Terlalu banyak hutang rasaku kepada orang-orang biasa di sekelilingku, Ponk. Barangkali jika aku menjadi seperti mereka, belum tentu kuat dan betah. Sekarang kau tengok orang-orang tua yang merelakan separuh hidupnya dengan porsi usia yang dihabiskan untuk menjadi pembantu, satpam, tukang cuci piring di restoran, atau pasukan penyapu jalanan. Mana bisa aku punya keluasan jiwa dan keikhlasan hidup sebesar itu?
Apalagi mereka punya ketekunan menjalani semua itu dengan waktu yang tidak sebentar. Mereka rela tidak bercita-cita, dan secara tidak langsung itu berarti melawan arus utama peradaban ini. Mereka memiliki kelapangan hati untuk menjadi bukan siapa-siapa. Sementara di dalam gelanggang perjudian hidup, yang terjadi sungguh sebaliknya: orang-orang bersirebut dan saling menusuk untuk berjuang menjadi siapa-siapa, sesuai keingingan materialistis dari watak masing-masing mereka.
Untungnya aku bersyukur pernah menjadi bagian langsung dari orang-orang ‘kecil’ yang berjiwa besar itu. Setidaknya, setelah dulu mencoba mendirikan Kedai Qiw-Qiw di Bandung dan berakhir bangkrut—dengan ending menjual gerobak untuk bayar kosan—aku berkesempatan untuk mengalami kerja sebagai seorang pramusaji di rumah makan. Tepat sebelum lanjut studi S-2 di Jogja, pengalaman singkat menjadi pramusaji di PostKuliner (Mojosari) turut menambah kesigapan mental, empati, dan roso kemanusiaanku. Minimal untuk bekal diriku sendiri.
Awalnya aku mendaftar kerja bareng teman MI, Afif, dan wawancara kerja pun bersamanya. Saat itu aku masih gondrong—dan tidak perduli diterima atau tidak, aku belum berniat untuk mencukurnya. Kata seorang rekan kerja, Ainun, saat aku sudah bekerja, ia bilang padaku bahwa ia merasa kuatir jika nanti orang gondrong ini diterima kerja dan menjadi partnernya. Hasilnya ya begitulah, justru aku dan Afif diterima dan menjadi koleganya. Beruntungnya, syarat yang aku ajukan ketika wawancara agar tidak diwajibkan mencukur rambut, ternyata diterima—asal dikuncrit saat bekerja.
Ringkas cerita, aku belajar menjadi seorang pramusaji. Menyiapkan meja-meja, menyemprot dan melap, nyapu tentu saja, ngepel juga, termasuk memberi makan ikan di kolam dekat musala dengan terlebih dahulu mengambil pakan di kediaman dr. Prima—yang di dalamnya ternyata banyak burung lakbed (baca: lovebird). Semua itu kami lakukan bergantian dengan Ainun, Boy, Mbak Fina dan Afif. Jika aku menyapu, maka yang sisanya melap meja, ngepel, dan mengambil sendok-garpu plus wadah sambal untuk diseka. Luas rumah makan itu lumayan. Kira-kira 15 kali 20 meter persegi dengan ruang-ruang tertentu yang harus disapu dan dibersihkan. Apalagi depan gerbang yang banyak daunan gugur. Cukup membuatmu berkeringat semasih pagi.
Saat melayani para pelanggan, ada kata unik yang kuhafal dari budaya pramusaji: jasong. Akronim dari “Meja Kosong”. Begitu mendengar mantera itu, kami seketika gesit menuju ke meja tersebut, membawa semprotan dan lap, sambil membawa aneka hidangan tandas untuk ditaruh ke belakang. Sewaktu pramusaji masih berlima, hal tersebut terasa ringan, bahkan sering bagi kami untuk berebut pekerjaan ketika sepi—ketimbang melamun. Namun tiba waktu ramainya, kelabakan sudah jadi hal biasa. Teriak sana-sini dari balik dapur. Lari-lari mengantar pesanan untuk kemudian lari lagi ke meja kosong. Sudah seperti olahraga tapi dibayar.
Upahnya sebulan awal 600 ribu rupiah. Maklum pekerja baru. Yang lama pun tidak sampai dua juta. Wajarlah, namanya juga rumah makan. Rata-rata di Mojokerto ya rentang 800 ribu sampai 1,5 juta. Tapi gaji segitu bagiku, meski mripit dan terasa tak sepadan dengan kerjaan, namun rasa awetnya sungguh terasa. Berbeda dengan uang beasiswa semasa S1 dulu. Cepat amblas.
Walaupun terasa awet, namanya pemuda tentu ada sifat borosnya dong. Maka di bulan kedua aku minta usul kenaikan upah—padahal di awal wawancara kerja, 3 bulan pertama, gaji 600 ribu/bulan (aslinya 350 ribu, plus uang transport dan makan) sudah disepakati umum. Namun aku nekat saja minta naik—mempertimbangkan kondisi bekerja. Terutama kabar Afif, teman MI-ku yang keluar setelah baru 2 minggu-an bekerja, agaknya menjadi konsiderasi pihak manajemen, Mbak Opu, untuk mengabulkan itu. Alhasil, permintaanku pun disetujui dan upah bulan kedua sebesar 800 ribu belum termasuk lembur.
Terkait gaji ini, sudah jadi rahasia umum bahwa para pekerja sering ngerasani pihak pemilik maupun manajemen. Konon, rumah makan di mana-mana ya begitu, kalau upah dinilai tidak seberapa, pasti tidak sedikit yang merecoki walau tetap bertahan kerja di sana. Beda dengan pabrik yang rata-rata UMK atau UMR—yang pekerja dengan kontrak resmi.
Dari ketergiuran upah pabrik itulah, tak jarang yang merasa ingin pindah kerja ke pabrik setelah kontrak dengan rumah makan habis. Seperti Hanim, pekerja di bagian Bar yang sudah berumah tangga. Kalau Yopi, rekan di bagian Bar (menteri perminuman), tidak minat ke pabrik namun berjiwa usaha—dengan menjual minuman di hari libur entah di CFD Mojosari atau depan PostKuliner pas. Kalau orang dapur semacam Cahyo, Cak Iksan Waitu, Pak Nur, Wak Gaguk, Pak Amin, Erwin, Sinyo, Rijal, ya sudah berkutat dengan urusan tata-boga. Sudah banyak jam terbang mereka di rumah makan-rumah makan.
Rijal, Erwin dan Sinyo inilah yang mengajariku memotong cepat di dapur—sesekali aku kena semprot karena ini, haha. Kalau Pak Amin, orang tua mantan pemain ludruk dan remo yang agak ‘feminim’ namun gendut ini bagian di nyuci piring. Beliau pergi-pulang kerja memakai ontel cewek yang berkeranjang itu dengan jarak tempuh Mojosari-Sruni yang sekitar 5 km. PP, Ponk! Di jaman yang motor sudah wasss-wess ke sana kemari. Sungguh sabar dan irit.
Urusan mengirit ini, karena aku masih pakai motor Mio lawas milik ibuku, maka dalam seminggu aku lumayan sering nginep di mes kerja. Di belakang PostKuliner dekat musala dan kolam ikan. Terutama saat hari ini masuk shift sore dan besoknya masuk pagi, aku lebih memilih tidur di mes.
Suatu kali pernah ketemu ‘Mas’ Iin saat ia berkunjung bersama temannya sesama guru. Ia WA aku dan dikira aku sedang di PostKul sebagai pembeli, padahal sebagai pelayannya. Haha. Pernah juga saat itu Ramadan, Bu Evi—guru matematika kita—beserta keluarganya buka bersama di sana. Aku kebetulan mengantarkannya ke meja beliau dan selaku murid tentu salimlah aku dengan rambut gondrong berkuncrit. Sembari menahan sungkan—kalau gengsi, tentu tidak—kujawab pertanyaan beliau ringkas bahwa bekerja di sini ya untuk mengisi waktu dan itung-itung nyari kegiatan dan berupah.
Kalau kau tau saat Ramadan, Ponk, jika diamati memang mirip ketika ada yang reservasi buffe (buffet) prasmanan: latihan menjadi babu, disuruh sana sini, pasang lampu terus lepas lagi, dan aneka drama lainnya. Seru-seru asu. Habis menata meja begini, eh dirombak dan diganti gaya lagi. Tak jarang Eka dan Fifi yang sebagai kasir hanya menahan tawa saat mengamati kami yang usung-usung terus diatur ulang lagi. Namun sungguh itu semua adalah pengalaman yang berharga dan takkan pernah bisa terbeli. Kepada mereka, teman-teman di PostKul, doaku tulus untuk kesehatan dan kelancaran hidup mereka.[]