Saya ini sekarang suka nulis, tapi kalau disuruh. Disuruh empunya web ini, contohnya. Tiga tahun lalu saya nulis kayak orang berak, tau-tau mules dan keluar brol-brol.
Sekarang enggak. Lha gimana, kahanannya pancet gini og. Tulisan saya yang kemarin-kemarin kalau saya baca lagi juga masih anget. Kayak gorengan baru dintas (Jw: diangkat dari penggorengan). Masih relate sama timeline platform-platform digital, kecuali platform sewa sedot lendir warna hijau itu.
Jadi sekarang saya bingung mau nulis apa. Nulis puisi juga wagu (Jw: aneh, tak jenak), hidup saya sudah toto tentrem tanpa keresahan raharjo. Meski dompet saya tipis, tapi pacar saya bukan main cakepnya. Alhamdulillah. Perkara pemerintah bosok, ya biarin saja. Sudah trah tumerah-nya. Kebudayaan juga gitu-gitu aja. Kalau ada anak pejabat yang nggepuki anak personil band, dari dulu anak pejabat yang suka main tembak-tembakan pakai pistol sama saudaranya sendiri juga sudah ada.
Mau ikut nimbrung diskursus IT tapi otak saya terlalu cupet. Terakhir disuruh bikin sheet di excel saja saya ketempuan. Apalagi AI, proyek Silicon Valley, determinasi Elon Musk, atau rencana-rencana kecerdasan digital untuk keperluan asymmetric war. Wah, ruwet. Saya masih menghormati pakar, meskipun bliyo-bliyo ini bisa kapan saja saya tubruk kalau sudah kelewat arogan. Saya suka nubruk kopi, apalagi nubruk cangkemmu.
Kemudian saya berpikir: wah jangan-jangan saya mati rasa. Tulisan itu kan butuh keresahan. Tapi puncak kehidupan adalah ketenangan. Sementara puncak keberhasilan menjadi tetangga adalah melenyapkan ketenangan itu.
Akhirnya hidup jadi muter-muter dan saya tetap gak tau mau nulis apa. Ini khas gen-z. Muter-muter sotoy gak jelas endingnya apa. Tapi gak apa-apa, beberapa series di Netflix itu memang awalnya muter-muter gak jelas. Semacam sekadar memenuhi persyaratan kalau series itu mesti setidaknya ada sekian-sekian episode. Akhirnya bikin adegan-adegan gak penting yang andai kritikus teater dan film melihatnya, bisa langsung diidoni (Jw: diludahi–peny.) sutradara sak tim produksinya.
Kemarin saya nemu film bagus di Netflix. Sekali habis. Judulnya “You People“. Dua sejoli dengan segudang perbedaan latar belakang sosial, agama, hingga genetik dipertemukan oleh rentetan takdir yang janggal, menggelikan, menguras tenaga, tetapi juga mendebarkan. (Anjay, line barusan terdengar persis khas penulis sinopsis yang macet kreatifitas diksi, ya).
Bagaimana tidak, si perempuan ini dari kalangan negro-muslim. Sementara si lelaki berasal dari keluarga jewish (Yahudi) kulit putih yang super rasis sak pakdhe budhene. Mungkin andai Morfem adalah band yang berasal dari kabupaten Detroit atau Chicago, sesaat setelah Ezra dan Amira kenthu (Jw: bercinta) sambil mengulik latar belakang masing-masing, layak diputar sepenggal bait yang ditulis Jimi: berantakan tema malam ini, harapan dan selera selisih jalan.
Tetapi mereka tetap mendobrak stereotipe ketidakmungkinan itu. Semacam ingin menginjakkan kaki di tanah utopia. Di atas bumi asing kami berkemah, kami kepal tangan, kami unjuk gigi. Kalau kata Rendra. Melewati lika-liku PDKT yang nyebahi kepada keluarga masing-masing. Kepada keluarga muslim yang super kolot, dan kepada keluarga yahudi yang super tolol.
Bagaikan membangun menara cinta di pusat silang sengkarut sejarah kota Yerussalem. Ezra dan Amira laiknya diangslupi jin alas roban dan menggugat kakek Ibrahim: “…perjalanan teologimu ini benar-benar merepotkan, bukan saja kepada banyak orang yang ingin menguak rahasia ‘tanah yang dijanjikan’, tapi juga kepada kami yang sekedar ingin beranak pinak secara wajar!”
Pada akhirnya mereka memang menikah, tapi bukan itu intinya. Intinya, gramatika bahasa bernama cinta itu ya kadang ngehek seperti itu. Tidak perlu Tulus atau Mahalini untuk memahaminya. Cukup Husein Bawafie. Bila ingin melihat ikan di dalam kolam, tenangkan dulu airnya sebening kaca.
Bukan. Bukan itu intinya. Intinya kamu ini bebal dan setengah-setengah. Belajar agama setengah-setengah. Belajar memakai nalar juga setengah-setengah. Akhirnya tawaran agama tidak bisa bertemu dengan sehatnya kerja sistem akalmu. Makanya pandanganmu cupet.
Lihat kulit hitam bingung, lihat orang yahudi puyeng, lihat orang muslim takut, lihat orang barat gumun, lihat negro-muslim demen sama kulit putih-yahudi kamu was-was, mencret, turun bero, sekelen, gagal ginjal, stroke, sakit jiwa, dan berakhir jadi buzzer pemerintah. Mesin di dalam batok kepalamu yang peyang itu tidak disetel–untuk menerima pemandangan cross-over yang puspa warna–mungkin sejak bapakmu tahu alamat rumah ibumu dulu. Jadinya kamu sekarang menerima jatah kutukan kebodohan semacam ini.
Ndak, ndak usah nonton film ini. Levelmu masih di nontoni reels akun mbak-mbak good-ponsel. Kecerdasanmu masih pada tahap algoritma itu.
[Dramaga, 26 Maret 2023]
_________________________________
Penyunting: M. Naufal Waliyuddin
Comments 1