• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Selasa, 26 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom Esai

Fenomena Narsisisme Religius Kaum Milenial

M. Naufal Waliyuddin by M. Naufal Waliyuddin
3 Mei 2021
in Esai
0
Fenomena Narsisisme Religius Kaum Milenial

Sumber: http://www.thephotoargus.com/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Peta perilaku penghuni abad mutakhir ini, di samping ada wabah korona, ternyata juga ada gejala baru, yakni wabah narsisisme. Dalam khazanah psikologi, narsisisme sejatinya bukan hal baru. Berangkat dari mitologi Yunani figur Narkissos (Narcissus) yang terlalu mengagumi pantulan wajahnya sendiri di telaga, nama tersebut diadopsi menjadi gangguan psikologis akan kecenderungan egophilia dan grandiose self-admiration (mengagumi diri secara berlebihan). Kalau meminjam terminologi Islam, kita kenal sebagai penyakit ‘ujub.

Belakangan kata narsisisme masuk ke DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) dengan mengalami spesifikasi menjadi Narcissistic Personality Disorder (NPD).[1] Ciri-ciri NPD setidaknya terangkum dalam 9 poin besar: [1] mengutamakan kepentingan dirinya di atas segala hal (a grandiose sense of self-importance); [2] angan-angan sukses tak terbatas dan cinta yang ideal; [3] rasa superior, special, unik dan haus akan pengakuan orang lain; [4] selalu ingin dipuji dan dikagumi; [5] mengharap perlakuan istimewa; [6] berperilaku sombong dan arogan; [7] kurang berempati; [8] iri pada orang lain atau percaya bahwa orang lain banyak yang iri kepadanya; [9] cenderung bertindak mengeksploitasi orang lain (interpersonally exploitative behavior).

Secara garis besar, narsisisme dapat diartikan sebagai gejala awal dari gangguan kepribadian atau kondisi mental individu yang merasa lebih hebat (superior) dari orang lain sehingga lebih mementingkan dirinya sendiri (selfish) dan kurang berempati ke pihak selain dirinya (lack of empathy).[2] Erich Fromm sendiri mengartikulasikan narsisisme sebagai kemunduran kepribadian (personality regression). Ironisnya, di masa kehadiran media baru dan mesin-mesin teknologi informasi semakin menggurita, kini narsisisme justru menemukan wadah untuk merebak—sehingga oleh Jean M. Twenge dan Keith Campbell disebut sebagai ‘wabah narsisisme’.[3]

Bahkan, dalam pandangan psikologi sosial dari Agnieszka Golec de Zavala[4], narsisisme yang pada mulanya dinilai sebagai gejala individual, pada nyatanya dapat membengkak, memuai, dan merembet secara kelompok—disebut narsisisme kolektif. Contohnya dapat diambil pada sejarah Perang Dunia II, ideologi Nazisme ala Hitler yang merasa superior sehingga menegasikan, sampai bahkan menggenosida kelompok liyan yang dipandangnya rendah.[5]

Persoalan narsisisme dalam konteks ini, dengan demikian, tidaklah sesempit yang diperbincangkan dalam jagat medsos seperti keranjingan berswafoto ria, memamerkan kecantikan atau ketampanan, dan juga prestasi. Semua fenomena kontemporer itu hanyalah sebagian kecil dari multi-indikator yang terkandung dalam bulatan narsisisme. Ia memiliki ruang definisi yang lebih kompleks dan bahkan bisa merambah ke persoalan sikap dan ekspresi keagamaan.

 

Kaum Muda Perlu Waspada

Hadirnya media sosial yang berperan tidak kalah penting dari koran dan televisi, menjadikan unsur “trendisitas” seolah capaian berharga terutama bagi generasi milenial (Y) dan generasi Z. Idiom viral dan trending topic semakin menunjukkan legitimasi tersendiri dan bahkan diburu-buru netizen. Sementara jika menengok kajian generasi dalam uraian Chaider S. Bamualim[6] dan Yasraf Amir Piliang, watak sosio-antropologis dari generasi muda masa kini cenderung hybrid (campuran), relatif menyukai budaya instan, multi-tasking, mengejar kebahagiaan walaupun sesaat, dan terakhir: narsis.[7] Meski demikian, perangai generasi tetaplah majemuk (multifaset), dan tidak tunggal. Don Tapscott menilai secara lebih apresiatif terhadap generasi kini dengan mengaitkan sejumlah norma semisal bermental creator, inovator, dan kolaboratif serta tidak feodal.[8]

Hanya saja, dengan adanya sokongan media daring, watak generasi, dan kondisi yang semakin tidak menentu begini, tentu gejala narsisisme akan potensial meningkat pada dinding-dinding dunia maya. Ihwal tersebut, mau tidak mau, akan turut mewarnai pusparagam ekspresi, sikap, dan perilaku kaum muda dalam bersosial—dan termasuk dalam ranah keagamaan.

Barangkali memang menggiriskan jika sejumlah pakar psikologi sosial, Kevin S. Carlson, mengatakan narsisisme ini lebih sering menjangkiti kaum muda. Senada dengan itu, Profesor Josh Grubbs dari Bowling Green State University merincikan bahwa generasi muda dalam rentang usia 18-25 tahun lebih condong ke beberapa prediktor narsisisme. Dan ini tidak saja secara individual, melainkan dapat berkembang menjadi kolektif. Jika demikian, tidak aneh saat kita memformulasikan frasa gabungan, yakni “narsisisme religius kolektif”. Suatu fenomena zaman yang merepresentasikan kecenderungan ‘komunitas’ keagamaan yang merasa superior, paling baik, paling unik, paling benar, dan berhak diperlakukan istimewa oleh kelompok lain.

Pada ranah keagamaan sudah sering kita jumpai segerombolan individu, dengan label kelompok keislaman tertentu misalnya, yang bersikap over-fanatik dan sebegitu merasa paling gagah dengan logika kelompoknya (in-group). Perangai yang seperti ini dapat mengarahkan seseorang atau komunitas untuk melegitimasi perlakuan tindak kekerasan atasnama kebenaran kelompok.

Apabila menukil ulasan Syekh M. Nursamad Kamba (allahu yarhamuh), kritik beliau cukup mengena atas fenomena narsisme: “orang-orang yang mengklaim beragama makin gaduh mempersoalkan siapa-siapa yang berhak masuk surga dan siapa saja penghuni neraka. Ironisnya, asas penilaian berhak-tidaknya seseorang masuk surga bukan dari kualitas-kualitas kemanusiaan, melainkan berdasarkan logika kelompok”.[9] Logika in-group yang parsial-eksklusif itulah yang menjadi corak determinan pada fenomena narsisisme religius kolektif yang negatif dan destruktif—berdaya rusak.

Mundur ke beberapa waktu silam, kita sering menjumpai kelompok takfiri yang mengklaim kebenaran kelompok mereka sebagai yang paling benar. Juga dapat kita ingat kembali propaganda ISIS, yang dengan keyakinan superior narsisisme, mereka bahkan sampai membunuh orang lain di luar kelompoknya. Dan masih banyak yang sejenis. Atas dasar itulah, hal yang perlu dicatat dalam tulisan ini adalah semua kelompok keagamaan, terutama buat kalangan yang masih muda, sangat potensial dan rentan terjangkit narsisisme religius kolektif—baik NU, Muhammadiyah, ataupun siapa saja. Mari ingat dan waspada![]

 

Catatan:

[1] American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (Fifth Edition), 5th ed. (Arlington (USA): New School Library, 2013).

[2] Siyin Chen, Rebecca Friesdorf, and Christian H. Jordan, “State and Trait Narcissism Predict Everyday Helping,” Self and Identity (March 2019).

[3] Jean M. Twenge and W. Keith Campbell, The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement (New York, London, Toronto, Sydney: Free Press, 2009).

[4] Agnieszka Golec de Zavala et al., “Collective Narcissism and Its Social Consequences,” Journal of Personality and Social Psychology 97, no. 6 (2009): 1074–1096.

[5] M. Naufal Waliyuddin, “Religious Expression of Millenial Muslims within Collective Narcissism Discourse in Digital Era,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 4, no. 2 (2019): 176–190.

[6] Chaider S. Bamualim, Hilman Latief, and Irfan Abubakar, eds., Kaum Muda Muslim Milenial: Konservatisme, Hibridasi Identitas, Dan Tantangan Radikalisme (Tangerang Selatan: Center for The Study of Religion and Culture (CSRC), 2018).

[7] Yasraf Amir Piliang, “Merayakan Narsisisme: Dunia Me Generation,” in Dunia Yang Berlari (Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2017), 133–143.

[8] Don Tapscott, Grown Up Digital: How the Net Generation Is Changing Your World (Chicago: McGraw-Hill, 2009).

[9] M. Nursamad Kamba, Kids Zaman Now Menemukan Kembali Islam (Tangerang Selatan: Pustaka IIMaN, 2018), 286–297.

Tags: Fenomena Narsisisme Religius Kaum Milenialkeagamaanmedsosmilenialnarsisismesosial
ShareTweetSendShare
Previous Post

Wartawan Ala Cak Rusdi

Next Post

Kebanyakan Fafifu

M. Naufal Waliyuddin

M. Naufal Waliyuddin

Tim Redaksi Metafor

Artikel Terkait

Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
Esai

Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna

5 Agustus 2025

Malam itu, saya belum ingin tidur cepat. Hingga lewat tengah malam dan hari berganti (Rabu, 23 Juli 2025) saya duduk...

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
Esai

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

28 Juli 2025

Jika bulan Juni sudah kepunyaan Sapardi, Juli adalah milik Hemingway. Pasalnya, suara tangis bayi-Hemingway pecah di bulan yang sama (21...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)

2 April 2024

Sepuluh menit setelah tanggal berganti menjadi 29 Maret 2024, teks cerpen Agus Noor dihidupkan di ampiteater Ladaya. Sejumlah kursi kayu...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1

1 April 2024

28 Maret 2024 Masehi. Malam 18 Ramadhan 1445 Hijriah. Saya tiba di Ladaya, Tenggarong, setelah menempuh lebih dari satu setengah...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Membakar Usia

Membakar Usia

4 April 2021
Gambar Artikel Wartawan Ala Cak Rusdi

Wartawan Ala Cak Rusdi

30 April 2021
Gambar Artikel Berguru pada Sherlock Holmes

Berguru pada Sherlock Holmes

8 Desember 2020
Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard

Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard

4 September 2022
Sebungkus Sunyi

Sebungkus Sunyi

20 November 2021
Gambar Artikel Kenangan yang Kusimpan Dalam-dalam

Kenangan yang Kusimpan Dalam-dalam

2 November 2020
Malam Kutukan

Malam Kutukan

28 Februari 2021
Pergantian Musim

Pergantian Musim

6 Februari 2021
Menyoal Cinta Vs Primbon Weton Jawa

Menyoal Cinta Vs Primbon Weton Jawa

26 Juli 2021
Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna

Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna

5 Agustus 2025
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (213)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (19)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.