slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
Tiga "P" - Uraian Sajak Rendra "Kesaksian Bapak Saijah" - Metafor.id
Metafor.id

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

  • Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Sunday, 1 June, 2025
  • Login
  • Register
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom Esai

Tiga “P”

Syahruljud Maulana by Syahruljud Maulana
24 January 2021
in Esai
0
Gambar Artikel Tiga P, Uraian Sajak Rendra Kesaksian Bapak Saijah

Sumber Gambar: http://www.tuttartpitturasculturapoesiamusica.com/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Beberapa hari lalu, seorang teman yang tekun membaca ulang-alik sastra itu datang bertamu, seperti biasanya dalam rangka persambungan silaturahmi ada tukar kabar pikiran pembaca dan berbincang seadanya. Tanpa tedeng aling-aling, dia mulai berkisah tentang “Keluarga Pascual Duarte” karangan Camilo Jose Cela, itu sebuah novel terjemahan sastra Spanyol yang sempat dibacanya. Dia menyatakan ketertarikan pada karya itu, karena Cela—sebagaimana dia mengamini kata sambutannya—termasuk salah satu sastrawan yang karyanya jarang dibicarakan (dalam hal ini mungkin maksudnya apresiasi dan kritik sastra). Lalu dia merasa cerita apa yang dibacanya itu belum pernah ditemukan sebelumnya. Menurutnya pula, belum ada novel selain itu yang menggunakan ilustrasi, struktur, gaya dan bentuk penceritaan sedemikian “ngungkap” sampai membuat dia terpikat.

“Ngeri, jijik, epikurianisme,” katanya mengulang-ulang kesan sesudah membaca itu. Kentara bahwa dia membayangkan rangkaian peristiwa sejadi-jadinya dalam novel, seolah-olah tampak konkrit.

Bagi siapa belum membaca novel tersebut, mungkin sukar menampung seikat kesan pembaca kita itu. Plus tak ada kemahiran pada saya untuk sanggup menceritakan ulang tentang Pascual Duarte, tokoh rekaan yang mengalami ragam tekanan keadaan yang membimbing psikologi perkembangan kejiwaan dirinya sendiri untuk bertindak dan berperilaku hidup segaris pertalian novel. Sementara cukup sampai di situ, selanjutnya saya persilakan kepada pembaca kita itu mudah-mudahan dia sempat menulis ulasan buku tersebut.

***

Salam padamu, teman-teman metafor.id yang nyastra. Apa yang dikemukakan pembaca kita itu pada saya, telah menarik ingatan saya secara spontan yang saat itu menyebut sebuah sajak Rendra. Sebagai maksud informasi bahwa jauh sebelum dia membaca karya itu, sudah ada karya lain yang menyerupai secara nuansa dan suasana. Bedanya, dia baca novel, tetiba saya ingat sajak.

Tetapi di sini saya akan meniti perjalanan pemaknaan hidup tentang kesaksian orang mati. “Kesaksian seorang rakyat yang mati karena dianiaya oleh penguasanya. Yaitu kesaksian seorang bapak Saijah, dalam kisah “Saijah dan Adinda”, yang wafat karena dianiaya oleh ponggawa Adipati Lebak, Rangkasbitung, di abad XIX. Bayangkan arwah Saijah kembali ke dunia dan berbicara, memberikan kesaksiannya, di sini, saat ini,” kata Rendra.

Kesaksian Bapak Saijah

Ketika mereka bacok leherku,
dan parang menghunjam ke tubuhku
berulang kali,
kemudian mereka rampas kerbauku,
aku agak heran
bahwa tubuhku mengucurkan darah.
Sebetulnya sebelum mereka bunuh
sudah lama aku mati.

Hidup tanpa pilihan
menjadi rakyat Sang Adipati
bagaikan hidup tanpa kesadaran,
sebab kesadaran dianggap tantangan
kekuasaan.
Hidup tanpa daya
sebab daya ditindih ketakutan.
Setiap hari seperti mati berulang kali.
Setiap saat berharap menjadi semut
agar bisa tidak kelihatan.

Sekarang setelah mati
baru aku menyadari
bahwa ketakutan membantu penindasan,
dan sikap tidak berdaya
menyuburkan ketidakadilan.

Aku sesali tatanan hidup
yang mengurung rakyat sehingga tak berdaya.
Meski tahu akan dihukum tanpa dosa,
meski merasa akan dibunuh semena-mena,
sampai saat badan meregang melepas nyawa,
aku tak pernah mengangkat tangan
untuk menangkis atau melawan.
Pikiran dan batin
tidak berani angkat suara
karena tidak punya kata-kata.

Baru sekarang setelah mati
aku sadar ingin bicara
memberikan kesaksian.

O, gunung dan lembah tanah Jawa!
Apakah kamu surga atau kuburan raya?
O, tanah Jawa,
bunda yang bunting senantiasa,
ternyata para putramu
tak mampu membelamu.

O, kali yang membawa kesuburan
akhirnya samudera menampung air mata.
Panen yang berlimpah setiap tahun
bukanlah rezeki petani yang menanamnya.

O, para Adipati Tanah Jawa!
Tatanan hidup yang kalian tegakkan
ternyata menjadi tatanan kemandulan.
Tatanan yang tak mampu mencerdaskan
bangsa.
Akhirnya kita dijajah oleh Belanda.
Hidup tanpa pilihan
adalah hidup penuh sesalan.
Rasa putus asa
menjadi bara dendam.
Dendam yang tidak berdaya
membusukkan kehidupan.
Apa yang seharusnya diucapkan
tidak menemukan kata-kata.
Apa yang seharusnya dilakukan
tidak mendapat dorongannya.

Kesaksianku ini
kesaksian orang mati
yang terlambat diucapkan.
Hendaknya ia menjadi batu nisan
bagi mayatku yang dianggap hilang
karena ditendang ke dalam jurang.

(Depok, 17 Januari 1991)

Sajak “Kesaksian Bapak Saijah” ini dimuat dalam bukunya Rendra “Orang-Orang Rangkasbitung” yang menggugat dan menggugah perasaan keadilan kita. Tatkala pembaca Pascual Duarte kita itu mengucapkan sepenggal bait sajak pertama, ketika mereka bacok leherku, dan parang menghunjam ke tubuhku berulang kali, visualisasi dia langsung ngeri dan jijik persis ketika dia sedang menuntaskan bacaan novelnya. Itu satu kesan yang meruntuhkan persepsi dia tentang tak ada karya lain daripada yang dibacanya. Selanjutnya saya akan membicarakan belantara sajak sebagai apresiasi pemaknaan dan spontanitas kreasi.

Uraian ini bertolak dari dimensi sajak di atas tiga “p”: penyaksian, penalaran, dan penyadaran. Bunyi sajak itu sendiri sekilas sangat umum diketahui orang senada penyesalan selalu datang belakangan, atau katakanlah, menyesal berada di akhir. Tapi ketika sesalan menawarkan daya ungkap kesaksian sajak, justru malah bertutur sebagian arti dalam hidup bahwa jangan sekali-kali mengambil sikap yang kemudian menjadi kita sesali. Melalui kesaksian orang mati (bapak Saijah) , Rendra hendak merambah ke jalan penalaran, setelah ia menyaksikan bagaimana keadilan dikalahkan oleh arogansi kekuasaan.

Seruan kesaksian bapak Saijah merupakan peringatan kepada orang hidup–selaku warganegara–agar jangan bersikap seperti bapak Saijah, tidak melakukan apa-apa dan tidak mampu mengucapkan kata-kata. Sebab “ketakutan membantu penindasan, dan sikap tidak berdaya menyuburkan ketidakadilan.” Ya, pada waktu itu Rendra ingin bicara, dan kini mungkin kita perlu berdialog.

Aku tak pernah mengangkat tangan,
untuk menangkis atau melawan.
Pikiran dan batin
tidak berani angkat suara
karena tidak punya kata-kata.

***

Tapi apa yang bisa diucapkan oleh bibir yang dibungkam, sementara kita mendengar para dewan sedang sibuk perang mulut dan para elitenya mahir bersilat lidah. Untung disiplin “poso meneng” kita lebih stabil dari para penguasa. Kita juga tidak terpancing untuk terlibat perdebatan berkoar-koar yang ujung-ujungnya marah-marah. Malahan kita semakin gairah menyusun kreasi terus menghayati “baru sekarang setelah mati, aku sadar ingin bicara, memberikan kesaksian.”

Jelaslah bahwa kesaksian kita saat ini adalah keterampilan berekspresi sebagai daya inisiatif. Karena bagi masa sekarang kita sadar kalau bicara terus-terang, omong kebenaran-keindahan-kebaikan, dongengan kebijaksanaan kearifan dan tatanan hidup sejahtera, pastilah akan disambut dengan caci-maki serta sumpah-serapah penguasa pongah yang berlagak anggun tata krama dan tindak tutur yang liris sebagai suatu kewajaran.

Kesaksian sajak yang dilontarkan penyair Rendra berikhtiar mengetuk hati nurani dan senantiasa menjaga akal sehat agar supaya kita tidak menyesal dikemudian hari, Cukup bapak Saijah sebagai matinya seorang penyaksi, yang lalu kita hidupkan kembali laku penyaksian berulang kali. Seandainya kita membayangkan dan memvisualkan sajak, kira-kira wajah bapak Saijah saat ini apakah? Politikkah? Ekonomikah? Kebudayaankah? Keseniankah? Kesusastraankah? Biarlah rangkaian pertanyaan ini diteruskan ke lalu-lintas penalaran masing-masing. Terserah nantinya akan menguar ke cakrawala penyadaran, hidup berkesadaran kewaspadaan, ataukah justru pembiaran yang merajalela.

Sekarang kita telah sama-sama menyaksikan nasib rakyat seolah-olah hidup aman, padahal tiap saat mereka terancam dan ancaman oleh kekuasaan ada di mana-mana. Mereka tidak diperbolehkan menuntut perbaikan ini-itu, tidak boleh mengeluarkan aspirasi, tidak boleh menyampaikan opini, tidak boleh menyatakan pikiran pendapat, karena tidak adanya perlindungan dan pengamanan yang layak dari hukum. Barangkali, hanya boleh “ingin bicara” kalau memang ketidaksadaran untuk meluapkan amarah di medsos, karena terlanjur dihilangkan kendali keseimbangan berpikir beragam cara pandang, dan penalaran tidak digunakan sejak dalam pikiran.

***

Dari segi perkembangan pers sebagai lembaga informasi sekaligus komunikasi rakyat saat ini serba cepat tanpa kedalaman analisis, justru laksana tatanan yang tak mampu mencerdaskan bangsa. Pers lebih serius pada hoaks, pendangkalan pikiran, pengkerdilan bangsa, lalu tersebarlah bau keras ketakutan: pers takut dan mengajak siapa untuk menjadi penakut. Pers seolah tidak punya pilihan lain selain beberapa tadi disebutkan.

Hidup tanpa pilihan
adalah hidup penuh sesalan
Rasa putus asa
menjadi bara dendam.
Dendam yang tidak berdaya
membusukkan kehidupan.
Apa yang seharusnya diucapkan
tidak menemukan kata-kata.
Apa yang seharusnya dilakukan
tidak mendapat dorongannya.

Lihatlah, pers saat ini justru menyebarkan berita-berita penuh sesalan, menyambungkan rasa putus asa, dan mengeksploitir bara dendam sebagai agenda hoaks besar-besaran untuk melumpuhkan dirinya sendiri, yang semula pers adalah alat pendidikan bangsa untuk mendapatkan informasi dari berbagai saluran. Sebagai corong komunikasi antara pemerintah dan rakyat yang ingin bicara.

Namun kini sialnya, pers mampet, tersendat, macet, dan menutup kemungkinan untuk itu semua, kecuali hoaks. Maka tanpa pertimbangan penalaran dan kesadaran akan keseimbangan, tatkala membaca berita hari ini atau kabar dari medsos, kemungkinan pada kita seperti adegan bapak Saijah yang mayatnya ditendang ke dalam jurang. Betapa, perlindungan hukum dan kebenaran suatu berita yang kita dapatkan sekarang tipis sekali, serupa kapas melayang-layang dan sarat kemalangan.

Karena itu, uraian di atas hanyalah sebagian daftar persoalan faktual yang sedang kita hadapi bersama. Inilah saatnya penyerahan kesaksian Rendra lewat sajak kepada kita semua untuk perjuangan adalah pelaksanaan daya hidup, merawat hati nurani, menjaga akal sehat kolektif bangsa, yang mungkin akan tercapai andaikan kita sedia menerapkan prinsip 3P: penyaksian, penalaran, dan penyadaran sebagai laku keseharian berkenalan dengan kesadaran naluri dan kesadaran batin. Yang pedomannya ialah kenyataan-kenyataan objektif untuk kemudian diamati-diserap-dihayati oleh perasaan kemanusiaan dan ditangkap oleh kejernihan sekaligus kebeningan pikiran dengan berbagai cara pandang. Semoga-moga.[]

Tags: esaiPascual DuarteRendrasajaksastraTiga "P"
ShareTweetSendShare
Previous Post

Pengungsi Peradaban (2)

Next Post

Bangle

Syahruljud Maulana

Syahruljud Maulana

Pembaca yang tak pernah selesai. Penulis yang tak kunjung usai. Kini menetap di Jakarta. Akun Instagram: @pengembarasajak.

Artikel Terkait

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)

2 April 2024

Sepuluh menit setelah tanggal berganti menjadi 29...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1

1 April 2024

28 Maret 2024 Masehi. Malam 18 Ramadhan 1445 Hijriah. Saya tiba di Ladaya, Tenggarong, setelah menempuh lebih dari satu setengah...

Maraknya Perundungan Tanda Rendahnya Budaya Literasi
Esai

Maraknya Perundungan Tanda Rendahnya Budaya Literasi

17 March 2024

Belakang ini isu perundungan bagai bom waktu. Setiap hari bisa meledak di mana-mana, baik di sekolah hingga pesantren elite sekalipun....

Public Speaking Bukan Hanya Keterampilan Orang Terpelajar
Esai

Public Speaking Bukan Hanya Keterampilan Orang Terpelajar

4 April 2023

Berbicara, sebagai kebutuhan primer dalam berinteraksi, dapat membuat sebuah pertemuan menjadi lebih hidup. Bagi kebanyakan orang, sering atau banyak bicara...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Akhirnya Aku Mati!

Akhirnya Aku Mati!

17 June 2021
Gambar Artikel Tut Wuri Golek Rai

Tut Wuri Golek Rai

25 November 2020
Anjingaseo

Anjingaseo

5 February 2021
Yang Mengelucak dari Lembar-Lembar Buku Pepak

Yang Mengelucak dari Lembar-Lembar Buku Pepak

18 February 2021
Buya Syakur Yasin: Antara Agama dan Budaya, Menimbang yang Fana dan yang Abadi

Buya Syakur Yasin: Antara Agama dan Budaya, Menimbang yang Fana dan yang Abadi

10 February 2021
4 Nilai Humanistik dalam Film “Hotel Transylvania: Transformania”

4 Nilai Humanistik dalam Film “Hotel Transylvania: Transformania”

1 March 2022
Gambar Artikel Kritik dan Karya adalah Sebuah Niscaya

Kritik dan Karya adalah Sebuah Niscaya

1 December 2020
Berada di Kota Antah-Berantah

Berada di Kota Antah-Berantah

5 May 2021
Gambar Artikel Kucing Liar

Kucing Liar

18 November 2020
Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib

Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib

20 May 2024

Ikuti Kami di Instagram

    The Instagram Access Token is expired, Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to refresh it.
Facebook Twitter Instagram Youtube
Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya
  • Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
  • Penjual Susu dan Puisi Lainnya
  • Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta
  • Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival
  • Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
  • Membangun Literasi Peduli Bumi: Festival Buku Berjalan
  • Kandang Menjangan Menggugat dan Puisi Lainnya
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
  • Puasa Puisi: Perayaan Sastra Lintas Bahasa
  • Aku Merangkum Desember

Kategori

  • Event (10)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (8)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (63)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (50)
  • Metafor (206)
    • Cerpen (51)
    • Puisi (136)
    • Resensi (18)
  • Milenial (46)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (11)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In