• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Kamis, 31 Juli 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom Esai

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

M. Naufal Waliyuddin by M. Naufal Waliyuddin
28 Juli 2025
in Esai
0
Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

"Autumn Angler" by Lourry Legarde (fineartamerica.com)

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Jika bulan Juni sudah kepunyaan Sapardi, Juli adalah milik Hemingway. Pasalnya, suara tangis bayi-Hemingway pecah di bulan yang sama (21 Juli 1899) dengan guguran bunga kematiannya di moncong senapan (2 Juli 1961). Dan kata-kata di judul menjadi residu dari keseluruhan hidup sastrawan maskulin yang terkenal dengan gaya bahasa jitu dan efektif itu.

Jauh sebelum namanya mekar usai memenangi Pulitzer dan Nobel Sastra, Ernest Hemingway getol menulis feature soal memancing. Ia mempublikasikannya di majalah dan koran-koran seperti The Toronto Star Weekly, The Toronto Daily Star, Holiday, dan majalah Esquire. Itu bermula sejak 1920, ketika usianya masih 21 tahun.

Disiplin jurnalistik dan pengalaman-bersentuhan-langsung menyerbuki karya sastranya yang terkenal dengan kalimat-kalimat efisien, terarah, tidak banyak fafifu, namun sarat kedalaman. Dua bekal itulah yang kini semakin raib; digantikan interaksi layar-jauh dan pengalaman virtual—yang tanpa bau, tanpa rasa, tanpa picingan pedih di mata akibat kepulan asap konflik atau becek lumpur, karena asap dan lumpur di layar hanyalah gumpalan data piksel di ponsel genggam. Wajar apabila karya sastra kini jauh lebih banyak yang permukaan, festivalis, akrobat diksi, terfragmentasi, eksperimen dangkal, dan hanya segelintir yang mendalam.

Kemendalaman itu, pada karya-karya Hemingway, salah satunya diperoleh lewat memancing. Baginya, aktivitas memancing bukan sekadar hobi, melainkan meditasi aktif. Ruang privat di mana dunia boleh runtuh, negara-negara silakan berperang dan menjejer mayat-mayat di Italia, tapi kemesraannya dengan lompatan ikan trout di ujung joran takkan terganggu, “hanya milikku seorang.” Itulah ekstase di ujung senar.

Perihal memancing, ia bisa dikata obsesif.  Memancing tidak hanya bersifat rekreasional, Hemingway juga mencatat log, data-data cuaca, dan memperlakukannya sebagai sains terkait jenis-jenis marlin dengan tingkat kuriositas ekstrem. Sebagai buktinya, ia pernah bekerja sama dengan ilmuwan kelautan soal migrasi ikan, bernama Dr. Henry Stratemeyer.

Kendati banyak rintangan dan rasa letih saat memancing, baik saat di laut memburu marlin maupun di sungai melecut trout, Hemingway mengkhusyukinya. Ia penganut diktum “grace under pressure”. Bahwa ada martabat dalam penderitaan. Dan memancing baginya adalah latihan eksistensial, bukan hiburan an sich.

Anasir itu terkandung di novela monumentalnya, The Old Man and the Sea. Banyak yang menafsirkan sosok Santiago dalam novela itu adalah Hemingway. Padahal, orang akan menyimpulkan berbeda jika ia membaca surat On the Blue Water: A Gulf Stream Letter bertitimangsa April 1936 terbit di Esquire (versi terjemahan An Ismanto berjudul “Di Air Biru: Surat dari Gulf Stream” terbit di Penerbit Circa, 2018). Di surat itu Hemingway menulis tentang sosok tua yang menjadi embrio kisah bertahun-tahun mendatang: lelaki tua yang pergi memancing, sendirian, bermodal sampan di lepas pantai Cabanas. Ia pulang dengan tulang-belulang Marlin raksasa dan wajah bersisa tangis. Kisah itulah yang diolahnya sedemikian rupa dan meledak di blantika sastra dunia.

Mengenangnya, Tanpa Meneladani “Akhir”-nya

Pada bulan Juli ia lahir sekaligus mati. Mati di tangannya sendiri. Hemingway adalah contoh tragis dari seseorang yang hidupnya tampak penuh petualangan dan kejayaan, namun justru (diam-diam) memeram keperihan batin yang sunyi. Ada langgam kehampaan di sana, gunung es penderitaan, kesepian yang memekik, perang batin, perang harfiah, trauma, dan absurditas hidup yang manunggal dalam satu tubuh.

Akhir bunuh diri semacam itu, mirisnya, masih mengintai kita di zaman ini. Baru kemarin saja di Jogja dekat sungai Oya, Selopamioro, ada pelajar SMP gantung diri. Dan setahun terakhir tidak sedikit kasus-kasus semacam itu. Depresi telah menjadi wabah. 300 juta orang di dunia menderita karenanya. Di tanah air kita, depresi dan krisis kesehatan mental cukup mengkhawatirkan, tak peduli tua maupun muda. Lalu apa kaitan antara “sastra, mancing, dan bunuh diri”—selain representasi hidup Ernest Hemingway?

Dua yang pertama mampu mencegah terjadinya yang terakhir. Sastra dan memancing memiliki fungsi terapeutik bagi kesehatan mental. Keduanya dapat menjadi jalan keluar non-klinis; menciptakan ruang refleksi, relaksasi, kemesraan dengan alam, mengasah sabar dan kepekaan (empati), serta melatih kembali fokus yang telah direnggut medsos. Sastra dan memancing bukan sekadar hobi; keduanya adalah sepasang jalan sunyi yang menyelamatkan jiwa.

Di Sun Valley, Idaho. Ernest Hemingway tampak bahagia memamerkan dua ikan cantik rainbow trout yang baru ditangkapnya. (Arsip: Comptoir Magazine)

Di tengah zaman yang Byung-Chul Han sebut sebagai “masyarakat kelelahan akut” (burnout society) dan hanyut dalam melakoni auto-eksploitasi (memeras diri sendiri), sangatlah penting untuk merebut waktu, menggembalakan ritme hidup yang lebih masuk akal dan perlahan. Di sekujur zaman yang kebak ancaman otak membusuk (brain-rot) karena paparan digital sekarang ini, kita perlu beralih dari kesibukan vita activa masyarakat-pencapaian ala neoliberal menjadi vita contemplativa di mana masih tersisa ruang personal untuk merenungkan hidup yang serba cepat. Izaak Walton dalam The Compleat Angler (1653)—karya klasik yang dipuji-puji Hemingway—pernah menulis: “Tuhan tak pernah menciptakan sebuah rekreasi yang lebih tenang, sunyi, dan murni selain memancing.”

Namun, sayangnya, kenikmatan itu berakhir karena Ernest memecahkan kepalanya sendiri. Dan tiga patah kata di judul menjadi sambung tanpa tanda koma: “sastra memancing bunuh diri”? Apa memang jangan-jangan begitu? Baik bunuh diri harfiah, maupun metaforis: bunuh diri karier, bunuh diri politik, sosial, ekonomi, hingga bunuh diri relasi romantik dan bunuh diri keluarga.

Namun, terlepas dari itu, kalau boleh saya memberanikan diri berasumsi: barangkali Ernest memang terlalu memburu adrenaline rush. Ia sakau pada pertarungan dengan ikan-ikan jumbo, sehingga kurang mampu menikmati yang serba kecil, remeh, kurang berguna. Singkatnya, Hemingway lupa pada “filsafat jeda sejenak” (Zwischenzeit) dan ajaran Zhuangzi tentang “seni menghargai yang tak berguna”. Dan semua ini ada pada praktik microfishing.

Hemingway bisa saja batal bunuh diri jika ia punya pengalaman memancing ikan-ikan mungil (microfishing) bersama bapak-bapak random di Jogja. Dengan senar nol koma nol enam setipis rambut, joran pecut lentur dan kail mungil, mereka mengeja aneka jenis sisik ikan wader, uceng, hingga anakan nilem. Selera humor mereka menghangatkan hati. Apalagi mendengar celetukan receh, “Ikan di Jogja sudah pada sarjana, Nest! Wong kota pelajar, og.” Belum yang di tingkat seru-seru-saru seperti, “Awas lurr … ada angin puting berliur! Puting berliur!” Walau terkesan seksis, tapi siapa yang sanggup tidak ketawa?

Lalu, boleh jadi Hemingway lekas terpanggil meneliti, melakukan sensus ikan dan brand-audit perusahaan pencemar terbesar terhadap sungai-sungai di Indonesia. Kemudian ia berorasi, menulis di koran-koran, juga sambat di Metafor, menolak tambang yang merusak ekosistem sungai dan laut tempatnya “menyelamatkan ikan yang tenggelam”, untuk hanya mendapat cemooh dari satu tokoh ormas: “Wahabi Lingkungan!”

Maka, lewat memancing, di situlah letak kenikmatan hidup di tengah kacau-mendungnya negeri ini. Ia akan tersentak ketika bapak-bapak random mengajarinya cara meracik umpan dari EkoMie, Roti Klik, hingga pelet campur KukuBima dan Masako, untuk memanen ikan-ikan sarjana di Jogja, mulai dari jenis ikan putihan, lepasan kolam, hingga uceng. Dengan melakoni microfishing, akan terbit kecenderungan meromantisasi yang kecil, remeh, tak penting. Dan sastra memberi bobot dan nyawa kepada yang remeh, kepada yang sepele.

So, in this economy and current politics, alih-alih menyerah pada hidup, mending baca karya sastra, lalu angkat joranmu. Tinggalkan sejenak ponselmu, lekaslah pergi ke kali-kali di desamu, mengenang kembali masa kecil kita bersama. Setidaknya, sekalut apa pun masalah hidupmu, di bulan Juli ini kita akan kembali mendapat satu alasan baru untuk tetap hidup–selain menanti ending One Piece–dengan berikrar: “Aku takkan mati sebelum strike 10 jenis wader di Jogja dan sidat sebesar paha Si Bahlil!” Lalu, sebagaimana lelaku Hemingway, tulis kisahmu sendiri—tanpa bunuh diri.[]

Tags: bunuh diriErnest Hemingwayesaikolommemancingobituarisastrayogyakarta
ShareTweetSendShare
Previous Post

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

Next Post

Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan

M. Naufal Waliyuddin

M. Naufal Waliyuddin

Tim Redaksi Metafor

Artikel Terkait

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)

2 April 2024

Sepuluh menit setelah tanggal berganti menjadi 29 Maret 2024, teks cerpen Agus Noor dihidupkan di ampiteater Ladaya. Sejumlah kursi kayu...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1

1 April 2024

28 Maret 2024 Masehi. Malam 18 Ramadhan 1445 Hijriah. Saya tiba di Ladaya, Tenggarong, setelah menempuh lebih dari satu setengah...

Maraknya Perundungan Tanda Rendahnya Budaya Literasi
Esai

Maraknya Perundungan Tanda Rendahnya Budaya Literasi

17 Maret 2024

Belakang ini isu perundungan bagai bom waktu. Setiap hari bisa meledak di mana-mana, baik di sekolah hingga pesantren elite sekalipun....

Public Speaking Bukan Hanya Keterampilan Orang Terpelajar
Esai

Public Speaking Bukan Hanya Keterampilan Orang Terpelajar

4 April 2023

Berbicara, sebagai kebutuhan primer dalam berinteraksi, dapat membuat sebuah pertemuan menjadi lebih hidup. Bagi kebanyakan orang, sering atau banyak bicara...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Selamat Bertugas Selamanya!

Selamat Bertugas Selamanya!

27 April 2021
Resiko Tinggal di Ujung Kalimantan

Resiko Tinggal di Ujung Kalimantan

4 Juni 2021
Ya Afu, Ya Jingan!

Ya Afu, Ya Jingan!

12 Juli 2021
Gambar Artikel Cerpen Kematian Seorang Penemu

Kematian Seorang Penemu

16 Januari 2021
Gambar Artikel Makna Problematika I'm Okay.

Problematika I’m Okay

29 Desember 2020
Di Balik Bilik Kamar

Di Balik Bilik Kamar

12 Maret 2021
Gambat Artikel Abbas Ibn Firnas : Manusia Terbang Pertama dari Andalusia

Abbas Ibn Firnas: ‘Manusia Terbang’ Pertama dari Andalusia

29 Juni 2021
Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

24 Juli 2025
Ayat-ayat Alam Raya

Ayat-ayat Alam Raya

19 Juni 2021
Transformasi Standar Berkat Gendurenan di Era Revolusi Industri 4.0

Transformasi Standar Berkat Gendurenan di Era Revolusi Industri 4.0

13 Januari 2022
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya
  • Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
  • Penjual Susu dan Puisi Lainnya
  • Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta
  • Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (64)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (51)
  • Metafor (210)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (138)
    • Resensi (18)
  • Milenial (46)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (11)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.