan rasa was-was bila keluar rumah. Setiap derap langkah kaki mungilku, menarik perhatian hewan buas yang siap menerkam. Namun, berkat didikan orang tuaku, aku dapat hidup di lingkungan yang penuh kekerasan.
Tidak ada yang menahu tentang ambisi berlebihan pemimpin kami, segalanya dirong-rong bagai manusia yang tidak memiliki akal berpikir dan hati nurani. Tidak hanya itu, sifat rakusnya terlihat jelas seperti hewan yang tidak pernah merasa kenyang dengan santapannya.
Patuh, tunduk, dan takut, itulah gambaran pelindung negaraku, tunduk pada satu rezim yang berkuasa secara otoriter. Tapi, di kala hal tersebut kian mencekam, seorang pria bernama Harald Morscheck mengajarkanku arti keteguhan dan kesabaran.
Dia banyak mengubah pandanganku tentang pola pikir yang tetap bertahan sampai usia senjaku. Harald Morscheck merupakan pemuda religius yang penuh keyakinan pada kuasa maha pencipta. Harald Morscheck, aku punya cerita tentangnya dan seperti kata semua orang, ada cerita dibaliknya. Karena itu, waktu perlu dimajukan empat tahun dari sekarang.
Maju ke tahun 1947.
Usiaku telah bertambah, namun hidupku kian terpuruk. Di usia 21 tahun seperti sekarang merupakan hal yang rawan di lingkungan penuh peperangan. Seperti kataku yang sudah-sudah, akan kuceritakan bagaimana pertemuanku dengan pemuda bernama Harald Morscheck.
Di bawah gedung berwarna hitam pekat tepat di samping pintu masuk aula utama, diriku menatap kepulan asap hitam tebal dari truk besar berwarna hijau tua di ujung jalan. Tidak lama kemudian, muncul kobaran api dari bagian bawah truk hijau tua tersebut dan api itu mulai melahap semua badan truk itu.
Setelah aku melihat kejadian itu, tiba-tiba kedua tanganku digenggam erat secara paksa. Aku berusaha mencoba meronta sekuat tenaga tapi itu hanyalah sia-sia. Tubuhku terlalu lemah untuk dekapan kuat tersebut dan membuat tubuhku tersungkur di lantai. Kemudian, aku dibawa ke sebuah ruangan besar kosong dan mereka meletakkanku di bawah lantai.
Aku terbaring lemas di sana, sementara ada dua pria besar berseragam tentara dan memakai baret merah berdiri di depanku sambi tertawa menyeringai. Aura kedua pria itu sangat menakutkan, terlebih keduanya menatapku dengan tatapan penuh makna bahaya.
“Apa yang kalian lakukan dengan gadis malang itu?!” Ucap seorang pria berbaju tentara dan memakai baret kuning yang muncul secara tiba-tiba.
Kedua pria berseragam tentara di depanku terkekeh mendengar seruan dari pemuda yang tiba-tiba muncul tersebut. Lalu pistol diseragam pemuda yang tiba-tiba muncul itu ditodongkan kepada salah satu pemuda yang berseragam tentara di depanku, terlihat berbeda baret dengan dengan dua pria yang memegangku.
“Pergilah dari tempat kami bung.” Sambil satu pria melepas genggamannya pada tangan kiriku dan pria lain sontak menggenggam tangan kananku dengan erat.
“Aku mau kalian berdua melepas dan meninggalkan gadis itu sekarang!”
“Oh tidak begitu bung, semua ada aturan mainnya,” ucap pria yang sedang menggenggam erat tangan kananku.
“Apa kalian tidak merasa hina, memaksa gadis tak berdaya itu di tempat sepi seperti ini?’
Pria berseragam tentara lalu melepaskan genggamannya pada tangan kananku, lalu kedua pria tentara di depanku menodongkan pistolnya ke arah pria yang tiba-tiba muncul itu.
Dorr…
Suara tembak menggelegar memenuhi seantero ruangan. Nyatanya dugaanku salah, kukira tentara pria yang memakai baret kuning hanya menembakkan satu pistol dan ternyata malah dua pistol, itu pun diarahkan ke atas. Lalu, kedua tangannya menodongkan pistolnya ke arah tepat pelipis kedua tentara yang memakai baret merah.
Hebat. Pujiku dalam hati.
“Sekarang kalian berdua angkat kaki dan tinggalkan dia!” Sambil tatapannya mengarah padaku.
Akhirnya mereka berdua pergi, melihat tubuhku yang sedang terkulai lemas ini tentara berbaret kuning itu menghampiriku dan mengulurkan tangannya padaku.
“Ayolah nona, tidak aman di tempat seperti ini.”
Perasaan ragu, takut, dan was-was menyelimuti diriku, kutatap matanya lamat-lamat. Di balik binar pupil coklat terang, mengisyaratkan sebuah kepercayaan pria. Kuanggukkan kepalaku dengan pelan. Selanjutnya, kugenggam telapak kanannya dengan erat. Betis lemas menopang berat badanku, sejengkal saja sudah tercium aroma tegas, dingin, dan berwibawa dari pria berhati mulia di sampingku ini.[ed. MnW]