• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Selasa, 21 Oktober 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom Esai

Pulau Bajak Laut, Topi Jerami, dan Gen Z Madagaskar

Ari Bagus Panuntun by Ari Bagus Panuntun
21 Oktober 2025
in Esai
0
Pulau Bajak Laut, Topi Jerami, dan Gen Z Madagaskar

Protes kaum muda di Nepal mengibarkan bendera bajak laut Topi Jerami One Piece di gerbang istana negara. (Sumber: Pinterest)

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Penulis: Jean-Luc Raharimanana

Penerjemah: Ari Bagus Panuntun

 

2002. Buku-buku dibakar di depan rumah ayahku. Adalah militer. Adalah milisi. Mereka yang sambil menggulingkan diktator, justru menyiapkan sistem baru yang menindas dan korup. Tentu bukan kebetulan. Ketika semua dimulai dengan membakar buku, membungkam para pemikir. Itulah yang terjadi pada ayahku. Juga perpustakaan masa kecilku; hanya sedikit buku yang lolos dari kobaran api.

Pernahkah kau melihat huruf-huruf lebur menjadi abu? A atau B, seperti darah dengan tinta gelap, yang mendidih dan menyala. C atau Z, yang tanpa sayap, jatuh terhempas ke halaman yang menghitam, ternoda jejak sepatumu. Dan api di mana-mana. Di antara baris. Di tepi halaman. Di jarak antar-kata. Retak. Memutus kalimat. Mengubur cahaya. Api menembus sampai ke makna, lalu menjalar ke kulitmu. Panas. Semakin membara.

Begitulah saat buku dibakar. Ketika kata-kata dilarang. Perempuan. Gender. Iklim. Kebebasan. Kata-kata itu bersembunyi di balik bara, berpura-pura hangus. Kata-kata itu menipu, seperti kumbang di bawah tanah, yang pura-pura mati ketika hutan dilalap api. Kata-kata itu bercangkang keras, bertulang sunyi dan kesia-siaan, namun tetap hidup di dalam abu, seolah bisa terhempas lenyap dalam satu hentak, namun mereka tetap ada: menyengat, menyala, menyulut amarah, siap terbentuk kembali dari selirih apa pun hembus angin revolusi. Selalu siap.

Kata-kata itulah yang hari ini bangkit kembali di Madagaskar. Kata-kata yang dulu dibakar menjadi abu pada 1947, ketika rakyat bangkit melawan penjajah Prancis. Kata-kata yang terhempas desing peluru pada 13 Mei 1972, ketika revolusi mahasiswa menuntut otonomi negeri ini—untuk kembali pada bahasa dan budaya Malagasi, enyah dari pengaruh Prancis yang terus menguasai ekonomi dan budaya negeri ini, memaksakan franc CFA, dan kurikulum akademik Prancis.

Kata-kata yang melawan kediktatoran Laksamana Ratsiraka, yang terlalu betah berkuasa, dari 1975 sampai 1991. Kata-kata yang bermandi darah di sawah Iavovoha pada 10 Agustus 1991, ketika sang diktator menyuruh tentara menembaki massa. Kata-kata dari penyiksaan dan perang sipil 2002, yang lantang melawan Ratsiraka yang kembali berkuasa dari 1996 sampai 2002, dan berambisi mencalonkan diri lagi—rela menipu dan menyulut perang saudara, ketimbang menerima kekalahan. Kata-kata dari 2009, yang tumbang oleh rentet senapan mesin, ketika massa di depan Istana Presiden Ambohitsorohitra menuntut mundur Ravalomanana—pebisnis yang dipuja pada 2002 setelah mengakhiri rezim diktator lalu menjadi presiden, namun dibenci tujuh tahun kemudian. Dalam satu periode, ia telah menguasai nyaris seluruh industri ekonomi di pulau ini, dari yogurt sampai biodiesel, dari soda sampai vanili. Ia bahkan ingin mengobral separuh lahan pertanian negara kepada Samsung, untuk ditanam jagung transgenik yang akan diekspor ke Korea Selatan.

Kata-kata itulah yang kini bangkit kembali, dihembus angin September 2025, dibawa para pemuda yang memilih menyebut diri sebagai Gen Z.

Z bukanlah Z pada Zorro, pahlawan bertopeng yang dulu menjadi panutan generasi tua ketika ingin melawan ketidakadilan. Z adalah Z seperti dalam film garapan Tatsuya Nagamine, One Piece Film: Z. Dan Z juga berarti Zandry, anak bungsu dalam masyarakat Malagasi yang tidak diberi hak bicara. Dalam tradisi kami, kata-kata dianggap sakral bila datang dari leluhur dalam bentuk petuah atau kisah teladan, yang diturunkan lewat ray aman-dreny (“ayah-dan-ibu” secara harfiah), panggilan untuk para tetua yang dianggap bijak dan mampu berbicara dengan leluhur. Kata-kata suci itu lalu turun kepada Zoky, anak-anak tertua, yang menegakkannya tanpa boleh dibantah. Sedangkan para Zandry hanya boleh patuh, hanya boleh diam. Namun, Zandry kali ini, Generasi Z ini, mereka terhubung dengan dunia. Mereka berani bersuara lewat sosial media. Mereka ingin menatap masa depan, tidak hanya mendengar leluhur yang sudah mati. Mereka menolak taklid buta pada para tetua, apalagi para politisi yang justru menjadi jantung korupsi dan penyeleweng kekuasaan, yang merampas gelar ray aman-dreny untuk memaksakan tirani, demi kepentingan pribadi.

Dalam film Tatsuya Nagamine, Z adalah nama seorang laksamana yang bersumpah menghancurkan semua bajak laut di New World, karena bajak laut membawa mimpi tentang dunia baru: dunia tanpa pemimpin, yang digerakkan oleh aliansi yang saling menghormati kepentingan setiap orang dan masyarakat. Sistem ini dianggap fiktif, tapi bandingkan itu dengan gelombang perlawanan terbaru pada rezim totaliter Madagaskar: tak ada tokoh politik, tak satu pun pemimpin diakui. Protes yang dimulai 25 September itu tidak dipicu oleh politisi. Ia lahir dari krisis air dan listrik yang telah menjadi momok di pulau ini selama bertahun-tahun.

Generasi yang turun ke jalan-jalan di Madagaskar ini adalah mereka yang sepanjang hidupnya mengalami délestage, pemadaman bergilir. Pemadaman yang konon demi efisiensi beban sistem kelistrikan yang rapuh, tapi terjadi setiap hari, kapan pun, siang atau malam. Masalah ini bukan baru muncul, namun telah berlangsung 20 tahun. Air keran berwarna kuning dan mampat. Saat mati listrik, mereka mengerjakan PR dengan lampu ponsel atau lilin. Mereka terancam dirampok atau diperkosa saat pulang malam karena lampu jalan padam. Para remaja tak berani keluar rumah, karena gelap berarti bahaya. Produk makanan beku menjadi basi karena mesin pendingin mati. Memakannya bisa membuat perut melilit atau bahkan botulisme, keracunan makanan yang mematikan—yang beberapa kali terjadi dalam sekian tahun terakhir.

Di rumah sakit—bahkan di Befelatanana, rumah sakit umum terbesar di Antananarivo—pasien harus rutin membawa lilin dan air minum kemasan sendiri. Namun, bagaimana mungkin rumah sakit bekerja tanpa listrik? Bagaimana menyalakan ventilator, menghidupkan inkubator untuk bayi prematur, atau memakai mesin radiologi? Generator butuh bahan bakar, dan rumah sakit tak punya cukup bahan untuk setiap unit. Inilah keseharian mereka. Generasi muda yang lahir di tengah kondisi ini.

Maka, Gen Z pun menjadi bajak laut. Sebab, pulau ini telah terjebak dalam mesin republik, sebuah sistem yang harus dihancurkan. Mesin yang diimpor dan dicangkok di negeri yang sudah dikuras habis kolonialisme. Mesin yang menuntut kepiawaian dan pendirian di setiap roda gigi, setiap komponen, setiap tingkatan. Padahal, kolonialisme telah membabat habis mereka yang piawai dan berpendirian itu.

 

Sosok Luffy, kapten bajak laut Topi Jerami, saat melawan pemerintah dunia di Arc Enies Lobby (Karya: Eiichiro Oda | Diadaptasi TOEI Animation)

Pada 1896, di awal penjajahan, ketika Gallieni menjadi residen Menteri baru, bukankah ia memulai tugasnya dengan mengeksekusi Pangeran Ratsimamanga dan sang menteri, Rainandriamapandry? Seolah, itu menjadi contoh, bagi siapa pun yang berani berpikir bahwa Kerajaan Malagasi masih hidup, dan pendudukan kolonial tidak sah. Bukankah Gallieni pula yang membiarkan Kapten Girard membantai habis desa Ambiky pada 29 Agustus 1897, lalu memenggal Raja Toera dari Sakalava yang gigih melawan ekspansi penjajah?

Lalu pada 1947, bukankah Prancis pula yang menyusun daftar nama anggota MDRM (Partai Demokratik Restorasi Madagaskar) yang harus ditumpas? Ya benar, MDRM yang berani menuntut otonomi dalam Union Française—yang sebelumnya memaksa anak-anak mereka terjun ke Perang Dunia II. Begitu banyak yang gugur, begitu banyak jiwa yang mencintai tanah airnya, begitu banyak bakat sia-sia, yang seharusnya bisa membangun negeri ini!

Dan di ujung pembantaian itu, datanglah kemerdekaan pada 1960. Namun, kemerdekaan itu lahir dalam ketimpangan menganga antara mesin demokrasi dan para politisi yang seharusnya “mengoperasikan” sistem itu. Yang terjadi, jabatan itu diisi orang-orang yang telah dibeli Prancis, dan dipilih sendiri oleh Prancis. Dengan begitu, Prancis bisa terus memanipulasi, mengklaim bahwa mereka telah membawa “peradaban” lewat kolonisasi—meski dengan banjir darah dan akulturasi paksa. Tak cukup itu, Prancis juga mengklaim bahwa republik dan demokrasi ini adalah kado untuk Madagaskar. Tapi, demokrasi macam apa yang justru melanggengkan dominasi kolonial untuk menguasai seluruh aspek vital demi keuntungan Prancis: sistem moneter, urusan luar negeri, pendidikan, ekonomi, dan segalanya.

Lalu datang Mei 1972, dua belas tahun setelah kemerdekaan: revolusi mahasiswa menjatuhkan Presiden Tsiranana, membersihkan sisa-sisa neokolonialisme. Namun, revolusi itu dibajak kediktatoran baru. Kediktatoran militer bertopeng komunis: sistem impor yang lagi-lagi muncul tanpa mempertimbangkan realitas negeri ini. Sebab, pemerintahan yang benar-benar berpijak pada realitas justru ikut dikubur bersama dengan pembunuhan Ratsimandrava, presiden sementara dari satu-satunya periode Republik ini yang bisa disebut Malagasi—republik yang dibangun dari semangat fihavanana dan fiaraha-monina, konsep hidup komunal dan gotong royong rakyat Madagaskar.

Sejak saat itu, negara ini hanya terombang-ambing, melewati sekian periode kekuasaan Laksamana Ratsiraka, yang justru mengilhami Ravalomanana dan Rajoelina, presiden hari ini, dengan konsentrasi kekuasaan yang ekstrem. Madagaskar adalah republik yang dibangun dari mesin perampasan dan korupsi. Pelayan mesin ini hanya para mafia yang dipasang untuk menjarah kekayaan negara—dan Barat turut mendukung dan menikmati kekayaan kami di perut bumi, laut, dan tanah. Perusahaan mana yang tidak bermimpi memiliki buruh yang puas dibayar 60.000-an rupiah per hari?

Maka, Gen Z menjadi bajak laut untuk mendobrak sistem busuk tersebut: sistem di mana seluruh tubuh negara—dari pegawai negeri rendahan, menteri, dewan, sampai senator—tak lebih dari roda yang menggerakkan mesin perampokan sang penguasa tertinggi. Dan apakah menenggelamkan sistem ini berarti menolak republik bahkan demokrasi?

Namun, Gen Z telah makan bangku sekolah. Mereka memahami dunia, menguasai teknologi modern, media sosial, dan sadar bahwa sistem ini telah menjadi pola di banyak negara—terutama di Asia dan Afrika. Sebuah sistem global di mana negara-negara miskin dijadikan paru-paru dunia, sebab di sanalah tersimpan seluruh kekayaan yang membuat dunia modern tetap bekerja: coltan, minyak, uranium, logam-logam langka, hingga buruh migran.

Kita bisa saja menertawakan mereka, para pemuda yang nyaris masih remaja, yang turun di jalanan Antananarivo. Kita bisa menertawakan mereka yang memakai topi jerami seperti kru Luffy, tokoh utama dalam One Piece.

Luffy memakai topi jerami untuk melawan senjata pemusnah massal. Gandhi memakai kain tenun rajutan sendiri saat melawan penjajah Inggris. Dan bukankah topi jerami milik para Gen Z juga dianyam oleh petani miskin desa, bukan korporasi besar?

Bukankah bajak laut Topi Jerami, yang berlayar dalam gelap dan terus menerjang ombak, adalah cermin para pemuda ini, yang setiap hari harus menanggung krisis air, pemadaman listrik, dan hidup dalam gulita? Generasi muda yang juga menanggung beban perubahan iklim, dan setengah mati berusaha selamat dari polusi ekstrem Antananarivo.

Dengan semua itu, apakah mengejutkan bila presiden Madagaskar—yang bersekutu dengan predator lokal dan asing—tidak ragu mengangkat senjata? Membombardir para pemuda dengan gas air mata, peluru, bahkan menerjang dengan kendaraan lapis baja. Mereka bahkan membiarkan para penjarah berkeliaran, demi mengaburkan tuntutan hak asasi menjadi cerita kekerasan. Kekuasaan yang sama juga menghujani rumah sakit bersalin dengan gas air mata, dan memburu para demonstran sampai ke dalam.

Hari ini, 4 Oktober 2025, ketika menulis kata-kata ini, aku akan memilih berani. Berani menatap ke depan, menatap lebih jauh. Melampaui gas air mata. Melampaui rentet senapan, melampaui jerit dan tangis atas luka dan kehilangan. Aku berani menatap ke depan, menatap pada yang setelah.

Sebab, cepat atau lambat, presiden macam itu akan jatuh. Jatuh dari kereta gantungnya—sebuah metafora—, kereta yang dibangun dengan jutaan dolar, sementara rakyat hidup tanpa listrik dan jalan. Jatuh dari menara omong kosongnya yang memusingkan—ini bukan metafora. Jatuh dari kekosongan janji-janjinya—dan ini pun bukan metafora. Konstitusi ada untuk melindungi negeri dan warganya, tetapi, apa yang dilakukan mereka yang mengaku mewakilinya?

Seorang ketua senat, yang seharusnya mengisi mandat ketika jabatan presiden kosong, justru terus mendorong represi. Para menteri lenyap seperti hantu setelah presiden membubarkan kabinetnya—dan ingin merekrut menteri baru lewat Facebook dan LinkedIn. Para dewan yang tak pernah mewakili suara atau kepentingan rakyat, lebih sibuk dengan mobil 4×4 dan vila yang mereka dapat secara gratis pasca pemilu. Ya, pasti terdengar mustahil. Tapi di Madagaskar, demokrasi memberi kado satu mobil 4×4 dan satu vila untuk anggota dewan terpilih di pemilu legislatif. Dan tahun 2024, ada 163 anggota baru.

Maka, aku akan memilih berani. Berani menatap ke depan, menatap lebih jauh. Pemuda ’72 dikhianati oleh pembunuhan Ratsimandrava dan mendapat warisan tiga puluh tahun kediktatoran Ratsiraka. Pemuda ’91 kehilangan harapan karena Ravalomanana. Pemuda 2009 dipermainkan oleh Rajoelina. Dan Gen Z kini mengibarkan bendera bajak laut, bendera One Piece. 

Film Z, pada akhirnya bukan sekadar tentang perlawanan pada laksamana jahat yang menguasai setiap lautan. Ia juga mengingatkan kita pada utopia leluhur, dengan jejak yang masih melekat di negeri ini: Libertalia, sebuah mitos yang masih hidup sampai sekarang, dan menjadi nyawa berbagai revolusi pemikiran. Kita perlu membaca kembali karya David Graeber, Pirate Enlightment, or the Real Libertalia, kita bisa mengkaji kembali Zanamalata, anak-anak bajak laut, yang tergambar lewat sosok Ratsimilaho—pendiri kerajaan Betsimisaraka pada abad 18. Kerajaan yang dibangun oleh anak-anak bajak laut dan perempuan Malagasi. Kerajaan yang menolak menobatkan satu orang sebagai penguasa tunggal, namun bercita-cita membangun aliansi ekonomi dan politik dengan berbagai klan dan keluarga penting. Sistem mereka tidak berpusat pada kekuatan dan dominasi, melainkan pada pertukaran dan penghormatan.

Maka, aku berani menyuarakan pada dunia. Pemuda ini, Generasi Z Madagaskar, akan meruntuhkan paradigma berpikir lawas.

Namun, jatuhnya sang presiden, presiden korup yang pasti segera tumbang, bukanlah tujuan akhir. Yang lebih penting adalah menjawab: bagaimana kita memberantas kemiskinan, sedangkan mesin pembangunan dan roda pemerintahan adalah penghasil kemiskinan itu sendiri? Kemiskinan, yang pada dasarnya, adalah kemiskinan dalam berpikir.

___________________________

Catatan: 

*Franc CFA: mata uang yang diciptakan oleh Prancis sejak masa kolonial untuk wilayah jajahannya di Afrika. Mata uang ini masih digunakan di beberapa negara Afrika. Namun, mata uang ini masih dicetak di Prancis dan nilainya terikat pada Euro sehingga sering dianggap sebagai simbol neokolonialisme Prancis.

**coltan: nama umum untuk bijih logam kusam (columbite-tantalite) yang kaya akan unsur niobium dan tantalum yang berguna bagi industri elektronik seperti ponsel, laptop, hingga televisi.

Esai ini diterjemahkan langsung dari bahasa Prancis dengan judul asli: “Nos utopies, l’île aux pirates (Les GEN Z Madagascar)”.

 

Profil penulis:

Jean-Luc Raharimanana lahir di Antananarivo (Madagaskar) dan hidup sebagai eksil di Prancis sejak pementasan dramanya Le prophète et le président dilarang di Madagaskar pada 1991. Ia adalah salah satu penulis terkemuka dalam sastra Frankofon kontemporer. Ia telah menerbitkan sekitar lima belas buku, salah satunya adalah novel Nour, 1947, yang menceritakan pemberontakan Madagaskar terhadap kolonialisme Prancis. Pada tahun 2023, ia menerima Prix international de littérature francophone Benjamin Fondane.

 

Tags: demonstrasiesaigen zmadagaskarOne Pieceprotes
ShareTweetSendShare
Previous Post

Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme

Ari Bagus Panuntun

Ari Bagus Panuntun

Dosen di Sastra Prancis UGM, penerjemah, dan pengelola toko buku Warung Sastra. Saat ini menempuh studi doktoral di Sorbonne Université, Paris, dan menulis disertasi tentang ekopuitika dan pascakolonialisme dalam sastra frankofon Madagaskar. Bisa disapa di Instagram @aribagusp

Artikel Terkait

Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
Esai

Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna

5 Agustus 2025

Malam itu, saya belum ingin tidur cepat. Hingga lewat tengah malam dan hari berganti (Rabu, 23 Juli 2025) saya duduk...

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
Esai

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

28 Juli 2025

Jika bulan Juni sudah kepunyaan Sapardi, Juli adalah milik Hemingway. Pasalnya, suara tangis bayi-Hemingway pecah di bulan yang sama (21...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)

2 April 2024

Sepuluh menit setelah tanggal berganti menjadi 29 Maret 2024, teks cerpen Agus Noor dihidupkan di ampiteater Ladaya. Sejumlah kursi kayu...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1

1 April 2024

28 Maret 2024 Masehi. Malam 18 Ramadhan 1445 Hijriah. Saya tiba di Ladaya, Tenggarong, setelah menempuh lebih dari satu setengah...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Public Speaking Bukan Hanya Keterampilan Orang Terpelajar

Public Speaking Bukan Hanya Keterampilan Orang Terpelajar

4 April 2023
Penjual Susu dan Puisi Lainnya

Penjual Susu dan Puisi Lainnya

2 Juni 2024
Gambar Artikel Puisi Aku Telah Bermimpi

Aku (Telah) Bermimpi

26 Januari 2021
Dismorfia Kehidupan

Dismorfia Kehidupan

1 Februari 2022
Indonesia Tidak Punya Filsafat?

Indonesia Tidak Punya Filsafat?

27 April 2021
Kalaulah Sebab Langit Tergelar Kembali

Kalaulah Sebab Langit Tergelar Kembali

16 April 2021
Gambar Artikel Puisi Dengan Angin

Dengan Angin

19 Januari 2021
Kebanyakan Fafifu

Kebanyakan Fafifu

3 Mei 2021
Korelasi Pandangan Ilmu Kalam dan Kiri Islam Hassan Hanafi

Korelasi Pandangan Ilmu Kalam dan Kiri Islam Hassan Hanafi

21 Juni 2021
Gambar Artikel Game yang lagi viral tahun 2021. Higgs Domino. Chip. Spin. Game yang menghasilkan Uang

Game yang Lagi Viral di Tahun 2021

23 April 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Pulau Bajak Laut, Topi Jerami, dan Gen Z Madagaskar
  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (66)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (53)
  • Metafor (216)
    • Cerpen (54)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.