Feminisme merupakan sebuah kata dengan makna yang sangat luas. Jika hanya menyebut bahwa feminis adalah gerakan untuk menuntut kesetaraan, sebenarnya merupakan tindakan yang mempersempit definisi. Ada beberapa hal yang sebenarnya jauh lebih dalam dari itu. Namun dalam hal ini kita hanya fokus dengan kesetaraan.
Dalam jurnal yang berjudul “Feminisme Indonesia Dalam Lintas Sejarah” yang ditulis oleh Ihda Hidayatul Aliyah dan Siti Komaria menyebutkan bahwa di dunia Barat, gerakan feminis sudah memunculkan diri lewat protes atas tindakan kekerasan. Namun, gerakan ini dikemas menjadi lebih formal dengan ditebitkannya sejumlah karya tulis yang memprotes ketidaksetaraan gender.
Protes dilancarkan berdasarkan status minoritas wanita. Kaum minoritas yang dimaksud bukan dari segi jumlah, melainkan dalam segi kekuatan. Hal yang tak terbantahkan adalah struktur biologis laki-laki memang dirancang oleh Pencipta ‘lebih kuat’ dibanding perempuan. Bagaimanapun gencarnya protes dilayangkan, hal ini tetap tak dapat dibantah. Namun berbeda dengan potensi diri dan kecerdasan.
Gerakan ini terus belanjut hingga memasuki Indonesia. Di Indonesia buku-buku atau artikel yang memuat kata “feminis” sudah banyak tersusun rapi di perpustakaan sejak tahun 90-an. Hal ini membuktikan bahwa di Indonesia pun sama. Wanita yang menjadi pemeran utama dalam gerakan Ini sering mendapat tindakan ketidaksetaraan oleh lawan jenisnya.
Saat ini Indonesia sudah memperlihatkan bahwa tindakan seksis sudah mengalami kemerosotan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya perempuan yang memiliki potensi diri menduduki posisi penting dalam pekerjaan. Terlebih Indonesia sendiri sudah pernah dipimpin oleh presiden perempuan.
Ini adalah kabar baik, mengingat wanita dapat melakukan sesuatu yang sama dengan laki-laki sesuai dengan keinginan potensi dirinya. Entah itu ibu rumah tangga, pengusaha, karyawan swasta, ataupun pekerjaan lainnya.
Namun, tak jarang kita temukan bahwa kehidupan patriarki masih ada di berbagai sektor. Fakta tersebut tentu wajar di berbagai kalangan masyarakat, sebab bagaimana sistem kedaerahan yang turun temurun membiarkan budaya itu terjadi dan masih awet.
Stereotip pembedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan sebenarnya sudah terjadi sejak mereka masih anak-anak. Mulai dari mainan yang dibedakan sampai ke pembagain tugas di dalam rumah. Anak perempuan sering diminta untuk membantu ibunya membereskan rumah, sementara anak laki-laki sering membantu pekerjaan ayahnya. Seperti membantu memperbaiki keran bocor, membuat kandang ayam dan lain sebagainya.
Esai ini sebenarnya bukan bermaksud untuk membahas perkembangan feminis di Indonesia. Tapi menyarankan untuk menggunakan diksi baru. Dibanding memakai kata “kesetaraan”, bagi saya jauh lebih pas jika menggunakan kata “keadilan”.
Ada perbedaan yang tegas dan kontras dari kedua kata tersebut. Menurut saya pribadi setara adalah pembagian porsi yang sama rata. Ketika ada dua anak yang berbeda umur, yang satu sudah bersekolah di sekolah menengah dan satunya lagi masih berada di jenjang sekolah dasar, sama-sama diberi uang jajan sebesar dua puluh ribu rupiah merupakan hal yang setara. Tapi apakah itu adil? Tentu tidak. Mengingat kebutuhan sekolah menengah dan sekolah dasar jelas berbeda.
Keadilan adalah sesuatu yang memberi porsi sesuai dengan kebutuhan. Meskipun berbeda nominal, jika yang didapatkan sesuai porsi maka itu adalah tindakan keadilan. Tapi hal ini sangat sulit untuk diterapkan. Sebab nominal selalu menjadi alat ukur utama dalam nilai keadilan.
Dalam ekonomi, perempuan dan laki-laki memang harus mempunyai kesempatan yang sama. Ketika laki-laki bisa menjadi bos besar, untuk perempuan juga tidak menunutup kemungkinan. Dan ini adalah sebuah kesetaraan yang adil. Namun, ada beberapa sektor yang membuat laki-laki dan perempuan memang harus dibedakan dan stereotip tidak bisa dihindari seperti di dunia olahraga.
Pada lomba tolak peluru internasional cabang atletik, misalnya, untuk atlet junior laki-laki harus melempar peluru dengan berat 7,25 kg. Sedangkan perempuan hanya melempar peluru dengan berat 4 kg. Perbedaan yang mencolok ini memang tidak menunjukkan kesetaraan. Namun hal ini adil karena seperti yang ada di awal-awal esai ini, bahwa hal tak terbantahkan laki-laki memiliki struktur biologis yang lebih kuat dari perempuan.
Dalam olahraga lain juga demikian, sangat tidak adil dalam dunia badminton jika ganda putra berhadapan dengan ganda campuran. Meskipun setara dalam jumlah. Masih banyak sektor-sektor lain yang memang sulit untuk tidak dibedakan. Untuk alasan-alasan inilah saya lebih setuju jika kesetaraan gender diganti dengan “keadilan gender”.[]