Setelah perhelatan panjang bersama dengan soal-soal ujian fakultas yang entah kapan berhasil membuat saya sedikit berkualitas, saya sempatkan waktu untuk sedikit menghela nafas dari semester 5 yang sedikit banyak katanya bikin banyak mahasiswa ingin segera nikah saja. Sudah lama kiranya saya tidak mengunjungi tempat lahirnya saya di Jogja. Kelahiran saya secara rohani, lho ya. Kalau secara jasmani saya lahirnya di Tuban.
Nggak penting, ya? Kan memang yang sering dibagi di dunia maya saat ini hal-hal yang tidak penting. Nggak usah merasa tersindir begitu, hehe.
Balik lagi ke tadi, tidak penting diketahui tapi saya ingin berbagi bahwa kelahiran rohani saya adalah di Kadipiro dan Malioboro. Kadipiro menjadi tempat reinkarnasi saya setelah matinya kesadaran saya dari ruang gelap kehidupan yang tidak baik-baik saja yang belasan tahun sering saya anggap baik-baik saja. Untuk pertama kalinya saya tidak punya kekuatan menampung air mata. Untuk pertama kalinya saya melepaskan ego malu saya, menangis di depan orang-orang yang belum pernah saya jabat tangannya.
Ya, malam itu saya ke Kadipiro. Menemui kekasih saya hanya sekadar ingin menyapa. Kiranya dia memang menjadi salah satu baterai untuk mengisi kembali energi saya yang telah habis karena riuhnya kehidupan yang semakin tak terkondisikan.
Setelah menemaninya berjibaku dengan huruf-huruf, kami menyempatkan diri untuk sejenak mampir di jalan yang penuh romantisasi para wisatawan Jogja, ialah Malioboro. Seperti yang saya sebutkan, Malioboro juga menjadi tempat lahirnya saya secara rohani setelah Kadipiro, karena di Malioboro lah saya memiliki keberanian untuk jujur dengan diri sendiri. Mulai mempertanyakan siapakah saya, dan menceritakan atas apa yang selama lima tahun belakang ini saya pendam. Saya beruntung dipertemukan dengan dia yang menerima saya melebihi saya menerima diri saya sendiri. (Tapi saya tidak mau memujinya lagi, nanti dia sibuk senyum-senyum sendiri dan mendadak jumawa).
***
Sunyinya Malioboro kini tak bisa dicari kesunyiannya lagi. Kecuali jika kita punya usaha lebih untuk mau mencari sunyi yang bukan berbentuk bunyi. Sunyi yang murni sunyi. Karena sunyi bisa didapatkan dalam keramaian oleh orang-orang yang sudah berhasil mensunyikan dirinya dari riuhnya bunyi dunia dengan berbagai kepentingan.
Malam itu di Malioboro entah kenapa terasa begitu sesak dipandang. Malioboro yang waktu itu pernah menjadi teman kesunyian saya, kini dipenuhi oleh orang-orang yang sedang berhuru-hara. Bersenang-senang dengan gadget untuk mengisi feed instagram, merekam sudut jalan malioboro untuk memamerkan dirinya sedang di Jogja, suara motor yang jebol knalpotnya, hingga melihat sepasang kekasih yang sedang bersenda gurau dengan mesranya. Apalagi tepat di depan mata. Kalau orang Jawa Timur bilang, “Jancuk tenan”.
Kami yang kebetulan tidak romantis hanya sibuk memandang mereka yang sedang membelai rambut yhang-nya. Daripada terbesit melakukan hal yang sama, kami lebih memilih sibuk bertukar tanya dan jawab akan beberapa hal. Sesekali terdiam untuk merenungi beberapa pesan. Pesan si sunyi yang nyelempit di tengah ramai.
Saya coba memandang langit, tiada saya dapati bintang yang gemerlap menempel di sana. Rasanya memang saat itu saya disengajakan untuk melihat Malioboro tempo modern. Malioboro sebagai tempat nongkrong anak-anak pemburu estetika videografi, fotografi, dan pamer romantisasi. Bukan lagi tempatnya para pemburu sunyi, penyelam diri, hingga sekadar recharge energi.
Jalan sunyi yang dulu melahirkan banyak penulis, pelukis, penyair, dan identitas profesi lainnya, kini hanya melahirkan ribuan bunyi tanpa arti di dalamnya. Jalan sunyi yang biasa jadi tempat istirahat bapak pedagang asongan hingga ojek, kini bukan lagi menjadi tempat yang nyenyak untuk dijadikan pilihan tepat menyelami mimpi-mimpi.
Ah sudahlah, toh saya tidak punya hak untuk menempatkan mereka pada ‘kamar-kamar kehidupan’ yang seperti apa. Dari sekian frasa yang saya tuliskan, saya hanya ingin bilang saya merindukan Malioboro yang tidak sesak jiwanya. Malioboro malam yang penuh dengan hiasan bintang dengan suara binatang yang remang-remang didengar. Dan Malioboro yang menjadi jalan tempuh bagi siapa saja yang sedang mengembarai relung-relung kehidupan.[]