Saya teringat kisah yang ditulis Rabindranath Tagore tentang penyanyi desa dari sekte Benggala yang disebut kaum Baul. Mereka tidak memiliki patung, kuil, kitab suci, atau upacara, yang menyatakan keilahian manusia dalam lagu-lagu mereka, dan mengekspresikan untuk Dia suatu perasaan cinta yang intens. Baul menyanyi, “Cinta adalah sentuhan emasku – ia mengubah nafsu menjadi pengabdian / bumi mencoba menjadi surga, manusia mencoba menjadi tuhan.” Tagore menegaskan melalui lagu itu bahwa agama-agama ini tidak pernah berkata tentang suatu Tuhan yang memiliki kekuatan kosmik, melainkan tentang Tuhan yang memiliki “kepribadian manusiawi”.
Ada semacam alegori pada lirik lagu Baul. Sesungguhnya yang akan mendulang emas adalah orang yang hidupnya penuh dengan “cinta”. Bukan orang yang merasa menjadi utusan Tuhan atau paling berhak menguasi “kata” suci dari kitab-kitab samawi yang menjadi hak para Rasul, sehingga dia bersikap “mencoba menjadi tuhan” dengan memberi tendensi baik buruk bagi sesama manusia. Oleh karena “cinta” menjadi subjek dan objek sekaligus, maka masjid, gereja, kuil dan wihara cumalah sebatas wasilah pengabdian dari “cinta” yang intens kepada-Nya.
Manusia “dituntut” oleh Tuhan untuk memahami hakikat kepribadian diri. Sehingga, kata Tagore, agama, cinta, kemanusiaan hingga kebenaran memiliki hubungan dan kesempurnaan dalam suatu dunia kemanusiaan yang abadi. Ketika kesibukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup menjadi agak berkurang, dia memiliki waktu senggang untuk menelaah misteri dirinya sendiri.
Dalam pada itu, batas primordial kedirian manusia di hadapan zat yang tak terhingga dapat diidentifikasi (dipahami). Tagore menyebutnya sebagai advaitam, representasi kemajemukan di dalam diri, bukan di luar. Sehingga, dengan memahami misteri diri, manusia mampu “menyadap ribuan gejala”, mirip petuah D. Zawawi Imron.
Bahasa hadir dari proses advaitam tersebut. Secara asasi, bahasa merupakan “asupan” pertama manusia, melalui doa, mantra, syiir atau lagu-lagu sesembahan, tergantung tradisi-budaya yang dihidupi. Sejak mula manusia diazankan, maka saat itu juga bahasa menjadi unsur ruhani yang subtil. Apakah azan bahasa? Saya kira demikian. Inti dari bahasa adalah komunikasi, tanda dan penanda. Azan menjadi penanda; identitas yang dibangun atas kesadaran primordialnya sebagai makhluk simbolis (agama).
Pada konteks itu, muncul-lah pengalaman dan penghayatan bahasa pada diri manusia. Semacam kaleidoskop usia dan renik-renik semesta yang dihadirkan sebagai penanda kedirian dan kemajemukan. Potret jiwa bahagia atau gelisah; tentunya dengan kehadiran simbol sebagai penanda. Bahasa menjadi sikap hidup, kata Sapardi Djoko Damono. Sikap yang selalu bergerak kreatif dalam memersepsi pengalaman pada ruang waktu. Sebagaimana lirik lagu Baul; cinta adalah sentuhan emasku – ia mengubah nafsu menjadi pengabdian / bumi mencoba menjadi surga, manusia mencoba menjadi tuhan”. Dari situ, bahasa menjadi alat untuk mewujudkan pengabdian dan gambaran keindahan, sebagai manifestasi eksistensi ketuhanan-kemanusiaan.
Bahasa dan pengalaman menjadi dua sisi subtil yang dimiliki manusia. Bahasa menjadi penegasan, sedangkan pengalaman mempengaruhi sudut pandang. Dua aspek itulah yang kemudian terpendar dalam puisi D. Zawawi Imron. Bagi saya, D. Zawawi Imron memiliki karakteristik dan keunggulannya sendiri dalam jejak perpuisian Indonesia. Selain mengandalkan momen puitik, intuisi atau hikmah juga mempengaruhi sudut pandanganya terhadap fenomena.
Dia pernah bercerita, saat dalam perjalanan menuju Jakarta dengan menaiki kereta, kereta tersebut berhenti di sebuah stasiun yang kebanjiran. Dari sana muncul ide untuk menulis sebuah sajak berjudul “Sungai Kecil”; sungai kecil, sungai kecil / di manakah engkau telah kulihat? Antara cirebon dan purwakarta atau hanya dalam mimpi / di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di tepimu daun-daun bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam doaku / … / sungai kecil, sungai kecil / mengalirlah terus ke rongga jantungku dan kalau kau payah / istirahatlah ke dalam tidurku / kau yang jelita kutembangkan buat kekasihku / (1980).
Sajak “Sungai Kecil” menandakan bahwa bahasa meruap dari dalam imajinasi (kedirian, advaitam) D. Zawawi Imron. “Sungai Kecil” yang sebetulnya gambaran dari banjir yang dilihatnya di sekitar stasiun menjadi sudut pandang dan penegasannya. Bila tak memiliki intuisi atau hikmah, banjir hanya dipandang sebagai bala atau petaka, bukan arus yang /mengalir ke dalam rongga jantungku/. Sikap berbahasa secara kreatif harus didasari kearifan dan keluasan sudut pandang.
Sajak “Kelenjar Sunyi” (Kelenjar Laut, 2007) mencerminkan itu pula: saat bonang mengiang / dan gong mengalun / sunyi pun lapar / ke mekahlah, tapi cari / multazam dalam diri sendiri /. Prinsip advaitam yang didengungkan Tagore ialah hakikat pencarian, alias pengembaraan. D. Zawawi Imron membutuhkan “Kelenjar Sunyi” untuk memahami hakikat pencarian/ pengembaraan itu. Karena diri adalah dinding yang harus didaki untuk senantiasa menghamba pada Tuhan, mengikis kepongahan. Bukankah tidak jauh hari Hamzah Fansuri yang pernah mengatakan; mencari Tuhan di bait al-Ka’bah dari Barus ke Kudus terlalu payah / akhirnya dapat di dalam rumah /.
“Kata tak cukup buat berkata”, ujar Toto Sudarto Bachtiar. Artinya, tak ada yang bisa dijelaskan secara gamblang melalui kata (bahasa). Setiap kata mengandung anasir misteriusnya sendiri dalam merepresentasikan makna. Tuhan, aku mohon / sisakan aku sebagai embun /. Sebab samudera makna yang terlalu luas itulah, D. Zawawi Imron “meminta” pada Tuhan untuk sekadar “menjadi embun”. Hidup menjadi “metafora Tuhan” barangkali lebih berarti bagi D. Zawawi Imron untuk menjumpai dirinya sendiri. Sehingga dalam perih yang sempurna / luka bunga dikecup sukma / dunia, mekarlah / imbuhnya.[]
Comments 1