• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Jumat, 22 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Sambatologi

Jalan Sunyi dengan Ribuan Bunyi

Chintya Amelya P. by Chintya Amelya P.
24 Oktober 2021
in Sambatologi, Surat
0
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Setelah perhelatan panjang bersama dengan soal-soal ujian fakultas yang entah kapan berhasil membuat saya sedikit berkualitas, saya sempatkan waktu untuk sedikit menghela nafas dari semester 5 yang sedikit banyak katanya bikin banyak mahasiswa ingin segera nikah saja. Sudah lama kiranya saya tidak mengunjungi tempat lahirnya saya di Jogja. Kelahiran saya secara rohani, lho ya. Kalau secara jasmani saya lahirnya di Tuban.

Nggak penting, ya? Kan memang yang sering dibagi di dunia maya saat ini hal-hal yang tidak penting. Nggak usah merasa tersindir begitu, hehe.

Balik lagi ke tadi, tidak penting diketahui tapi saya ingin berbagi bahwa kelahiran rohani saya adalah di Kadipiro dan Malioboro. Kadipiro menjadi tempat reinkarnasi saya setelah matinya kesadaran saya dari ruang gelap kehidupan yang tidak baik-baik saja yang belasan tahun sering saya anggap baik-baik saja. Untuk pertama kalinya saya tidak punya kekuatan menampung air mata. Untuk pertama kalinya saya melepaskan ego malu saya, menangis di depan orang-orang yang belum pernah saya jabat tangannya.

Ya, malam itu saya ke Kadipiro. Menemui kekasih saya hanya sekadar ingin menyapa. Kiranya dia memang menjadi salah satu baterai untuk mengisi kembali energi saya yang telah habis karena riuhnya kehidupan yang semakin tak terkondisikan.

Setelah menemaninya berjibaku dengan huruf-huruf, kami menyempatkan diri untuk sejenak mampir di jalan yang penuh romantisasi para wisatawan Jogja, ialah Malioboro. Seperti yang saya sebutkan, Malioboro juga menjadi tempat lahirnya saya secara rohani setelah Kadipiro, karena di Malioboro lah saya memiliki keberanian untuk jujur dengan diri sendiri. Mulai mempertanyakan siapakah saya, dan menceritakan atas apa yang selama lima tahun belakang ini saya pendam. Saya beruntung dipertemukan dengan dia yang menerima saya melebihi saya menerima diri saya sendiri. (Tapi saya tidak mau memujinya lagi, nanti dia sibuk senyum-senyum sendiri dan mendadak jumawa).

***

Sunyinya Malioboro kini tak bisa dicari kesunyiannya lagi. Kecuali jika kita punya usaha lebih untuk mau mencari sunyi yang bukan berbentuk bunyi. Sunyi yang murni sunyi. Karena sunyi bisa didapatkan dalam keramaian oleh orang-orang yang sudah berhasil mensunyikan dirinya dari riuhnya bunyi dunia dengan berbagai kepentingan.

Malam itu di Malioboro entah kenapa terasa begitu sesak dipandang. Malioboro yang waktu itu pernah menjadi teman kesunyian saya, kini dipenuhi oleh orang-orang yang sedang berhuru-hara. Bersenang-senang dengan gadget untuk mengisi feed instagram, merekam sudut jalan malioboro untuk memamerkan dirinya sedang di Jogja, suara motor yang jebol knalpotnya, hingga melihat sepasang kekasih yang sedang bersenda gurau dengan mesranya. Apalagi tepat di depan mata. Kalau orang Jawa Timur bilang, “Jancuk tenan”.

Kami yang kebetulan tidak romantis hanya sibuk memandang mereka yang sedang membelai rambut yhang-nya. Daripada terbesit melakukan hal yang sama, kami lebih memilih sibuk bertukar tanya dan jawab akan beberapa hal. Sesekali terdiam untuk merenungi beberapa pesan. Pesan si sunyi yang nyelempit di tengah ramai.

Saya coba memandang langit, tiada saya dapati bintang yang gemerlap menempel di sana. Rasanya memang saat itu saya disengajakan untuk melihat Malioboro tempo modern. Malioboro sebagai tempat nongkrong anak-anak pemburu estetika videografi, fotografi, dan pamer romantisasi. Bukan lagi tempatnya para pemburu sunyi, penyelam diri, hingga sekadar recharge energi.

Jalan sunyi yang dulu melahirkan banyak penulis, pelukis, penyair, dan identitas profesi lainnya, kini hanya melahirkan ribuan bunyi tanpa arti di dalamnya. Jalan sunyi yang biasa jadi tempat istirahat bapak pedagang asongan hingga ojek, kini bukan lagi menjadi tempat yang nyenyak untuk dijadikan pilihan tepat menyelami mimpi-mimpi.

Ah sudahlah, toh saya tidak punya hak untuk menempatkan mereka pada ‘kamar-kamar kehidupan’ yang seperti apa. Dari sekian frasa yang saya tuliskan, saya hanya ingin bilang saya merindukan Malioboro yang tidak sesak jiwanya. Malioboro malam yang penuh dengan hiasan bintang dengan suara binatang yang remang-remang didengar. Dan Malioboro yang menjadi jalan tempuh bagi siapa saja yang sedang mengembarai relung-relung kehidupan.[]

Tags: jalan sunyi dengan ribuan bunyimalioborosambatologiyogyakarta
ShareTweetSendShare
Previous Post

Melepas Kasih dalam Balutan Sastra

Next Post

Hujan Musim Kemarau

Chintya Amelya P.

Chintya Amelya P.

Mahasiswa asal Tuban, Jawa Timur, yang merasa salah jurusan. Kuliah di Yogyakarta. Kesibukan sekarang kuliah dan menulis saja. Bisa disapa di Instagram @chintyaamelyaa.

Artikel Terkait

Belajar Mengitari Israel
Cangkem

Belajar Mengitari Israel

19 April 2023

Kebetulan tulisan saya kemarin di rubrik ini bertali-singgung dengan Israel. Kebetulan juga saya seorang pemalas akut. Daripada cari bahan nyangkem...

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku
Cangkem

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku

29 Maret 2023

Saya ini sekarang suka nulis, tapi kalau disuruh. Disuruh empunya web ini, contohnya. Tiga tahun lalu saya nulis kayak orang...

Dear Orang Tua: Tolong Jangan Perlakukan Anak Semena-mena!
Komentarium

Dear Orang Tua: Tolong Jangan Perlakukan Anak Semena-mena!

9 April 2022

Belum lama ini timeline media sosial saya sempat dilewati sebuah berita soal seorang ayah yang membanting laptop anaknya. Hal tersebut...

Bias Kontol dan Efek Sampingnya yang Menyebalkan
Cangkem

Bias Kontol dan Efek Sampingnya yang Menyebalkan

21 Maret 2022

Silakan kalau anda ingin memfitnah saya sebagai orang yang sedang misuh atau berkata kasar sejak dari judul. Tapi kontol sebagai...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Buku Mengajak Bicara dengan Diri Sendiri

Buku Mengajak Bicara dengan Diri Sendiri

17 Desember 2021
Bentang dan Jet Lag Blues

Bentang dan Jet Lag Blues

31 Agustus 2021
Seorang Indigo dan Suara-Suara Bertubuh Kupu-Kupu

Seorang Indigo dan Suara-Suara Bertubuh Kupu-Kupu

4 April 2022
Istirahat dan Pelukan Ibu

Istirahat dan Pelukan Ibu

29 Juni 2022
Pekerja Malam

Pekerja Malam

28 April 2021
Gambar Artikel Kritik dan Karya adalah Sebuah Niscaya

Kritik dan Karya adalah Sebuah Niscaya

1 Desember 2020
Gambar Artikel Sepasang Mata

Sepasang Mata

10 November 2020
Soledad

Soledad

7 September 2021
Gambar Artikel Bung Karno Di Ende, Remah remah kisah dari ende

Remah-remah Kisah dari Ende

7 Januari 2021
Korelasi Pandangan Ilmu Kalam dan Kiri Islam Hassan Hanafi

Korelasi Pandangan Ilmu Kalam dan Kiri Islam Hassan Hanafi

21 Juni 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.