• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Sabtu, 18 Oktober 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Sambatologi Cangkem

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku

"Bukan. Bukan itu intinya. Intinya kamu ini bebal dan setengah-setengah. Belajar agama setengah-setengah. Belajar memakai nalar juga setengah-setengah. Akhirnya tawaran agama tidak bisa bertemu dengan sehatnya kerja sistem akalmu."

Sobrun Jamil by Sobrun Jamil
29 Maret 2023
in Cangkem, Sambatologi
1
Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku

Sumber gambar: http://m.9gag.com/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Saya ini sekarang suka nulis, tapi kalau disuruh. Disuruh empunya web ini, contohnya. Tiga tahun lalu saya nulis kayak orang berak, tau-tau mules dan keluar brol-brol.

Sekarang enggak. Lha gimana, kahanannya pancet gini og. Tulisan saya yang kemarin-kemarin kalau saya baca lagi juga masih anget. Kayak gorengan baru dintas (Jw: diangkat dari penggorengan). Masih relate sama timeline platform-platform digital, kecuali platform sewa sedot lendir warna hijau itu.

Jadi sekarang saya bingung mau nulis apa. Nulis puisi juga wagu (Jw: aneh, tak jenak), hidup saya sudah toto tentrem tanpa keresahan raharjo. Meski dompet saya tipis, tapi pacar saya bukan main cakepnya. Alhamdulillah. Perkara pemerintah bosok, ya biarin saja. Sudah trah tumerah-nya. Kebudayaan juga gitu-gitu aja. Kalau ada anak pejabat yang nggepuki anak personil band, dari dulu anak pejabat yang suka main tembak-tembakan pakai pistol sama saudaranya sendiri juga sudah ada.

Mau ikut nimbrung diskursus IT tapi otak saya terlalu cupet. Terakhir disuruh bikin sheet di excel saja saya ketempuan. Apalagi AI, proyek Silicon Valley, determinasi Elon Musk, atau rencana-rencana kecerdasan digital untuk keperluan asymmetric war. Wah, ruwet. Saya masih menghormati pakar, meskipun bliyo-bliyo ini bisa kapan saja saya tubruk kalau sudah kelewat arogan. Saya suka nubruk kopi, apalagi nubruk cangkemmu.

Kemudian saya berpikir: wah jangan-jangan saya mati rasa. Tulisan itu kan butuh keresahan. Tapi puncak kehidupan adalah ketenangan. Sementara puncak keberhasilan menjadi tetangga adalah melenyapkan ketenangan itu.

Akhirnya hidup jadi muter-muter dan saya tetap gak tau mau nulis apa. Ini khas gen-z. Muter-muter sotoy gak jelas endingnya apa. Tapi gak apa-apa, beberapa series di Netflix itu memang awalnya muter-muter gak jelas. Semacam sekadar memenuhi persyaratan kalau series itu mesti setidaknya ada sekian-sekian episode. Akhirnya bikin adegan-adegan gak penting yang andai kritikus teater dan film melihatnya, bisa langsung diidoni (Jw: diludahi–peny.) sutradara sak tim produksinya.

Kemarin saya nemu film bagus di Netflix. Sekali habis. Judulnya “You People“. Dua sejoli dengan segudang perbedaan latar belakang sosial, agama, hingga genetik dipertemukan oleh rentetan takdir yang janggal, menggelikan, menguras tenaga, tetapi juga mendebarkan. (Anjay, line barusan terdengar persis khas penulis sinopsis yang macet kreatifitas diksi, ya).

Bagaimana tidak, si perempuan ini dari kalangan negro-muslim. Sementara si lelaki berasal dari keluarga jewish (Yahudi) kulit putih yang super rasis sak pakdhe budhene. Mungkin andai Morfem adalah band yang berasal dari kabupaten Detroit atau Chicago, sesaat setelah Ezra dan Amira kenthu (Jw: bercinta) sambil mengulik latar belakang masing-masing, layak diputar sepenggal bait yang ditulis Jimi: berantakan tema malam ini, harapan dan selera selisih jalan.

Tetapi mereka tetap mendobrak stereotipe ketidakmungkinan itu. Semacam ingin menginjakkan kaki di tanah utopia. Di atas bumi asing kami berkemah, kami kepal tangan, kami unjuk gigi. Kalau kata Rendra. Melewati lika-liku PDKT yang nyebahi kepada keluarga masing-masing. Kepada keluarga muslim yang super kolot, dan kepada keluarga yahudi yang super tolol.

Bagaikan membangun menara cinta di pusat silang sengkarut sejarah kota Yerussalem. Ezra dan Amira laiknya diangslupi jin alas roban dan menggugat kakek Ibrahim: “…perjalanan teologimu ini benar-benar merepotkan, bukan saja kepada banyak orang yang ingin menguak rahasia ‘tanah yang dijanjikan’, tapi juga kepada kami yang sekedar ingin beranak pinak secara wajar!”

Pada akhirnya mereka memang menikah, tapi bukan itu intinya. Intinya, gramatika bahasa bernama cinta itu ya kadang ngehek seperti itu. Tidak perlu Tulus atau Mahalini untuk memahaminya. Cukup Husein Bawafie. Bila ingin melihat ikan di dalam kolam, tenangkan dulu airnya sebening kaca.

Bukan. Bukan itu intinya. Intinya kamu ini bebal dan setengah-setengah. Belajar agama setengah-setengah. Belajar memakai nalar juga setengah-setengah. Akhirnya tawaran agama tidak bisa bertemu dengan sehatnya kerja sistem akalmu. Makanya pandanganmu cupet.

Lihat kulit hitam bingung, lihat orang yahudi puyeng, lihat orang muslim takut, lihat orang barat gumun, lihat negro-muslim demen sama kulit putih-yahudi kamu was-was, mencret, turun bero, sekelen, gagal ginjal, stroke, sakit jiwa, dan berakhir jadi buzzer pemerintah. Mesin di dalam batok kepalamu yang peyang itu tidak disetel–untuk menerima pemandangan cross-over yang puspa warna–mungkin sejak bapakmu tahu alamat rumah ibumu dulu. Jadinya kamu sekarang menerima jatah kutukan kebodohan semacam ini.

Ndak, ndak usah nonton film ini. Levelmu masih di nontoni reels akun mbak-mbak good-ponsel. Kecerdasanmu masih pada tahap algoritma itu.

[Dramaga, 26 Maret 2023]

_________________________________

Penyunting: M. Naufal Waliyuddin

Tags: cangkemnetflixopinisambatologi
ShareTweetSendShare
Previous Post

Ada Apa dengan “Manusia Indonesia”?

Next Post

Public Speaking Bukan Hanya Keterampilan Orang Terpelajar

Sobrun Jamil

Sobrun Jamil

Asal dari Kajen, Pekalongan, Jawa Tengah. Aktif berkegiatan dalam proses penerbitan rutin Buletin Lintang. Boleh diajak nge-blues via Instagram: @sobrunjamil_

Artikel Terkait

Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
Komentarium

Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti

26 September 2025

Ada sebuah kawasan yang tampak biasa di peta, namun warganya hidup dalam kepungan janji palsu yang manis. Mereka mendapat iming-iming...

Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
Sambatologi

Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung

30 Agustus 2025

Tiap hari, selalu saja ada berita yang buat perut sakit. Aktornya tiada lain tiada bukan adalah pihak pemerintah. Dari hulu...

Belajar Mengitari Israel
Cangkem

Belajar Mengitari Israel

19 April 2023

Kebetulan tulisan saya kemarin di rubrik ini bertali-singgung dengan Israel. Kebetulan juga saya seorang pemalas akut. Daripada cari bahan nyangkem...

Dear Orang Tua: Tolong Jangan Perlakukan Anak Semena-mena!
Komentarium

Dear Orang Tua: Tolong Jangan Perlakukan Anak Semena-mena!

9 April 2022

Belum lama ini timeline media sosial saya sempat dilewati sebuah berita soal seorang ayah yang membanting laptop anaknya. Hal tersebut...

Comments 1

  1. Ping-balik: Belajar Mengitari Israel - Metafor.id

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Gambar Artikel Kemarin dan Rindu

Kemarin dan Rindu

31 Oktober 2020
Gambar Artikel Mind Management

Mind Management

27 November 2020
Gambar Artikel Pesona dan Kuliner Kepulauan Anambas

Pesona dan Kuliner Kepulauan Anambas

19 November 2020
Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

24 Juli 2025
Gambar Artikel Ada Apa dengan Pak Prabowo Subianto?

Ada Apa dengan Pak Prabowo Subianto?

31 Desember 2020
Menerka Kiblat Dakwah Generasi Muda di Masa Depan

Menerka Kiblat Dakwah Generasi Muda di Masa Depan

16 Februari 2022
Gambar Artikel Sepasang Mata

Sepasang Mata

10 November 2020
Sedih yang Diam

Sedih yang Diam

1 April 2022
Bukti Pemerintah Serius Menangani Pandemi Covid-19

Bukti Pemerintah Serius Menangani Pandemi Covid-19

9 Agustus 2021
Mudik dan Sambatan Rohani Tahun Ini

Mudik dan Sambatan Rohani Tahun Ini

25 Mei 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (216)
    • Cerpen (54)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.