slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
Pengalaman Menjadi Pramusaji - Jasong - Metafor.id
Metafor.id

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

  • Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Sunday, 1 June, 2025
  • Login
  • Register
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom Ceriwis

Jasong

Surat untuk Sobatku

M. Naufal Waliyuddin by M. Naufal Waliyuddin
26 January 2021
in Ceriwis
0
Gambar Artikel Jasong Pengalaman Menjadi Pramusaji

Sumber Gambar: http://www.greatbigcanvas.com/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Terlalu banyak hutang rasaku kepada orang-orang biasa di sekelilingku, Ponk. Barangkali jika aku menjadi seperti mereka, belum tentu kuat dan betah. Sekarang kau tengok orang-orang tua yang merelakan separuh hidupnya dengan porsi usia yang dihabiskan untuk menjadi pembantu, satpam, tukang cuci piring di restoran, atau pasukan penyapu jalanan. Mana bisa aku punya keluasan jiwa dan keikhlasan hidup sebesar itu?

Apalagi mereka punya ketekunan menjalani semua itu dengan waktu yang tidak sebentar. Mereka rela tidak bercita-cita, dan secara tidak langsung itu berarti melawan arus utama peradaban ini. Mereka memiliki kelapangan hati untuk menjadi bukan siapa-siapa. Sementara di dalam gelanggang perjudian hidup, yang terjadi sungguh sebaliknya: orang-orang bersirebut dan saling menusuk untuk berjuang menjadi siapa-siapa, sesuai keingingan materialistis dari watak masing-masing mereka.

Untungnya aku bersyukur pernah menjadi bagian langsung dari orang-orang ‘kecil’ yang berjiwa besar itu. Setidaknya, setelah dulu mencoba mendirikan Kedai Qiw-Qiw di Bandung dan berakhir bangkrut—dengan ending menjual gerobak untuk bayar kosan—aku berkesempatan untuk mengalami kerja sebagai seorang pramusaji di rumah makan. Tepat sebelum lanjut studi S-2 di Jogja, pengalaman singkat menjadi pramusaji di PostKuliner (Mojosari) turut menambah kesigapan mental, empati, dan roso kemanusiaanku. Minimal untuk bekal diriku sendiri.

Awalnya aku mendaftar kerja bareng teman MI, Afif, dan wawancara kerja pun bersamanya. Saat itu aku masih gondrong—dan tidak perduli diterima atau tidak, aku belum berniat untuk mencukurnya. Kata seorang rekan kerja, Ainun, saat aku sudah bekerja, ia bilang padaku bahwa ia merasa kuatir jika nanti orang gondrong ini diterima kerja dan menjadi partnernya. Hasilnya ya begitulah, justru aku dan Afif diterima dan menjadi koleganya. Beruntungnya, syarat yang aku ajukan ketika wawancara agar tidak diwajibkan mencukur rambut, ternyata diterima—asal dikuncrit saat bekerja.

Ringkas cerita, aku belajar menjadi seorang pramusaji. Menyiapkan meja-meja, menyemprot dan melap, nyapu tentu saja, ngepel juga, termasuk memberi makan ikan di kolam dekat musala dengan terlebih dahulu mengambil pakan di kediaman dr. Prima—yang di dalamnya ternyata banyak burung lakbed (baca: lovebird). Semua itu kami lakukan bergantian dengan Ainun, Boy, Mbak Fina dan Afif. Jika aku menyapu, maka yang sisanya melap meja, ngepel, dan mengambil sendok-garpu plus wadah sambal untuk diseka. Luas rumah makan itu lumayan. Kira-kira 15 kali 20 meter persegi dengan ruang-ruang tertentu yang harus disapu dan dibersihkan. Apalagi depan gerbang yang banyak daunan gugur. Cukup membuatmu berkeringat semasih pagi.

Saat melayani para pelanggan, ada kata unik yang kuhafal dari budaya pramusaji: jasong. Akronim dari “Meja Kosong”. Begitu mendengar mantera itu, kami seketika gesit menuju ke meja tersebut, membawa semprotan dan lap, sambil membawa aneka hidangan tandas untuk ditaruh ke belakang. Sewaktu pramusaji masih berlima, hal tersebut terasa ringan, bahkan sering bagi kami untuk berebut pekerjaan ketika sepi—ketimbang melamun. Namun tiba waktu ramainya, kelabakan sudah jadi hal biasa. Teriak sana-sini dari balik dapur. Lari-lari mengantar pesanan untuk kemudian lari lagi ke meja kosong. Sudah seperti olahraga tapi dibayar.

Upahnya sebulan awal 600 ribu rupiah. Maklum pekerja baru. Yang lama pun tidak sampai dua juta. Wajarlah, namanya juga rumah makan. Rata-rata di Mojokerto ya rentang 800 ribu sampai 1,5 juta. Tapi gaji segitu bagiku, meski mripit dan terasa tak sepadan dengan kerjaan, namun rasa awetnya sungguh terasa. Berbeda dengan uang beasiswa semasa S1 dulu. Cepat amblas.

Walaupun terasa awet, namanya pemuda tentu ada sifat borosnya dong. Maka di bulan kedua aku minta usul kenaikan upah—padahal di awal wawancara kerja, 3 bulan pertama, gaji 600 ribu/bulan (aslinya 350 ribu, plus uang transport dan makan) sudah disepakati umum. Namun aku nekat saja minta naik—mempertimbangkan kondisi bekerja. Terutama kabar Afif, teman MI-ku yang keluar setelah baru 2 minggu-an bekerja, agaknya menjadi konsiderasi pihak manajemen, Mbak Opu, untuk mengabulkan itu. Alhasil, permintaanku pun disetujui dan upah bulan kedua sebesar 800 ribu belum termasuk lembur.

Terkait gaji ini, sudah jadi rahasia umum bahwa para pekerja sering ngerasani pihak pemilik maupun manajemen. Konon, rumah makan di mana-mana ya begitu, kalau upah dinilai tidak seberapa, pasti tidak sedikit yang merecoki walau tetap bertahan kerja di sana. Beda dengan pabrik yang rata-rata UMK atau UMR—yang pekerja dengan kontrak resmi.

Dari ketergiuran upah pabrik itulah, tak jarang yang merasa ingin pindah kerja ke pabrik setelah kontrak dengan rumah makan habis. Seperti Hanim, pekerja di bagian Bar yang sudah berumah tangga. Kalau Yopi, rekan di bagian Bar (menteri perminuman), tidak minat ke pabrik namun berjiwa usaha—dengan menjual minuman di hari libur entah di CFD Mojosari atau depan PostKuliner pas. Kalau orang dapur semacam Cahyo, Cak Iksan Waitu, Pak Nur, Wak Gaguk, Pak Amin, Erwin, Sinyo, Rijal, ya sudah berkutat dengan urusan tata-boga. Sudah banyak jam terbang mereka di rumah makan-rumah makan.

Rijal, Erwin dan Sinyo inilah yang mengajariku memotong cepat di dapur—sesekali aku kena semprot karena ini, haha. Kalau Pak Amin, orang tua mantan pemain ludruk dan remo yang agak ‘feminim’ namun gendut ini bagian di nyuci piring. Beliau pergi-pulang kerja memakai ontel cewek yang berkeranjang itu dengan jarak tempuh Mojosari-Sruni yang sekitar 5 km. PP, Ponk! Di jaman yang motor sudah wasss-wess ke sana kemari. Sungguh sabar dan irit.

Urusan mengirit ini, karena aku masih pakai motor Mio lawas milik ibuku, maka dalam seminggu aku lumayan sering nginep di mes kerja. Di belakang PostKuliner dekat musala dan kolam ikan. Terutama saat hari ini masuk shift sore dan besoknya masuk pagi, aku lebih memilih tidur di mes.

Suatu kali pernah ketemu ‘Mas’ Iin saat ia berkunjung bersama temannya sesama guru. Ia WA aku dan dikira aku sedang di PostKul sebagai pembeli, padahal sebagai pelayannya. Haha. Pernah juga saat itu Ramadan, Bu Evi—guru matematika kita—beserta keluarganya buka bersama di sana. Aku kebetulan mengantarkannya ke meja beliau dan selaku murid tentu salimlah aku dengan rambut gondrong berkuncrit. Sembari menahan sungkan—kalau gengsi, tentu tidak—kujawab pertanyaan beliau ringkas bahwa bekerja di sini ya untuk mengisi waktu dan itung-itung nyari kegiatan dan berupah.

Kalau kau tau saat Ramadan, Ponk, jika diamati memang mirip ketika ada yang reservasi buffe (buffet) prasmanan: latihan menjadi babu, disuruh sana sini, pasang lampu terus lepas lagi, dan aneka drama lainnya. Seru-seru asu. Habis menata meja begini, eh dirombak dan diganti gaya lagi. Tak jarang Eka dan Fifi yang sebagai kasir hanya menahan tawa saat mengamati kami yang usung-usung terus diatur ulang lagi. Namun sungguh itu semua adalah pengalaman yang berharga dan takkan pernah bisa terbeli. Kepada mereka, teman-teman di PostKul, doaku tulus untuk kesehatan dan kelancaran hidup mereka.[]

Tags: ceriwisjasongkulinerpengalaman menjadi pramusajipramusajirumah makansuratwaiter
ShareTweetSendShare
Previous Post

Hamba untuk Tuhan

Next Post

Aku (Telah) Bermimpi

M. Naufal Waliyuddin

M. Naufal Waliyuddin

Tim Redaksi Metafor

Artikel Terkait

Ada Apa dengan “Manusia Indonesia”?
Ceriwis

Ada Apa dengan “Manusia Indonesia”?

22 March 2023

Tulisan ini bukan tulisan ilmiah. Ia tidak berdasarkan riset akademis yang harus dipertanggungjawabkan. Ini mungkin, lebih tepatnya, sejenis refleksi kultural...

Seni Memahami (Diri)
Ceriwis

Seni Memahami (Diri)

11 April 2022

Saat pertama kali saya mendengar kata "hermeneutika", saya tertarik untuk tahu artinya. Namun, saya tidak sampai mencari makna. Saya mendengar...

Transformasi Standar Berkat Gendurenan di Era Revolusi Industri 4.0
Ceriwis

Transformasi Standar Berkat Gendurenan di Era Revolusi Industri 4.0

13 January 2022

Selama ini, apabila seseorang―bisa juga beberapa orang―membicarakan genduren, pasti nggak akan jauh-jauh dari kata bid’ah. Entah bagaimana ceritanya, topik genduren...

Balapan yang Dibudayakan
Ceriwis

Balapan yang Dibudayakan

20 October 2021

Ini adalah kisah yang saya alami beberapa bulan lalu, saat dunia perkampusan membawa saya pada akhir semester tujuh. Sudah mendekati...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Pilih Masjid yang Tarawih 8 atau 20? Ada yang Dua-duanya lo!

Pilih Masjid yang Tarawih 8 atau 20? Ada yang Dua-duanya lo!

13 April 2022
Baret Kuning Si Penyelamat

Baret Kuning Si Penyelamat

7 January 2022
Dari Nafas Malamku

Dari Nafas Malamku

11 May 2021
Apa Tidak Eman-eman?

Apa Tidak Eman-eman?

1 March 2021
Sekala Niskala

Sekala Niskala

18 April 2022
Gambar Artikel Senyuman Malaikat Maut

Senyuman Malaikat Maut

20 December 2020
Buron dan Segelas Es Teh

Buron dan Segelas Es Teh

26 March 2022
Aku Pernah Melihatmu Tertidur

Aku Pernah Melihatmu Tertidur

17 May 2021
Gambar Artikel Sedekah Berbalas dan Kepamrihan

Sedekah Berbalas dan Kepamrihan

1 December 2020
Gambar Artikel Aku dan Impian Terbesarku: Pengalaman Tinggal di Jerman

Aku dan Impian Terbesarku: Pengalaman Tinggal di Jerman

29 November 2020

Ikuti Kami di Instagram

    The Instagram Access Token is expired, Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to refresh it.
Facebook Twitter Instagram Youtube
Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya
  • Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
  • Penjual Susu dan Puisi Lainnya
  • Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta
  • Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival
  • Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
  • Membangun Literasi Peduli Bumi: Festival Buku Berjalan
  • Kandang Menjangan Menggugat dan Puisi Lainnya
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
  • Puasa Puisi: Perayaan Sastra Lintas Bahasa
  • Aku Merangkum Desember

Kategori

  • Event (10)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (8)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (63)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (50)
  • Metafor (206)
    • Cerpen (51)
    • Puisi (136)
    • Resensi (18)
  • Milenial (46)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (11)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In