• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Selasa, 14 Oktober 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom Esai

Advaitam Tagore dan Anasir Subtil D. Zawawi Imron

Wahyu Budiantoro by Wahyu Budiantoro
14 Januari 2021
in Esai
1
Gambar Esai Advaitam Tagore dan Anasir Subtil D. Zawawi Imron Advaitam Te

Sumber Gambar: http://afanyc.com/anne-bachelier/phantasmagoria/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Saya teringat kisah yang ditulis Rabindranath Tagore tentang penyanyi desa dari sekte Benggala yang disebut kaum Baul. Mereka tidak memiliki patung, kuil, kitab suci, atau upacara, yang menyatakan keilahian manusia dalam lagu-lagu mereka, dan mengekspresikan untuk Dia suatu perasaan cinta yang intens. Baul menyanyi, “Cinta adalah sentuhan emasku – ia mengubah nafsu menjadi pengabdian / bumi mencoba menjadi surga, manusia mencoba menjadi tuhan.” Tagore menegaskan melalui lagu itu bahwa agama-agama ini tidak pernah berkata tentang suatu Tuhan yang memiliki kekuatan kosmik, melainkan tentang Tuhan yang memiliki “kepribadian manusiawi”.

Ada semacam alegori pada lirik lagu Baul. Sesungguhnya yang akan mendulang emas adalah orang yang hidupnya penuh dengan “cinta”. Bukan orang yang merasa menjadi utusan Tuhan atau paling berhak menguasi “kata” suci dari kitab-kitab samawi yang menjadi hak para Rasul, sehingga dia bersikap “mencoba menjadi tuhan” dengan memberi tendensi baik buruk bagi sesama manusia. Oleh karena “cinta” menjadi subjek dan objek sekaligus, maka masjid, gereja, kuil dan wihara cumalah sebatas wasilah pengabdian dari “cinta” yang intens kepada-Nya.

Manusia “dituntut” oleh Tuhan untuk memahami hakikat kepribadian diri. Sehingga, kata Tagore, agama, cinta, kemanusiaan hingga kebenaran memiliki hubungan dan kesempurnaan dalam suatu dunia kemanusiaan yang abadi. Ketika kesibukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup menjadi agak berkurang, dia memiliki waktu senggang untuk menelaah misteri dirinya sendiri.

Dalam pada itu, batas primordial kedirian manusia di hadapan zat yang tak terhingga dapat diidentifikasi (dipahami). Tagore menyebutnya sebagai advaitam, representasi kemajemukan di dalam diri, bukan di luar. Sehingga, dengan memahami misteri diri, manusia mampu “menyadap ribuan gejala”, mirip petuah D. Zawawi Imron.

Bahasa hadir dari proses advaitam tersebut. Secara asasi, bahasa merupakan “asupan” pertama manusia, melalui doa, mantra, syiir atau lagu-lagu sesembahan, tergantung tradisi-budaya yang dihidupi. Sejak mula manusia diazankan, maka saat itu juga bahasa menjadi unsur ruhani yang subtil. Apakah azan bahasa? Saya kira demikian. Inti dari bahasa adalah komunikasi, tanda dan penanda. Azan menjadi penanda; identitas yang dibangun atas kesadaran primordialnya sebagai makhluk simbolis (agama).

Pada konteks itu, muncul-lah pengalaman dan penghayatan bahasa pada diri manusia. Semacam kaleidoskop usia dan renik-renik semesta yang dihadirkan sebagai penanda kedirian dan kemajemukan. Potret jiwa bahagia atau gelisah; tentunya dengan kehadiran simbol sebagai penanda. Bahasa menjadi sikap hidup, kata Sapardi Djoko Damono. Sikap yang selalu bergerak kreatif dalam memersepsi pengalaman pada ruang waktu. Sebagaimana lirik lagu Baul; cinta adalah sentuhan emasku – ia mengubah nafsu menjadi pengabdian / bumi mencoba menjadi surga, manusia mencoba menjadi tuhan”. Dari situ, bahasa menjadi alat untuk mewujudkan pengabdian dan gambaran keindahan, sebagai manifestasi eksistensi ketuhanan-kemanusiaan.

Bahasa dan pengalaman menjadi dua sisi subtil yang dimiliki manusia. Bahasa menjadi penegasan, sedangkan pengalaman mempengaruhi sudut pandang. Dua aspek itulah yang kemudian terpendar dalam puisi D. Zawawi Imron. Bagi saya, D. Zawawi Imron memiliki karakteristik dan keunggulannya sendiri dalam jejak perpuisian Indonesia. Selain mengandalkan momen puitik, intuisi atau hikmah juga mempengaruhi sudut pandanganya terhadap fenomena.

Dia pernah bercerita, saat dalam perjalanan menuju Jakarta dengan menaiki kereta, kereta tersebut berhenti di sebuah stasiun yang kebanjiran. Dari sana muncul ide untuk menulis sebuah sajak berjudul “Sungai Kecil”; sungai kecil, sungai kecil / di manakah engkau telah kulihat? Antara cirebon dan purwakarta atau hanya dalam mimpi / di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di tepimu daun-daun bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam doaku / … / sungai kecil, sungai kecil / mengalirlah terus ke rongga jantungku dan kalau kau payah / istirahatlah ke dalam tidurku / kau yang jelita kutembangkan buat kekasihku / (1980).

Sajak “Sungai Kecil” menandakan bahwa bahasa meruap dari dalam imajinasi (kedirian, advaitam) D. Zawawi Imron. “Sungai Kecil” yang sebetulnya gambaran dari banjir yang dilihatnya di sekitar stasiun menjadi sudut pandang dan penegasannya. Bila tak memiliki intuisi atau hikmah, banjir hanya dipandang sebagai bala atau petaka, bukan arus yang /mengalir ke dalam rongga jantungku/. Sikap berbahasa secara kreatif harus didasari kearifan dan keluasan sudut pandang.

Sajak “Kelenjar Sunyi” (Kelenjar Laut, 2007) mencerminkan itu pula: saat bonang mengiang / dan gong mengalun / sunyi pun lapar / ke mekahlah, tapi cari / multazam dalam diri sendiri /. Prinsip advaitam yang didengungkan Tagore ialah hakikat pencarian, alias pengembaraan. D. Zawawi Imron membutuhkan “Kelenjar Sunyi” untuk memahami hakikat pencarian/ pengembaraan itu. Karena diri adalah dinding yang harus didaki untuk senantiasa menghamba pada Tuhan, mengikis kepongahan. Bukankah tidak jauh hari Hamzah Fansuri yang pernah mengatakan; mencari Tuhan di bait al-Ka’bah dari Barus ke Kudus terlalu payah / akhirnya dapat di dalam rumah /.

“Kata tak cukup buat berkata”, ujar Toto Sudarto Bachtiar. Artinya, tak ada yang bisa dijelaskan secara gamblang melalui kata (bahasa). Setiap kata mengandung anasir misteriusnya sendiri dalam merepresentasikan makna. Tuhan, aku mohon / sisakan aku sebagai embun /. Sebab samudera makna yang terlalu luas itulah, D. Zawawi Imron “meminta” pada Tuhan untuk sekadar “menjadi embun”. Hidup menjadi “metafora Tuhan” barangkali lebih berarti bagi D. Zawawi Imron untuk menjumpai dirinya sendiri. Sehingga dalam perih yang sempurna / luka bunga dikecup sukma / dunia, mekarlah / imbuhnya.[]

Tags: Advaitam Tagore dan Anasir Subtil D. Zawawi ImronbahasaD. Zawawi ImronesaisastraTagore
ShareTweetSendShare
Previous Post

Selamanya Laut

Next Post

Abu Zayd Al-Balkhi: Ulama Psikologi yang Jarang Diketahui

Wahyu Budiantoro

Wahyu Budiantoro

Lahir di Purwokerto, 10 April. Saat ini ia tercatat sebagai Kepala Sekolah sekaligus pengajar di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto. Beberapa tulisnnya telah dipublikasikan di koran Laman Badan Bahasa Kemdikbud, Republika, Basabasi.co, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Bali Pos, dll. Buku pertamanya berjudul Aplikasi Teori Psikologi Sastra: Kajian Puisi dan Kehidupan Abdul Wachid B.S. (Kaldera Press, 2016).

Artikel Terkait

Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
Esai

Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna

5 Agustus 2025

Malam itu, saya belum ingin tidur cepat. Hingga lewat tengah malam dan hari berganti (Rabu, 23 Juli 2025) saya duduk...

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
Esai

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

28 Juli 2025

Jika bulan Juni sudah kepunyaan Sapardi, Juli adalah milik Hemingway. Pasalnya, suara tangis bayi-Hemingway pecah di bulan yang sama (21...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)

2 April 2024

Sepuluh menit setelah tanggal berganti menjadi 29 Maret 2024, teks cerpen Agus Noor dihidupkan di ampiteater Ladaya. Sejumlah kursi kayu...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1

1 April 2024

28 Maret 2024 Masehi. Malam 18 Ramadhan 1445 Hijriah. Saya tiba di Ladaya, Tenggarong, setelah menempuh lebih dari satu setengah...

Comments 1

  1. Ping-balik: Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan - Bagian 2 (Selesai) - Metafor.id

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Pilih Masjid yang Tarawih 8 atau 20? Ada yang Dua-duanya lo!

Pilih Masjid yang Tarawih 8 atau 20? Ada yang Dua-duanya lo!

13 April 2022
Gambar Artikel Kenangan yang Kusimpan Dalam-dalam

Kenangan yang Kusimpan Dalam-dalam

2 November 2020
Gambar Artikel Kehutanan yang Maha Hijau

Kehutanan yang Maha Hijau

20 November 2020
Gambar Artikel Ketika Seorang Perempuan Membaca Nawal el-Saadawi. Resensi Buku Perempuan di Titik Nol

Ketika Seorang Perempuan Membaca Nawal el-Saadawi

4 November 2020
Dan Kita Asing di Depan Matahari

Dan Kita Asing di Depan Matahari

11 Oktober 2021
Sastra: Sebuah Jalan Ritmis Menjadi Manusia

Sastra: Sebuah Jalan Ritmis Menjadi Manusia

1 September 2021
Menyikapi Pemikiran Barat Seperti Jamaluddin al-Afghani

Menyikapi Pemikiran Barat Seperti Jamaluddin al-Afghani

31 Januari 2022
Rindu Bersaung di Senaru

Rindu Bersaung di Senaru

10 Maret 2021
Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard

Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard

4 September 2022
Gejala Kebudayaan Hilang di Era Pandemi

Gejala Kebudayaan Hilang di Era Pandemi

7 Februari 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (216)
    • Cerpen (54)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.