Setelah lulus SD berbekal kepribadian yang susah diatur, Ayah dan Ibu bersepakat mengirimkan putra pertama mereka ini ke pesantren. Tentunya dengan harapan dapat menimba ilmu agama yang banyak untuk memperkuat pondasi keimanan anak yang baru saja menerima ijazah SD ini. Barangkali juga agar sedikit meringankan beban keluarga terutama Ibuku, mengingat umurku dan adikku–yang juga seorang laki-laki–hanya terpaut 18 bulan. Bisa kalian bayangkan bagaimana repotnya Ibuku mengurusi kami berdua, ditambah 2 kakak perempuanku. Fyi, sekarang aku sudah memiliki seorang putri, jadi aku paham seperti apa rasanya mengurus anak. Seketika aku tersadar ini baru 1/4 dari kesibukan Ibuku dulu. Wow.
Itu mungkin perkenalan singkat dariku. Ceritaku sewaktu di pesantren, lain waktu saja. Alasannya, aku masih perlu meraba-raba lagi ingatan yg sudah cukup lama tidak tersentuh, dan mencari hal-hal yang menarik untuk kuceritakan. Kini kuajak kau melompat ke masa SMA-ku.
Pasca-wisuda dari MTs–ini setara dengan sekolah menengah pertama–aku akhirnya memilih untuk melanjutkan sekolah di luar pesantren. Makassar menjadi kota yang lagi-lagi dipilihkan untukku. Walaupun sudah bisa memilih antara lanjut pesantren atau sekolah biasa, tetap saja untuk beberapa hal campur tangan orang tua tidak bisa tiba-tiba dihilangkan.
Kenapa Makassar? Karena orang tuaku ingin menitipkan aku ke keluarga yang ada di sana dan itu adalah kakak dari Ayahku. Namun ini tidak berlangsung lama. Enam bulan setelahnya, aku memutuskan hijrah ke kosan teman dengan alasan “belajar mandiri”. Tentunya kalian tau-lah alasan sebenarnya adalah tinggal bareng keluarga Ayah atau Ibumu akan dengan sendirinya menyeretmu ke posisi tidak-enakan, serba-sungkan, dan rentan terjadi kesalahpahaman karena intensitas pertemuan yang tinggi. Hehe. Tentunya tidak semua seperti itu, tapi dalam kasusku ini, begitulah keadaannya dan aku tak ingin berada di posisi itu.
Voila! Petualangan pun di mulai. Menjalani masa sekolah sekaligus jadi anak kos di waktu yang bersamaan benar-benar melatih jiwa mandiriku. Karena aku mengambil jurusan arsitek, di sekolah aku diajari bagaimana merancang bangunan yang indah, membagi-bagi ruangan sesuai dengan fungsi. Sedang di kosan aku belajar bagaimana membagi uang untuk makan, jajan, bensin, keperluan bulanan, dll. Pokoknya yang sesuai fungsinya juga. Tapi ini tak awet lama. Hasil dari memadukan sekolah dengan kosan di usia masih remaja, tentu saja chaos.
Sekolah mulai berantakan, begitupun jadwal makan. Tak ada lagi “empat-sehat-aku-sempurna”. Yang ada hanyalah bertahan agar tidak kelaparan, sebab ada rasa malu dan takut untuk laporan ke orang tua tentang keaadan di kosan.
Waktu itu kosan sekamar dihuni berempat–rumus naluriah agar lebih murah buat bayar bulanannya. Pernah suatu ketika di kosan tinggal 2 orang–aku dan temanku yang bernama ‘Anda’–sementara 2 temanku yang lain sedang pulang kampung. Saat itu akhir bulan: keuangan sekarat. Sudah 2 hari kami belum makan nasi. Kami hanya ngemil biskuit roma kelapa ditemani kopi toraja pemberian pacar ‘Anda’ yang seorang janda beranak satu. Berbekal artikel yang pernah kubaca di internet, kami mulai mempraktikkan bagaimana mengendalikan lapar melalui pikiran. Sesekali ngemil biskuit roma, lalu disusul menyeruput kopi (yang manis banget)–petunjuk dari artikel yang kubaca menjelaskan bahwa rasa manis mampu menghilangkan lapar.
Hal itu terjadi sampai pada hari di mana aku tau kalau lapar bisa merubah orang menjadi tempramen, dan pemarah yang luar biasa, seperti di iklan cemilan yang ada di TV dulu. Memasuki hari ke-4 tanpa nasi, pagi itu ‘Anda’ (temenku tadi) kebelet pipis dan bergegas ke WC. Di dekat pintu kamar ada kipas angin yang baru dibeli oleh salah satu teman kami setelah gajian bulan lalu. ‘Anda’ kembali dari kamar mandi, sesampainya di depan pintu ia berdiri mengambil ancang-ancang dan bubrakkk, rupanya itu adalah bunyi kipas yang roboh ke lantai setelah di-TKO ‘Anda’.
Yup, dia menendang kipas angin itu sambil berteriak, “Kipas angin ini menghalangi jalanku!” Aku yg sedang asyik main HP tiba-tiba tersentak dan tertawa terbahak-bahak melihat tingkah ‘Anda’. Bagaimana tidak, kipas angin itu ‘kan sudah di situ sejak beberapa hari yang lalu, tak pernah digeser atau bergeser sedikit pun, kenapa tiba-tiba jadi ngehalangin jalan. Ia pun ikut tertawa entah karena tiba-tiba sadar akan tingkahnya yang mulai aneh, atau karena sadar itu kipas milik Ifan, teman kosan kami yang pelit.
‘Anda’ memang sering kesal pada ifan. Apalagi semenjak Ifan ketahuan menyembunyikan rokok sebungkus di dalam lipatan baju di lemarinya yang pada hari-hari biasa akan ia keluarkan satu per satu agar tidak cepat habis. Ini ‘cabut-cabut-kemput’ namanya kalau di tempat kami.
Kemudian siangnya aku dengan penuh harapan menyortir satu per satu pakean kotorku, demi memeriksa setiap kantong yang ada, mencari sisa duit awal bulan yang mungkin saja nyelip atau lupa kukeluarkan. Dan benar saja, aku menemukan 3 lembar duit dua ribuan. Setelah dirapatkan bersama Anda, duit 6000 itu kubelanjakan Indomie soto 1, rokok Surya 2 batang, dan gula kemasan kecil.
Kenapa gula? Tentu saja jika lapar lagi, gula bisa sangat berarti untuk pertahanan kami.
Setelah selesai masak mie dan memberanikan diri untuk minta nasi ke Ibu kos–yang kebetulan tinggal juga di wilayah kosan itu–aku mencari ‘Anda’ yang tiba-tiba menghilang. ‘Anda’ berjalan santai dari arah kamar mandi, rupanya dia baru selesai mandi dan nampaknya akan pergi ke suatu tempat yang belum aku ketahui tujuannya. Setelah aku tanya ternyata ia akan ke hotel tempatnya bekerja. Katanya hari itu juga ia akan terima gaji.
Aku yang sudah kelaparan langsung menyantap Indomie soto yang kuahnya hampir seperti kolam berenang. Sengaja aku banyakin biar kenyangnya bisa tahan lama, pikirku. ‘Anda’ sedang menelpon, kudengar dia berkata “tenang maki, makan enak ki nanti.” Sesekali ia tertawa, dan asik merapikan rambutnya yang menurutku antara potongan rambut dengan bentuk mukanya kurang selaras.
Setelah dia selesai menelepon, kutawari dia bagiannya: Indomie soto dengan nasi yang berenang di dalam kuahnya yang melimpah. Ia malah menyuruhku untuk menghabiskan jatahnya. Ia hanya mencicipi sedikit, lalu buru-buru pergi. rupanya ia takut HRD-nya sudah pulang dan khawatir tidak jadi terima gaji hari ini. Naasnya, itu beneran terjadi! Ia pulang dengan gaji yang masih di angan-angan, keringat dan muka lesu. Rupanya ia jalan kaki dari kosan ke hotel, begitupun pas baliknya. Wew.
***
Beruntung sekali aku belajar mandiri di Indonesia, negeri dengan jutaan hajatan. Berhubung di kelasku hanya ada dua murid dari luar kota, kami jadi sesuatu yang perlu diundang jika ada hajatan dekat rumah teman. Teman sekelasku sering kali mengajak aku ke hajatan yang ada di sekitar rumah mereka. Lumayan, itung-itung makan daging gratis katanya. Sebulan paling banyak aku bisa 3 sampai 4 kali pergi ke hajatan. Ini nggak menentu ya. Kadang ada juga yang sebulan full kosong melompong. Nihil hajatan.
Memang untuk mandiri butuh intuisi yang tinggi, pintar melihat peluang, dan mencari pembenaran atas kesalahan agar nggak nyesel-nyesel banget memilih jalur ini di usia muda. Sering kali di usia itu kita dibenturkan dengan krisis keuangan dan kelaparan yang membuatku lebih kreatif dalam mencari penyelesaian masalah. Melatih kepekaan, belajar melihat masalah di sekitar, dan menjual solusinya.
Alih-alih menipu orang tua dengan alasan untuk bayar ini dan itu, yang menurutku cara ini sudah ketinggalan jaman, aku lebih memilih jual-beli barang-barang di Facebook. Mulai dari barangku yang tidak terpakai, atau beli barang di Facebook yang penjualnya lagi BU alias “butuh uang” kemudian kujual lagi beberapa hari setelahnya dengan harga yang menurutku normal. Atau beli barang dari e-commerce yang pada saat itu masih jarang dilakukan orang-orang, lantas menjual lagi di Facebook dengan target pasar orang-orang sekitarku.
Pernah suatu hari ada orang yang lagi butuh duit dan jual biolanya di medos itu. Usai kuselidiki harga pasarannya dan berapa kira-kira marginnya, aku beranikan beli malam itu juga. Besok lusanya aku jual lagi dan tepat untungnya sesuai perkiraanku. Menjadi mandiri butuh nyali yang nggak bisa dibilang kecil. Memilah-milah lalu memisahkan antara kebutuhan dan keinginan saat punya duit, itu susahnya minta ampun.
Tidak jarang yang akhirnya jatuh dalam jurang krisis ekonomi akibat pengeluaran berlebih di awal bulan. Enaknya tentu saja ada, nggak semuanya menyakitan. Yang penting, bebas memilih dan mengatur diri sendiri, lebih adaptif sehingga punya banyak peluang berteman dengan siapa aja dan di mana saja. Sebab bagiku, peluang gratisan itu bisa datang dari siapa aja. Sekarang baru sadar kalau “the power of relasi” bukan sekadar nyari gratisan doang, tapi bisa lebih dari itu.[]