slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
Fenomena Narsisisme Religius Kaum Milenial - Metafor.id
Metafor.id

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

  • Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Sunday, 1 June, 2025
  • Login
  • Register
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom Esai

Fenomena Narsisisme Religius Kaum Milenial

M. Naufal Waliyuddin by M. Naufal Waliyuddin
3 May 2021
in Esai
0
Fenomena Narsisisme Religius Kaum Milenial

Sumber: http://www.thephotoargus.com/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Peta perilaku penghuni abad mutakhir ini, di samping ada wabah korona, ternyata juga ada gejala baru, yakni wabah narsisisme. Dalam khazanah psikologi, narsisisme sejatinya bukan hal baru. Berangkat dari mitologi Yunani figur Narkissos (Narcissus) yang terlalu mengagumi pantulan wajahnya sendiri di telaga, nama tersebut diadopsi menjadi gangguan psikologis akan kecenderungan egophilia dan grandiose self-admiration (mengagumi diri secara berlebihan). Kalau meminjam terminologi Islam, kita kenal sebagai penyakit ‘ujub.

Belakangan kata narsisisme masuk ke DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) dengan mengalami spesifikasi menjadi Narcissistic Personality Disorder (NPD).[1] Ciri-ciri NPD setidaknya terangkum dalam 9 poin besar: [1] mengutamakan kepentingan dirinya di atas segala hal (a grandiose sense of self-importance); [2] angan-angan sukses tak terbatas dan cinta yang ideal; [3] rasa superior, special, unik dan haus akan pengakuan orang lain; [4] selalu ingin dipuji dan dikagumi; [5] mengharap perlakuan istimewa; [6] berperilaku sombong dan arogan; [7] kurang berempati; [8] iri pada orang lain atau percaya bahwa orang lain banyak yang iri kepadanya; [9] cenderung bertindak mengeksploitasi orang lain (interpersonally exploitative behavior).

Secara garis besar, narsisisme dapat diartikan sebagai gejala awal dari gangguan kepribadian atau kondisi mental individu yang merasa lebih hebat (superior) dari orang lain sehingga lebih mementingkan dirinya sendiri (selfish) dan kurang berempati ke pihak selain dirinya (lack of empathy).[2] Erich Fromm sendiri mengartikulasikan narsisisme sebagai kemunduran kepribadian (personality regression). Ironisnya, di masa kehadiran media baru dan mesin-mesin teknologi informasi semakin menggurita, kini narsisisme justru menemukan wadah untuk merebak—sehingga oleh Jean M. Twenge dan Keith Campbell disebut sebagai ‘wabah narsisisme’.[3]

Bahkan, dalam pandangan psikologi sosial dari Agnieszka Golec de Zavala[4], narsisisme yang pada mulanya dinilai sebagai gejala individual, pada nyatanya dapat membengkak, memuai, dan merembet secara kelompok—disebut narsisisme kolektif. Contohnya dapat diambil pada sejarah Perang Dunia II, ideologi Nazisme ala Hitler yang merasa superior sehingga menegasikan, sampai bahkan menggenosida kelompok liyan yang dipandangnya rendah.[5]

Persoalan narsisisme dalam konteks ini, dengan demikian, tidaklah sesempit yang diperbincangkan dalam jagat medsos seperti keranjingan berswafoto ria, memamerkan kecantikan atau ketampanan, dan juga prestasi. Semua fenomena kontemporer itu hanyalah sebagian kecil dari multi-indikator yang terkandung dalam bulatan narsisisme. Ia memiliki ruang definisi yang lebih kompleks dan bahkan bisa merambah ke persoalan sikap dan ekspresi keagamaan.

 

Kaum Muda Perlu Waspada

Hadirnya media sosial yang berperan tidak kalah penting dari koran dan televisi, menjadikan unsur “trendisitas” seolah capaian berharga terutama bagi generasi milenial (Y) dan generasi Z. Idiom viral dan trending topic semakin menunjukkan legitimasi tersendiri dan bahkan diburu-buru netizen. Sementara jika menengok kajian generasi dalam uraian Chaider S. Bamualim[6] dan Yasraf Amir Piliang, watak sosio-antropologis dari generasi muda masa kini cenderung hybrid (campuran), relatif menyukai budaya instan, multi-tasking, mengejar kebahagiaan walaupun sesaat, dan terakhir: narsis.[7] Meski demikian, perangai generasi tetaplah majemuk (multifaset), dan tidak tunggal. Don Tapscott menilai secara lebih apresiatif terhadap generasi kini dengan mengaitkan sejumlah norma semisal bermental creator, inovator, dan kolaboratif serta tidak feodal.[8]

Hanya saja, dengan adanya sokongan media daring, watak generasi, dan kondisi yang semakin tidak menentu begini, tentu gejala narsisisme akan potensial meningkat pada dinding-dinding dunia maya. Ihwal tersebut, mau tidak mau, akan turut mewarnai pusparagam ekspresi, sikap, dan perilaku kaum muda dalam bersosial—dan termasuk dalam ranah keagamaan.

Barangkali memang menggiriskan jika sejumlah pakar psikologi sosial, Kevin S. Carlson, mengatakan narsisisme ini lebih sering menjangkiti kaum muda. Senada dengan itu, Profesor Josh Grubbs dari Bowling Green State University merincikan bahwa generasi muda dalam rentang usia 18-25 tahun lebih condong ke beberapa prediktor narsisisme. Dan ini tidak saja secara individual, melainkan dapat berkembang menjadi kolektif. Jika demikian, tidak aneh saat kita memformulasikan frasa gabungan, yakni “narsisisme religius kolektif”. Suatu fenomena zaman yang merepresentasikan kecenderungan ‘komunitas’ keagamaan yang merasa superior, paling baik, paling unik, paling benar, dan berhak diperlakukan istimewa oleh kelompok lain.

Pada ranah keagamaan sudah sering kita jumpai segerombolan individu, dengan label kelompok keislaman tertentu misalnya, yang bersikap over-fanatik dan sebegitu merasa paling gagah dengan logika kelompoknya (in-group). Perangai yang seperti ini dapat mengarahkan seseorang atau komunitas untuk melegitimasi perlakuan tindak kekerasan atasnama kebenaran kelompok.

Apabila menukil ulasan Syekh M. Nursamad Kamba (allahu yarhamuh), kritik beliau cukup mengena atas fenomena narsisme: “orang-orang yang mengklaim beragama makin gaduh mempersoalkan siapa-siapa yang berhak masuk surga dan siapa saja penghuni neraka. Ironisnya, asas penilaian berhak-tidaknya seseorang masuk surga bukan dari kualitas-kualitas kemanusiaan, melainkan berdasarkan logika kelompok”.[9] Logika in-group yang parsial-eksklusif itulah yang menjadi corak determinan pada fenomena narsisisme religius kolektif yang negatif dan destruktif—berdaya rusak.

Mundur ke beberapa waktu silam, kita sering menjumpai kelompok takfiri yang mengklaim kebenaran kelompok mereka sebagai yang paling benar. Juga dapat kita ingat kembali propaganda ISIS, yang dengan keyakinan superior narsisisme, mereka bahkan sampai membunuh orang lain di luar kelompoknya. Dan masih banyak yang sejenis. Atas dasar itulah, hal yang perlu dicatat dalam tulisan ini adalah semua kelompok keagamaan, terutama buat kalangan yang masih muda, sangat potensial dan rentan terjangkit narsisisme religius kolektif—baik NU, Muhammadiyah, ataupun siapa saja. Mari ingat dan waspada![]

 

Catatan:

[1] American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (Fifth Edition), 5th ed. (Arlington (USA): New School Library, 2013).

[2] Siyin Chen, Rebecca Friesdorf, and Christian H. Jordan, “State and Trait Narcissism Predict Everyday Helping,” Self and Identity (March 2019).

[3] Jean M. Twenge and W. Keith Campbell, The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement (New York, London, Toronto, Sydney: Free Press, 2009).

[4] Agnieszka Golec de Zavala et al., “Collective Narcissism and Its Social Consequences,” Journal of Personality and Social Psychology 97, no. 6 (2009): 1074–1096.

[5] M. Naufal Waliyuddin, “Religious Expression of Millenial Muslims within Collective Narcissism Discourse in Digital Era,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 4, no. 2 (2019): 176–190.

[6] Chaider S. Bamualim, Hilman Latief, and Irfan Abubakar, eds., Kaum Muda Muslim Milenial: Konservatisme, Hibridasi Identitas, Dan Tantangan Radikalisme (Tangerang Selatan: Center for The Study of Religion and Culture (CSRC), 2018).

[7] Yasraf Amir Piliang, “Merayakan Narsisisme: Dunia Me Generation,” in Dunia Yang Berlari (Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2017), 133–143.

[8] Don Tapscott, Grown Up Digital: How the Net Generation Is Changing Your World (Chicago: McGraw-Hill, 2009).

[9] M. Nursamad Kamba, Kids Zaman Now Menemukan Kembali Islam (Tangerang Selatan: Pustaka IIMaN, 2018), 286–297.

Tags: Fenomena Narsisisme Religius Kaum Milenialkeagamaanmedsosmilenialnarsisismesosial
ShareTweetSendShare
Previous Post

Wartawan Ala Cak Rusdi

Next Post

Kebanyakan Fafifu

M. Naufal Waliyuddin

M. Naufal Waliyuddin

Tim Redaksi Metafor

Artikel Terkait

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)

2 April 2024

Sepuluh menit setelah tanggal berganti menjadi 29...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1

1 April 2024

28 Maret 2024 Masehi. Malam 18 Ramadhan 1445 Hijriah. Saya tiba di Ladaya, Tenggarong, setelah menempuh lebih dari satu setengah...

Maraknya Perundungan Tanda Rendahnya Budaya Literasi
Esai

Maraknya Perundungan Tanda Rendahnya Budaya Literasi

17 March 2024

Belakang ini isu perundungan bagai bom waktu. Setiap hari bisa meledak di mana-mana, baik di sekolah hingga pesantren elite sekalipun....

Public Speaking Bukan Hanya Keterampilan Orang Terpelajar
Esai

Public Speaking Bukan Hanya Keterampilan Orang Terpelajar

4 April 2023

Berbicara, sebagai kebutuhan primer dalam berinteraksi, dapat membuat sebuah pertemuan menjadi lebih hidup. Bagi kebanyakan orang, sering atau banyak bicara...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Puasa dalam Pandangan Budaya Pop dan Gejala Pseudo-Spiritualisme

Puasa dalam Pandangan Budaya Pop dan Gejala Pseudo-Spiritualisme

6 April 2022
Penulis Muda yang Pernah Putus Asa

Penulis Muda yang Pernah Putus Asa

6 April 2022
Win-Win Corruption

Win-Win Corruption

30 May 2021
Suaka Rasa dan Derita

Suaka Rasa dan Derita

12 February 2021
Gambar Artikel Surat Cinta Awal Tahunku

Surat Cinta Awal Tahunku

5 January 2021
Cermin Peradaban

Cermin Peradaban

14 February 2021
Membaca Cara Kerja Pikiran

Membaca Cara Kerja Pikiran

8 April 2022
https://unsplash.com/photos/WXeJcabNzhE

Bunuh Diri, Maut, dan Puisi

14 February 2021
Mengotak-atik Singkatan Merk Rokok

Mengotak-atik Singkatan Merk Rokok

5 March 2021
Surat Terbuka untuk Sunyi

Surat Terbuka untuk Sunyi

15 February 2021

Ikuti Kami di Instagram

    The Instagram Access Token is expired, Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to refresh it.
Facebook Twitter Instagram Youtube
Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya
  • Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
  • Penjual Susu dan Puisi Lainnya
  • Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta
  • Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival
  • Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
  • Membangun Literasi Peduli Bumi: Festival Buku Berjalan
  • Kandang Menjangan Menggugat dan Puisi Lainnya
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
  • Puasa Puisi: Perayaan Sastra Lintas Bahasa
  • Aku Merangkum Desember

Kategori

  • Event (10)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (8)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (63)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (50)
  • Metafor (206)
    • Cerpen (51)
    • Puisi (136)
    • Resensi (18)
  • Milenial (46)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (11)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In