• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Selasa, 26 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Inspiratif

Pengungsi Peradaban (2)

Duljabbar by Duljabbar
23 Januari 2021
in Hikmah, Inspiratif
0
Gambar Artikel Pengungsi Peradaban, Para Pencari Mbah Nun

Sumber Gambar: https://www.lenamacka.com/illustrations/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Dan inilah yang mungkin banyak dari kawan saya sudah mendengar, saya pernah ditemui Ratu dari Para Ratunya Bangsa Jin. Tapi tenang, sekarang tahta itu sudah ada di saya. Jadi sekarang ini saya adalah Raja dari Bangsa Jin. Hormati saya!

Perempuan, mungkin berusia tiga puluhan tahun. Datang di sore hari yang mana saya sedang santai sebab belum ada pelanggan. Mulanya dia berlagak biasa saja, sebagaimana pelanggan kedai pada umumnya. Pesan minuman, lantas mencari tempat duduk. Setelah menentukan tempat duduknya dengan diletakkan tas miliknya, dia tak kunjung duduk. Berjalan kesana-kemari seperti orang gelisah. Saya biasa saja, masih membikinkan pesanannya.

Bel tanda pesanan sudah jadi saya dentingkan. Kebetulan dia sedang mondar-mandir tak jauh dari tempat pesanan sudah jadi. Saya panggil, “Mbak, ini pesanannya sudah jadi.”

“Lho, ya dianter ke tempat saya dong, Mas. Saya ini pelanggan, kok disuruh ambil sendiri, gimana toh.”

Untung saja nada bicaranya guyon, bukan marah betulan. Dia mendekat ke minuman pesanannya, dan di situ juga dia mengaduk minumannya. Yang bikin saya gatal untuk bicara, adalah cara mengaduknya yang berlebihan, sampai tumpah-tumpah membasahi nampan.

Karena sebelumnya dia terlihat guyonan, maka saya guyoni juga, “Ada masalah apa, toh, Mbak? Kok ngaduknya ndak bisa biasa.”

Ndilalahe, dia bilang, “Aku ini marah betul. Marah betul dengan yang namanya Cak Nun. Di mana orangnya? Saya mau ketemu. Mau saya labrak. Orang kok bisa kayak gitu.” Walah, siapa pula yang ndak kaget dengar dia bicara seperti itu. Yang tadinya dia nampak friendly, sekarang jadi orang lain yang dipenuhi amarah.

“Ada masalah apa sama Mbah Nun, Mbak? Kita bicarakan dulu.”

“Kamu siapanya Cak Nun? Siapa yang punya warung ini? Siapa yang punya tempat ini? Saya mau ketemu siapapun yang ngurus tempat ini. Mau saya labrak itu yang namanya Cak Nun. Kamu siapa di sini? Kamu siapanya Cak Nun?” Dengan sentakan-sentakan nada tinggi amarahnya.

Wah, ini kesempatan saya berlatih teater, batin saya. Tak lama, saya bicara dengan tegas, dengan tatapan mata yang tajam, “Saya yang ngurus warung ini. Saya cucunya Mbah Nun. Saya yang jaga di Kadipiro ini. Sampean ada urusan apa?”

Dia masih menantang, “Beneran kamu cucunya Cak Nun? Apa buktinya kamu cucunya?”

“Memangnya apa yang mau dibuktikan? Saya tunjukkan identitas? Atau mau adu keilmuan dengan saya?” Untung saja dia tidak meladeni adu keilmuan yang saya tawarkan, sebab saya ini jelas tidak handal apa-apa.

“Saya ini marah betul. Kok bisa-bisanya Cak Nun sewaktu pengajian mesti misuh-misuh, entah asu, bajingan, dan teman-temannya. Setiap pengajian di Kasihan itu pasti misuh-misuh terus.”

“Lho, mana pernah ada pengajian? Wong itu Maiyahan kok, sinau bareng, bukan pengajian.” Dia jeda bicara agak lama.

“Kalo saya sendiri yang dengar, ya ndak masalah. Tapi saya ini setiap pengajian mengajak dua anak saya yang masih kecil. Masak iya anak-anak saya masih kecil sudah dengar pisuhan-pisuhan begitu? Bagaimana nanti kalau dicontoh? Apa misuh itu baik?”

Akhirnya saya ajak dia ke tempat duduknya, supaya lebih nyantai dikit. Sekitar empat jam dia ada di kedai. Bukan cuma ngobrol dengan saya, tapi juga ke kawan kerja saya yang lain. Tapi tetap, saya lah yang mendapat dominasi obrolan selama empat jam itu. Cerita ngalor-ngidul dan berdebat ngetan-ngulon. Selama empat jam itu, intinya cuma satu: dia ingin ketemu Mbah Nun.

Karena Mbah Nun pun saat itu di luar kota, saya tawarkan dia untuk menitipkan pesan saja. Dan setelah dititipkan, ya sudah, tidak ada problem lagi, katanya. Cuma ingin minta maaf karena berpikiran dan marah kepada Mbah Nun seperti tadi. Tapi dipikir-pikir, marahnya itu ke saya, bukan ke Mbah Nun. Dia pamit.

Sekitar dua-tiga hari setelah itu, dia datang lagi. Sekitar waktu maghrib dia datang. Dan ya, saya meladeninya lagi. Kebetulan malam itu ada acara internal di Pendopo, yang letaknya tak jauh dari kedai. Suara-suara dan sebagian ruang masih bisa didengar dan dilihat dari kedai. Dia ingin betul dan memohon-mohon kepada saya untuk bisa ikut ke Pendopo. Saya bilang saja, kalau itu acara internal.

“Kalau kemarin sampean bilang sampean itu tresno sama Mbah Nun, ndak usah ikut kesana. Percaya sama saya.”

Berhasil saya meyakinkan. Tapi datangnya kali ini ternyata tidak sendirian. Dia diikuti oleh Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, Nyi Ratu Kidul, dan semua Nyi-nyi yang ada di Yogyakarta, katanya. Dia merasa terpojok karena disuruh oleh Nyi-Nyi itu untuk menjadi Ratu mereka. Ratunya Para Ratu. Gimana ndak pening?

Dia amat merasa terpojok bukan karena tahtanya. Tapi karena para Ratu itu tadi ingin belajar Islam ke dia. Para Ratu sudah masuk Islam, tapi ingin belajar Islam ke dia sendiri. Dia keberatan karena merasa belum cukup ilmu untuk mengajarkan Islam ke mereka. Seperti yang saya duga, dia ingin menitipkan para Ratu itu kepada Mbah Nun, untuk diajari Islam. Dia ingin lagi ketemu dengan Mbah Nun. Saya tahan-tahan betul agar dia tak nekat menuju ke Pendopo yang sedang menjalankan Hizib Nashr waktu itu.

Akhirnya saya tawarkan, “Mbak, begini saja. Saya bisa mengajak jin-jin itu ke Mbah Nun, tapi ada syaratnya.”

“Bagaimana, Mas?” Jawabnya dengan tatapan kepo.

“Saya minta tolong, jin-jin itu ditinggal di sini dulu sebelum anda pulang. Atau pasrahkan ke saya dulu saja. Baru setelah itu saya sowankan ke Mbah Nun, beliau bisa menerima atau tidak.” Dia nurut, tak lama setelah itu dia pamit.

Besoknya? Jelas datang lagi, dong. Dia mengkonfirmasi kelanjutan perihal jin itu.

“Bagaimana, Mas? Mbah Nun bisa mengajari jin-jin itu?”

Untung saja, sore sebelum dia datang, saya dikasih ide Allah untuk menjawab pertanyaan semacam itu,

“Saya sudah ketemu beliau, Mbak. Tapi mohon maaf, beliau belum bisa menerima jin-jin tadi. Sebab sudah banyak yang ikut beliau, nanti malah ndak bisa mengajari dengan baik.

“Lho, terus gimana, Mas? Kok gitu, toh?”

“Kata Simbah, jin-jinnya biar saya saja yang bawa. Biar belajar sama saya saja. Saya dipasrahkan untuk mengurus dan mengajari Islam ke mereka.”

Dia bertingkah seperti betul-betul lega, plong, sumringah, bahagia, dan kesenangan-kesenangan lain. Senang sekali kalau dia sudah tak diikuti jin-jin itu lagi. Akhirnya dia melakukan gerakan-gerakan tangan seperti ritual, yang katanya memberikan tahta keratuannya kepada saya. Dan ya, mulai malam itu saya sah menjadi Raja Bangsa Jin!

Apa dengan begitu sudah selesai? Sudah tidak pernah ke sini? Oh jelas tidak. Setiap seminggu sekali dia ke sini. Bedanya, dia tidak lagi ngebet untuk ketemu Mbah Nun. Cukup ketemu saya saja, beres. Dengan cerita-cerita bawaannya yang tak kalah waw.

Maka saya merangkap tiga tugas di Kadipiro sekarang ini; tukang seduh kopi, satpam, dan juga raja bangsa jin.

Bilamana ada kesempatan untuk sowan ke Mbah Nun, saya betul-betul ingin minta maaf karena mengada-ada konfirmasi beliau terhadap dunia jin yang menyebabkan saya lah rajanya sekarang. Masih banyak dan variatif ‘Para Pencari Mbah Nun’ selain beberapa yang sudah saya ceritakan di atas. Prinsip saya sederhana, mereka butuh seseorang yang mendengarkan apa keluh kesahnya. Maka berikanlah panggung kepada mereka untuk menjadi diri mereka yang sebenarnya, berikan ruang dan waktu untuk mengakui keberadaan mereka.

Bukan tanpa sebab mereka seperti itu, banyak kemungkinan yang mendorong mereka hingga terkena sisi psikologisnya. Dengan bermacam-macam modus yang saya jumpai, maka tak lain mereka dan saya sendiri adalah pengungsi peradaban. Mengungsi di balik sebuah masa yang orang-orang merasa maju, merasa lebih modern, merasa lebih unggul dibanding dulunya. Tertendang oleh peradaban. Peradaban yang maju ke belakang, mundur ke depan.[]

Tags: ceritaEmha Ainun Nadjibesaiinspiratifkehidupansosial
ShareTweetSendShare
Previous Post

Para Pengungsi Peradaban (1)

Next Post

Tiga “P”

Duljabbar

Duljabbar

Tim Redaksi Metafor

Artikel Terkait

Anthony Giddens: Agensi dan Strukturasi Sosial
Sosok

Anthony Giddens: Agensi dan Strukturasi Sosial

30 November 2022

Anthony Giddens adalah mantan Direktur London School of Economics (LSE) yang tercatat sebagai salah satu sosiolog penting dunia menjelang akhir...

Mengenal Thasykubro Zadah: Sejarawan Penulis Ensiklopedia Islam
Sosok

Mengenal Thasykubro Zadah: Sejarawan Penulis Ensiklopedia Islam

10 Maret 2022

Setelah meninggalnya Nabi saw., Islam dipimpin oleh Khulafa’ al-Rasyidun dan diikuti oleh beberapa dinasti selanjutnya mulai dari Umawiyyah, Abbasiyah, sampai...

Tadabbur via Momentum Hujan
Hikmah

Tadabbur via Momentum Hujan

6 Maret 2022

Sebuah pepatah mengatakan bahwa barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenali Tuhannya. Namun, permasalahannya adalah tingkat kesadaran terhadap diri...

Ali Syari’ati: Mempercayai Tuhan Sekaligus Menjaga Alam dan Hubungan Sesama Manusia
Sosok

Ali Syari’ati: Mempercayai Tuhan Sekaligus Menjaga Alam dan Hubungan Sesama Manusia

16 Februari 2022

Arsitek Revolusi Islam, begitulah kata M. Dawam Rahardjo untuk Ali Syari’ati dalam tulisan kecilnya berjudul Ali Syari’ati: Mujahid Intelektual di...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya

Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya

20 Juli 2025
Gambat Artikel Abbas Ibn Firnas : Manusia Terbang Pertama dari Andalusia

Abbas Ibn Firnas: ‘Manusia Terbang’ Pertama dari Andalusia

29 Juni 2021
Gambar Artikel Ketika Seorang Perempuan Membaca Nawal el-Saadawi. Resensi Buku Perempuan di Titik Nol

Ketika Seorang Perempuan Membaca Nawal el-Saadawi

4 November 2020
Revolusi Kurikulum

Revolusi Kurikulum

13 Desember 2021
Gambar Artikel Puisi untuk Ibu : Mamak dan Kudapan Hina

Mamak dan Kudapan Hina

1 Desember 2020
Menulis Puisi

Menulis Puisi

31 Maret 2021
Gambar Artikel Membersihkan Luka dengan Alkohol Vs Air Bersih

Membersihkan Luka dengan Alkohol Vs Air Bersih

23 November 2020
Dari Nafas Malamku

Dari Nafas Malamku

11 Mei 2021
Gambar Artikel Pengarang Feminis

Pengarang Feminis

9 Januari 2021
Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan

Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan

26 April 2025
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (213)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (19)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.