Sudah hampir tahun baru, tetapi pandemi masih tak lekas pergi juga. Virus korona tak kunjung menunjukkan tanda-tandanya untuk segera pamit dari Indonesia. Ya, tapi dengan melihat keadaan sekitar, rasa-rasanya yang ada makin hopeless saja. Namun, apa pernyataan itu lantas membuat kita harus menyerah dengan keadaan? Semoga tidak, ya.
Banyak unsur kehidupan di masa kini harus kulino tervirtualisasi. Yang awalnya begitu gagap akan teknologi, mesti terbiasa dengan digitalisasi. Yang awalnya tiap rapat kudu pesan resepsi, kini konsumsi hanya diunggah dengan gambar sekotak nasi. Yang awalnya nikahan sebagai ajang reuni mantan, kini hanya tinggal foto kenangan.
Nyatanya pandemi menjarah ‘seluk-beluk’ kehidupan kita sekarang. Merampas kebahagiaan temu untuk mengobati rindu. Tenang saja, bukan hanya cinta yang terdampak. Pendidikan juga iya. Juga kalang kabut maksudnya.
Bagaimana tidak? Semua dipukul rata dengan kondisi yang ada di kota. Mengertilah, Pak, Buk, tidak semua dari kami (baca: mahasiswa) tinggal di kota dengan sinyal lancar luar biasa. Apakah dengan memberikan kuota 50Gb membuat kita terbantu? Bukannya tidak bersyukur, pada kenyataannya perbandingan dari kuota yang diberikan kurang rasional saja.
Bisa dimengerti jika kalian ingin mencerdaskan generasi kami. Namun, kami tak hanya perlu dicerdaskan, tapi kami juga perlu menjaga kesehatan mental. Butuh kuota hiburan maksudnya. Hehe. Perbandingannya akan rasional jika itu 1:1 sampai 1:3. Namun, perbandingan 1:9 (5:45 Gb) ini, terasa teramat njomplang (baca: tidak seimbang).
Apakah seorang mahasiswa akan menggunakan Ruang G*ru? Apakah sejumlah website pendidikan telah mendukung bahan untuk belajar sesuai kebutuhan mahasiswa dari beragam prodi yang ada? Apakah kuota sebanyak itu bisa digunakan secara maksimal dalam pembelajaran? Ataukah kita hanya disibukkan dengan kegiatan tatap virtual?
Dari pembelajaran yang sudah berjalan ini, hanya 15-20 Gb kuota pendidikan terpakai. Sisanya, harus menggunakan kuota bebas (non-pendidikan) untuk mengakses YouTube, Google, dan lain sebagainya. Otomatis, kuota 5 Gb ini pun akan dirasa tidak cukup jika memang itu digunakan untuk tujuan menunjang kegiatan belajar-mengajar di tengah pandemi sekarang. Ini membikin kita harus merogoh saku sendiri untuk melengkapi kekurangan itu.
Kalau ada yang bilang nggak usah akses YouTube, ingin rasanya bertanya apakah semua orang gaya belajarnya literasi-tulis saja? Ada beberapa orang yang lebih bisa memahami materi secara visual. Belum lagi kita juga perlu hiburan.
Setelah kuota, kita beralih ke ‘persambatan’ tugas yang diberikan. Banyak dari mahasiswa mengeluh karena tugas yang kadar kewajarannya dinilai tidak masuk akal. Bahkan kalau ditarik ke belakang, padatnya perkuliahan sebelum pandemi jauh berbeda setelah masa pandemi ini datang. Sepertinya setiap jam adalah waktu penugasan.
Beberapa meme pernah seliweran di Twitter yang menggambarkan tentang hectic-nya perkuliahan saat ini. Kita seperti sedang berlarian mengejar deadline, ketimbang mendalami materi yang disampaikan dosen. Tersenyum kegirangan saat tugas selesai, padahal di belakang tumpukan tugas sedang mengantre menunggu giliran untuk dikerjakan.
Belum lagi bentakan emak yang mengira anaknya terlalu sibuk sendiri dengan komputer, laptop, atau gawai di depannya sehingga melupakan pekerjaan rumah. Beliau belum tahu saja betapa mumetnya mahasiswa ini menyelesaikan tugas yang berjibun jumlahnya.
Mengertilah, Pak, Buk, kami bergadang mengerjakan tugas sampai-sampai kami mendadak punya tanda lahir di mata berwarna hitam. Apa itu tidak cukup menggambarkan betapa lelahnya menyenangkannya dunia kuliah kami?
Memang tujuan dari adanya tugas adalah untuk me-review kembali materi yang telah diajarkan dosen sebelumnya. Lalu, bagaimanakah nasib mahasiswa yang sinyalnya putus-putus sama seperti materi yang mereka tangkap saat perkuliahan berlangsung? Apa yang hendak di-review kembali jika kondisinya demikian?
Bagaimana pula jika dosen hanya mengirim PPT saja, tanpa ada penjelasan? (kami bukan paranormal, Pak/Bu). Memang seorang mahasiswa dituntut untuk lebih mandiri dalam belajar, namun apakah mandiri itu sendiri artinya melepas tanpa arahan sama sekali? Apakah sekarang seorang pengajar tugasnya tidak harus mengajar?
Itulah sedikit banyak contoh sambatan dari seorang mahasiswa yang berbulan-bulan harus menjalani kuliah online di rumah. Menghadap laptop sampai mata berwarna merah.
Kita semua pasti berharap pandemi segera berakhir. Selain penat, ada rasa rindu dengan kekonyolan teman-teman yang sering menghadirkan gelak tawa. Menikmati perantauan dengan suasana berbeda. Hingga menemui dia yang dipisahkan jarak karena korona.[]
Comments 1