Beberapa waktu yang lalu dua teman saya memperbarui status WhatsApp-nya. Mereka mengunggah sebuah tangkapan layar yang sama. Sepotong tulisan karya anonim yang intinya mengatakan bahwa membaca karya sastra sungguh membosankan karena sulit untuk dipahami, yang juga berarti suatu kesia-siaan—dan kedua teman saya tersebut menambahkan takarir di status mereka itu: “Banyak terjadi!”
Tentu saya tidak tahu secara pasti apakah benar banyak orang yang berpikiran demikian. Orang-orang yang merasa bahwa karya sastra adalah bacaan kelas berat. Memusingkan kepala. Membuat mereka menyerah untuk membacanya, bahkan mungkin sebelum memulainya.
Namun, bukan tidak mungkin, kan, pandangan seperti itu memang hidup di kepala orang-orang?
Pembaca yang budiman bisa melakukan survei dan mencari kebenarannya sendiri, tetapi bolehlah kita bersepakat bahwa memang kondisi kesadaran literasi kita sangat memprihatinkan. Sudahlah masyarakat kita selama ini lemah dalam membaca, sekalinya pun membaca, hari-hari ini yang mereka baca kebanyakan hanyalah buku-buku motivasi, self-help, how to, yang berisi kalimat-kalimat yang makin singkat makin laris, yang mereka anggap mencerahkan, padahal sesungguhnyalah semu dan klise.
Maka, menjadi suatu kewajaran jika ada orang-orang yang merasa sulit membaca karya sastra, sebab sastra menuntut pembacanya menyelam, menelusuri dengan segenap kemampuan akal, dan menghayati dengan seluruh rasa berbagai amanat yang diselipkan si pengarang. Sementara mentalitas orang-orang hari ini, kan, pinginnya yang serba instan. Pokoknya hanya tertarik pada buku-buku instant wisdom, yang diharapkan sekali dibaca bisa langsung membuat bijaksana dan hidupnya seketika membaik.
Padahal, kalaupun terpaksa perlu kita bandingkan, karya sastra tidak kalah berbobot dari buku-buku motivasi dengan segala rupanya itu. Bahkan, sahih untuk mengatakan bahwa karya sastra memiliki medan jelajah makna kehidupan yang lebih luas, sebab karya sastra menyediakan ruang penafsiran yang lebih besar. Oleh karena itu, upaya meningkatkan apresiasi karya sastra perlu dilakukan. Agar tidak ada lagi orang yang enggan membaca karya sastra, apalagi menjauhinya.
Dulce et Utile
Sebenarnya kita bisa saja menemukan seribu satu alasan untuk membaca karya sastra. Namun, cukuplah kita menengok manfaat atau fungsi utama karya sastra. Dalam dunia kesusastraan, fungsi karya sastra biasa didefinisikan dalam istilah Latin, yaitu dulce et utile. Bahasa Inggrisnya, sweet and useful, alias menyenangkan dan berguna. Menghibur dan mendidik.
Dua fungsi itu melekat bersamaan dalam karya sastra. Karya sastra selalu merupakan hiburan yang mendidik dan memberi pendidikan dengan cara yang menghibur. Meskipun memang timbangannya berbeda pada setiap karya. Mungkin ada karya yang begitu menghibur dan hanya menghibur, dengan sedikit mendidik.
Ada pula karya yang teramat mendidik sampai terlampau serius menggurui sehingga kurang menghibur. Tentu yang paling buruk adalah karya sastra kelas teri, yang membosankan untuk dibaca dan terasa hampir tidak ada gunanya. Namun, bukankah menghibur dan tidak menghibur, mendidik dan tidak mendidik, itu berada dalam dimensi subjektif setiap pembaca?
Artinya, sebagai suatu hakikat atau nilai dalam diri, bahwa ia menghibur dan mendidik, akan selalu ada pada setiap karya sastra. Sulit mengatakan bahwa ada karya yang mutlak tidak menghibur atau seratus persen tidak mendidik. Pada titik inilah, saya kira, pembaca perlu memilih karya sastra yang tepat—tepat dalam arti kebagusannya tidak perlu diragukan. Mengapa?
Seribu Kehidupan
Sebagai suatu produk kreativitas yang estetis, karya sastra menghadirkan pengalaman dan permasalahan kehidupan melalui cerita yang menarik. Sebab pada dasarnya setiap orang menyukai cerita, apalagi yang menarik dan sensasional.
Melalui sarana cerita itulah pengarang menyuguhkan berbagai pelajaran. Setidaknya, menurut AS Laksana, dari membaca cerita yang bagus kita bisa belajar tiga hal.
Pertama, kita bisa belajar tentang cara menulis yang bagus—jika kita berminat mempelajari cara menulis dengan bagus. Kedua, kita bisa belajar tentang manusia, lengkap dengan segala aspek psikologis, pemikiran, hasrat, sampai berbagai tindakannya. Ketiga, dengan membaca cerita yang bagus, kita dapat mengalami seribu kehidupan.
“Pembaca yang baik mengalami seribu kehidupan, orang yang tidak membaca hanya mengalami satu kehidupan, yaitu melulu yang dijalaninya sehari-hari.” kata novelis George R.R. Martin. Membaca cerita yang bagus bisa membuat kita ikut merasakan, menghayati, dan merenungkan berbagai masalah hidup dan kehidupan—meskipun tidak mengalaminya sendiri dalam kehidupan kita.
Dengan membaca novel Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman karya A. Mustafa, kita bisa ikut merasakan pengalaman, emosi, jalan berpikir, dan segala dinamika kehidupan seorang wadam dan pengikut Ahmadiyah. Kita juga bisa tahu bagaimana ngeri dan mencekamnya terjebak di hutan belantara sambil terus dikejar oleh seekor harimau, yang sungguhan maupun yang bersemayam dalam hati, jika membaca roman Harimau Harimau-nya Mochtar Lubis.
Atau, lewat cerita-cerita karangan Seno Gumira Ajidarma, kita bisa memaknai suatu peristiwa bernama senja bukan hanya sebagai fenomena alam (tenggelamnya matahari), melainkan suatu kejadian penuh arti, sarat keindahan, dan berharga.
Oleh karena itu, cerita, prosa, atau karya kesastraan pada umumnya, sering dianggap mampu membuat manusia menjadi lebih arif, atau dengan kata lain: memanusiakan manusia. Sastra menawarkan alternatif realitas dan dunia ideal kepada pembacanya. Dari sanalah pembaca bisa mengambil pelajaran. Sastra membantu pembaca untuk lebih mampu memaknai kehidupan, mampu menghadapi berbagai masalah kehidupan, baik masalah yang berkaitan dengan diri sendiri, sesama dan lingkungan, maupun dengan Tuhan.
Sastra dalam Kitab Suci
Berkaitan dengan Tuhan, bukankah Al-Qur’an (kitabullah) itu juga bernilai sangat sastrawi dan penuh dengan cerita-cerita?
Padahal, sebagai sumber utama seluruh hukum Islam, mengapa Al-Qur’an, misalnya, tidak dibuat dengan model kitab hukum? Mengapa Al-Qur’an tidak to the point saja: berisi pasal-pasal yang disusun secara sistematis, lengkap dengan perincian segala perintah dan larangan beserta pahala dan hukumannya? Mengapa Al-Qur’an justru banyak dipenuhi kisah-kisah orang-orang terdahulu dan persoalan kehidupan mereka?
Tentu pembaca bisa mempelajari pertanyaan-pertanyaan itu lebih jauh secara mandiri. Namun, satu hal yang saya kira jelas, apabila Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk kitab hukum yang sistematis, itu hanya akan membuat manusia menjalani kehidupannya dengan mekanis. Manusia menjadi seperti mesin, yang hanya melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Tanpa pernah melakukan penghayatan akan keindahan agama dan kebesaran Allah.
Kemudian, sebagai suatu bentuk kesenian, sastra menuntut penggunaan otak kanan manusia. Jika filsafat dan matematika membuat manusia mampu berpikir logis dan analitis, sastra menghidupkan daya imajinasi dan kreativitas. Dua hal yang juga teramat penting untuk kehidupan kita, yang sungguh membuat kita lebih hidup sebagai manusia.
Dengan demikian, tidak mengherankan kalau banyak filsuf yang juga sastrawan. Sebab banyak hal dalam hidup ini yang sulit untuk dijelaskan kalau hanya menggunakan akal. Hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman spiritual, misalnya, biasanya disampaikan dalam bentuk-bentuk perumpamaan atau alegori—dan itu menuntut kreativitas pengarang serta kemampuan pembaca untuk menangkap simbol-simbol.
Dalam konteks peran sosial, karya sastra berperan memberi kesadaran terhadap masalah-masalah yang ada di sekeliling kita, yang mungkin—atau seringnya—terabaikan dan terlupakan. Ada banyak kepalsuan dalam realitas hidup ini, dan sayangnya, kita kerap tertipu oleh pelbagai citra dan mitos—mitos dalam pengertiannya Roland Barthes, atawa “makna palsu”.
Oposisi
Sastra sering kali beroposisi dengan kekuasaan. Dalam banyak kasus, kekuasaan hanya memproduksi iklan, berita, slogan, dan propaganda yang membangun citra positif mereka: kesejahteraan yang meningkat, ekonomi yang meroket, pembangunan yang lancar—yang semua itu meninabobokan kesadaran kita.
Sementara itu, karya sastra justru senantiasa menampilkan cerita sebaliknya: kemiskinan, keterasingan, ketertindasan, serta tentu saja kebusukan kekuasaan—suatu realitas yang terpinggirkan. Itulah mengapa banyak sastrawan yang mengalami usaha pembungkaman dan karya-karyanya disingkirkan. Untuk sekadar menyebut nama: Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, sampai Wiji Thukul pernah mengalami nasib demikian.
Begitulah sastra. Meskipun termasuk kategori fiksi, tetapi menfaatnya nyata-senyata-nyatanya. Jadi, tidak ada kerugian sedikit pun kalau membacanya.[]
[Editor: M. Naufal Waliyuddin]
Comments 1